Sejarah dan tujuan



  1. Sejarah

  2. Shalawat Tarhim diciptakan oleh Syeikh Mahmud Khalil Al-Husshari (1917-1980), seorang qâri’ ternama lulusan Al-Azhar. Beliau merupakan Ketua Jam’iyatul Qurra’ wal Huffadz (organisasi para penghafal Al-Qur’an) di Mesir.

    Syeikh Mahmud Al-Husshari memiliki kedalaman ilmu qirâ’ah dan tartîl yang luar biasa. Dalam pendangan beliau, tartîl bukan hanya ilmu yang mempelajarai cara membaca Al-Qur’an, tapi juga cara memahami bacaan yang baik dan benar. Yaitu melalui studi linguistik dan dialek Arab Kuno, serta penguasaan teknik pelafalan huruf per-huruf dan kata per-kata dalam al-Qur’an. Dengan begitu, tingkat kemurnian bacaan dan makna yang mendalam dari Al-Qur’an, dapat tercapai. Saking alimnya, beliau sampai dijuluki sebagai Sheikh al-Maqâri’ (guru para ahli qira’ah).

    Shalawat Tarhim sendiri, pertama kali sampai ke Indonesia pada akhir tahun 1960an. Saat itu, Syeikh Mahmud Al-Husshari berkunjung ke Indonesia dan diminta untuk merekam Shalawat Tarhim di Radio Lokananta, Solo. Hasil rekaman tersebut kemudian disiarkan oleh Radio Lokananta dan juga Radio Yasmara (Yayasan Masjid Rahmat), Surabaya. Dari sinilah awal mula Shalawat Tarhim menjadi populer di Indonesia.

    Sampai sekarang, Shalawat Tarhim sudah menjadi semacam “lagu wajib” di masjid-masjid atau mushalla, terutama sebelum azan subuh di bulan suci Ramadhan. Namun, kaset yang biasa diputar di masjid-masjid atau mushalla (utamanya di Jawa Timur), itu bukan lagi suara Syeikh Mahmud Al-Husshari, melainkan sudah dilantunankan ulang oleh Syeikh Abdul Azis (sama-sama dari Mesir).


  3. Tujuan

  4. Tujuan melantunkan Shalawat Tarhim ialah membangunkan kaum Muslimin agar mempersiapkan diri untuk shalat Shubuh, atau membangunkan mereka yang ingin shalat tahajjud. Oleh karena itu, Shalawat Tarhim tidak “wajib” menggunakan karangan Syeikh Mahmud Al-Husshari, tapi bisa memakai bacaan apa saja dengan tujuan membangunkan shalat shubuh, shalat tahajjud, sahur, dan lain-lain. Bahkan ada masjid yang membaca “tarhim” dengan mengulang-ngulang hadits sbb:

    تَسَحَّرُوا فَإنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ
    “Sahurlah kalian, karena sahur itu membawa berkah“.

    Ada juga masjid atau mushala yang “hanya” memutar ayat-ayat Al-Qur’an. Mungkin agar lebih mudah dan praktis. Yang jelas, pada bulan Ramadhan, di sela-sela Qira’ah atau Tarhim biasanya diselingi seruan untuk sahur (baik dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah). Hal ini menunjukkan bahwa bacaan Al-Qur’an atau Shalawat Tarhim tersebut, pada dasarnya bertujuan menuntun kaum Muslimin untuk shalat atau makan sahur.

    Terkadang ditambah dengan kata-kata dari petugas masjid, misalnya: “Sekarang sudah pukul 03.00 WIB, sebentar lagi subuh, bangun… bangun.. .sahur... sahur...” Bagi yang ingin berpuasa, tarhim menuntunnya untuk segera makan sahur. Akhir-akhir ini masjid dan mushala memang lebih banyak memilih memutar kaset ayat-ayat Al-Qur'an karena lebih praktis ketimbang mendatangkan seseorang yang bersedia mengumandangkan alunan lagu yang merdu.

    Dulu, orang-orang yang membawakan tarhim dapat didatangkan dari luar daerah dengan upah yang cukup, ditambah hadiah sarung, baju koko, dan lain-lain. Mereka bisa bertiga atau berempat yang tugasnya (di samping mengisi acara tarhim dari pukul 03.00 sampai Subuh) mereka juga bertugas adzan setiap shalat Fardhu.

    Seiring perkembangan zaman, kelompok orang-orang tarhim ini sudah tidak banyak ditemui karena diganti kaset Al-Qur'an yang disetel kurang lebih 30-60 menit sebelum waktu adzan dengan disisipi suara dari petugasnya sepuluh menit sebelum Subuh: “Imsaak. . . imsaak. . .”

    Wallahu a'lam.