Dalam tatanannya, batik juga digunakan untuk menentukan usia anak khususnya dalam bentuk pemakaiannya, yaitu :
1. Sabukwala (gadis yang belum tetes);
Sabukwala (gadis yang belum tetes) maksudnya adalah pakaian batik yang digunakan gadis yang masih kecil, dan belum mencapai 9 tahun. Mereka pada umumnya menggunakan kain batik dengan motif yang cerah, dipakai melintang sekaligus sebagai kemben dan belum banyak tambahan aksesoris. Rambut digelung “welah sawelit”, ditali dengan pita, pakai cundhuk mentul. Busana ini untuk anak gadis yang berusia sampai dengan 9 (sembilan) tahun. Untuk sabukwala batik gadis yang sudah tetes, ditambah dengan perlengkapan “pendhing epek” dan “slepe”.
2. Putri Pinjung Kenceng;
Tata busana putri pinjung kenceng ini dipakai oleh gadis berusia 12 (dua belas) tahun. Kain batik dipakai secara utuh dengan motif yang berbeda yang diatur menyudut. Mengenakan gelung (ukel), cundhuk jungkat dan kalung sempyok. Pada tahap ini anak gadis biasa disebut “perawan semangit”, atau perawan yang masih kecil.
3. Semekan Kancing-Wingking;
Busana semekan kancing wingking ini dipakai oleh gadis yang memasuki usia remaja atau 14 (empat belas) tahun. Kain batik dipakai secara utuh dengan penutup dada dari kain dringin. Kain dringin dikancingkan kebelakang punggung dengan rambut terurai.
4. Busana Putri Genalaringen
Busana putri genalaringen ini dipakai untuk gadis yang sudah dewasa, memakai dua buah kain batik yaitu diwiru untuk menyamping dan untuk kemben penutup dada dengan diberi selingan kain polos/cindhe sebagai seret dipinggang.
5. Sabukwala Anak Putra;
Sabukwala anak putra diperuntukkan bagi anak putra (laki-laki) yang belum memasuki usia remaja atau belum dikhitan (13 tahun). Busana sabukwala ini biasa disebut “cothan” dengan kelengkapan yang terdiri dari baju beskap alit, kain batik, sabuk epek timang alit dan salop alit tanpa menggunakan blangkon dan keris.
Leluhur masyarakat Jawa telah memberikan ajaran atau tuntunan yang dimasukkan kedalam motif-motif kain batik sebagai pegangan dalam kehidupan sehari-hari karena masyarakat Jawa begitu sarat dengan makna-makna simbolis yang diberi doa dan permohonan kepada Tuhan dalam melaksanakan tatacara dan upacara. Demikian pula batik dipakai sebagai sarana dalam kehidupan manusia sejak lahir sampai meninggal dunia, seperti :
Upacara tingkeban atau mitoni diadakan untuk wanita yang sedang mengandung 7 (tujuh) bulan. Dalam tradisi ini, masyarakat Jawa memakai 7 (tujuh) macam motif batik yang berbeda dan salah satunya adalah kain batik lurik bermotif yuyu sekandhang, dengan makna agar pada saat melahirkan nanti semudah orang berganti busana (prucatprucut).
Kain batik kopohan atau gedongan dipakai untuk alas bayi pada saat lahir (baru keluar dari rahim ibu). Kain tersebut akan basah oleh darah ibu saat keluarnya bayi. Kain ini disebut “kopohan”. Biasanya kain ini telah disiapkan sejak usia kandungan 7 (tujuh) bulan dan kain batik yang dipakai biasanya dipilih motif yang mengandung filosofi atau makna baik, dengan harapan agar kebaikan tersebut akan melekat kepada anak yang masih suci sehingga kelak setelah dewasa bisa menjadi orang yang baik. Sedangkan “gendongan” hanya dipakai untuk menggendong ari-ari pada saat akan dilabuh atau dikubur. Untuk tradisi ini biasanya dipakai motif-motif batik sidomulyo, sidoluhur, sidomukti, semenrama, wahyu tumurun dan lain-lain.
Sinjang menton artinya kain batik yang dipergunakan untuk upacara mantu atau perkawinan. Mengingat hajatan mantu bagi masyarakat Jawa merupakan hajatan besar maka tidak sembarangan kain batik yang boleh dipakai. Mulai dari prosesi panembung (melamar), kain batik sudah menunjukkan status keluarga yang memakainya. Misalnya, kain batik semenan menandakan yang memakainya dari golongan priyayi. Dalam upacara penyerahan “paningsat”, calon mempelai laki-laki memakai kain batik motif “satrio manah” dan calon mempelai wanita mengenakan kain batik “semen rante”. Pada saat menjelang ijab pernikahan mempelai menggunakan motif “wahyu temurun” dimalam “widodareni”, orang tua mempelai memakai motif “cakar”. Orang tua pengantin menggunakan motif “truntum” sedangkan pengantin memakai motif “sidomulyo, sidomukti, raturatih”. Apabila dalam perkawinan anak terjadi “langkahan” saudara pengantin yang lebih tua, maka dilakukan upacara “langkahan” dimana sang pengantin menyerahkan kain batik “langkahan” berupa kain lurik motif “liwatan” kepada saudara tuanya.
Oleh karena di dalam busana adat Jawa tersebut mengandung ajaran moral, etika, kepemimpinan, pengabdian, mistik dan perjodohan, maka dalam berbusana harus diperhatikan masalah :
Untuk menunjang kelancaran kegiatan perdagangan dari berbagai jenis batik, Pemerintah telah menentapkan bahwa semua kain batik yang dipasarkan harus memakai merek dan label. Ketetapan ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan baik produsen maupun konsumen. Setiap batik yang dibuat dengan tulis tangan, pada bagian tepinya harus terdapat tulisan “Batik Tulis” dan pada batik cap maka harus pula terdapat tulisan “Batik Cap”. Melalui ketentuan ini diharapkan agar konsumen yang bukan ahli dalam masalah batik tidak akan salah pilih. Begitu pula dengan produsen batik terutama pengusaha kecil yang umumnya pengrajin batik tradisional, diharapkan dapat dilindungi dari ulah para pembajak yang biasanya memiliki modal lebih besar dan lebih kuat.