Bulan Syawal adalah bulan sangat yang sangat istimewa kerana sepanjang bulan itu adalah merupakan Hari Raya. Hari kemenangan dan kegembiraan, hari kesyukuran dan menambah amal kebaikan. Terdapat banyak keistimewaan di bulan Syawal, di antaranya:
1. Bulan Syawal adalah bulan keampunan.
Sabda Rasulullah s.a.w dan Ibnu Mas'ud r.a. yang maksudnya:
"Apabila mereka berpuasa sebulan Ramadan lalu pergi untuk mengerjakan solat Aidil Fitri, Allah Taala berfirman:
"Hai para Malaikat-Ku, tiap-tiap orang yang beramal itu mengharapkan pahalanya, dan para hamba-Ku yang berpuasa dalam bulan Ramadan lalu menunaikan solat Hari Rayajuga mengharapkan pahalanya, maka oleh kerana itu saksikanlah, bahawa sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka."
Lalu ada seruan: "Hai umat Muhammad, kembalilah kamu ke rumahmu masing-masing, sesungguhnya semua kejahatanmu telah diganti dengan kebaikan.”
Maka Allah Taala berfirman: "Hai para hamba-Ku, kamu semua telah berpuasa untuk-Ku dan juga telah berbuka untuk-Ku, oleh kerana itu bangkitlah kamu semua, kamu semua telah diampuni."
(ZubdatulWa'izhiina)
Syaitan dan nafsu sentiasa berusaha untuk melalaikan manusia supaya terpesong dan jauh dari rahmat dan keampunan Allah s.w.t. Dari Wahab bin Munabbih, bahawa dia berkata: Nabi SAW bersabda:
"Sesungguhnya Iblis yang dilaknat Allah itu berteriak pada setiap hari Raya, maka para bala tenteranya berkumpul di sekitarnya sambil berkata: "Wahai sri baginda kami, siapakah yang menjadikan baginda murka, maka sesungguhnya dia akan kami hancurkan."
Iblis berkata: "Tidak ada sesuatu pun. Akan tetapi Allah Taala pada hari ini telah mengampuni umat ini. Maka kamu semua harus membuat mereka sibuk dengan segala macam yang lazat-lazat, dengan syahwat dan dengan minum khamar, sehingga Allah murka kepadanya."
Orang-orang yang berakal hendaknya dapat menahan dirinya pada hari Raya, dari segala macam nafsu syahwat serta dari segala yang dilarang, bahkan hendaknya selalu taat untuk-Nya.
2. Bulan yang dikabulkan doa dan Allah s.w.t melihat dengan rahmat kasih sayangNya.
Rasulullah s.a.w bersabda yang maksudnya:
"Bersungguh-sungguhlah kamu semua pada Hari Raya Fitri dengan bersedekah dan amalan-amalan yang baik, yang bagus dari solat, zakat, tasbih, tahlil kerana sesungguhnya hari ini Allah Taala mengampuni semua dosa kamu. mengabulkan semua doamu dan melihat kamu semua dengan kasih-sayang."
(Durratul Wa'izhiina)
Awal pagi Syawal kita disunatkan sembahyang hari raya dan Allah s.w.t menjanjikan keredaan dan kempunan-Nya. Berkata Nabi s.a.w:
"Apabila Hari Raya Fitri, maka Allah mengirim para Malaikat. Maka para Malaikat sama-sama turun ke bumi di setiap daerah, lalu mereka berkata: "Hai umat Muhammad, keluarlah kamu semua kepada Tuhan Yang Maha Mulial" Maka ketika mereka teldh tampak keluar ke tempat solat mereka,
Allah berfirman: "Hai para Malaikat-Ku, saksikanlah olehmu semua, bahawa sesungguhnya telah-Ku jadikan pahala mereka atas puasanya itu, keredaan-Ku dan ampunan-Ku."
3. Bulan yang merupakan peringatan kepada hari akhirat.
Dikatakan juga:
"Sesungguhnya hikmah Hari Raya di dunia ini merupakan peringatan terhadap Hari Raya di akhirat. Apabila engkau melihat orang-orang, sebahagian dari mereka adayangpergi dengan berjalan, sebahagian lagi ada yang berkenderaan, sebahagian dari mereka ada yang berpakaian dan adajuga yang tidak berpakaian, sebahagian mereka ada yang memakai pakaian yang indah dan sebahagian yang lain ada beropakaian biasa dan sebahagian ada yang tertawa riang dan sebahagian lainnya ada yang menangis, maka ingatlah perjalanan di hari kiamat, sesungguhnya hai itupun demikian pula."
Apa hukumnya puasa enam hari bulan Syawal, apakah wajib?
Puasa enam hari bulan Syawal selepas mengerjakan puasa wajib bulan Ramadhan adalah amalan sunnat yang dianjurkan bukan wajib. Seorang muslim dianjurkan mengerjakan puasa enam hari bulan Syawal. Banyak sekali keutamaan dan pahala yang besar bagi puasa ini. Diantaranya, barangsiapa yang mengerjakannya niscaya dituliskan baginya puasa satu tahun penuh (jika ia berpuasa pada bulan Ramadhan). Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih dari Abu Ayyub Radhiyallahu 'Anhu bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:
"Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan lalu diiringinya dengan puasa enam hari bulan Syawal, berarti ia telah berpuasa setahun penuh."
(H.R Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i dan Ibnu Majah)
Rasulullah telah menjabarkan lewat sabda beliau:
"Barangsiapa mengerjakan puasa enam hari bulan Syawal selepas 'Iedul Fitri berarti ia telah menyempurnakan puasa setahun penuh. Dan setiap kebaikan diganjar sepuluh kali lipat."
Dalam sebuah riwayat berbunyi:
"Allah telah melipatgandakan setiap kebaikan dengan sepuluh kali lipat. Puasa bulan Ramadhan setara dengan berpuasa sebanyak sepuluh bulan. Dan puasa enam hari bulan Syawal yang menggenapkannya satu tahun."
(H.R An-Nasa'i dan Ibnu Majah dan dicantumkan dalam Shahih At-Targhib).
Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dengan lafazh:
"Puasa bulan Ramadhan setara dengan puasa sepuluh bulan. Sedang puasa enam hari bulan Syawal setara dengan puasa dua bulan. Itulah puasa setahun penuh."
Para ahli fiqih madzhab Hambali dan Syafi'i menegaskan bahwa puasa enam hari bulan Syawal selepas mengerjakan puasa Ramadhan setara dengan puasa setahun penuh, karena pelipat gandaan pahala secara umum juga berlaku pada puasa-puasa sunnat. Dan juga setiap kebaikan dilipat gandakan pahalanya sepuluh kali lipat.
Salah satu faidah terpenting dari pelaksanaan puasa enam hari bulan Syawal ini adalah menutupi kekurangan puasa wajib pada bulan Ramadhan. Sebab puasa yang kita lakukan pada bulan Ramadhan pasti tidak terlepas dari kekurangan atau dosa yang dapat mengurangi keutamaannya. Pada hari kiamat nanti akan diambil pahala puasa sunnat tersebut untuk menutupi kekurangan puasa wajib.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam :
"Amal ibadah yang pertama kali di hisab pada Hari Kiamat adalah shalat. Allah Ta'ala berkata kepada malaikat -sedang Dia Maha Mengetahui tentangnya-: "Periksalah ibadah shalat hamba-hamba-Ku, apakah sempurna ataukah kurang. Jika sempurna maka pahalanya ditulis utuh sempurna. Jika kurang, maka Allah memerintahkan malaikat: "Periksalah apakah hamba-Ku itu mengerjakan shalat-shalat sunnat? Jika ia mengerjakannya maka tutupilah kekurangan shalat wajibnya dengan shalat sunnat itu." Begitu pulalah dengan amal-amal ibadah lainnya." H.R Abu Dawud
Wallahu a'lam.
Bulan Syawal sebagai kelanjutan dari Bulan Ramadhan, jika dilihat dari arti kata itu, yakni peningkatan, rasanya menjadi sangat tepat. Setelah sebulan penuh kaum beriman menjalankan ibadah puasa di Bulan Ramdhan, yang diharapkan dari ibadah itu agar meraih derajat taqwa, maka dengan bersambung Bulan Syawal, maka makna itu terasa, ialah agar terjadi peningkatan. Seolah-olah nama bulan ini mengingatkan bagi siapapun, bahwa seharusnya setelah menjadi bertaqwa maka seseorang atau sekelompok orang harus menampakkan diri, ada peningkatan kualitas hidupnya.
Setidak-tidaknya tatkala memasuki Bulan Syawal, ada harapan agar terjadi peningkatan kualitas, ialah kualitas ketaqwaan bagi mereka yang berpuasa. Jika hal itu ingin dilihat secara nyata, maka akhlak orang-orang yang telah berpuasa menjadi meningkat, tempat-tempat ibadah semakin semarak karena jamaáhnya juga meningkat, orang-orang yang berkesusahan menjadi bisa tersenyum, lantaran persoalan mereka terselesaikan oleh karena munculnya banyak orang yang semakin sadar membayar infaq. Sehingga, memasuki Bulan Syawal kehidupan menjadi semakin lebih baik dan damai, karena dihiasi oleh akhlaq yang mulia, kedekatan dengan Allah, dan juga dengan sesama makhluk. Akhirnya Bulan Syawal menjadi bulan yang sangat indah.
Namun sementara ini yang terjadi belum seindah itu. Bahkan beberapa hari terakhir yang terdengar adalah berita-berita yang agak menyedihkan, misalnya terjadi kemacetan lalu lintas karena padatnya kendaraan di jalan sebagai akibat banyaknya orang pulang dari mudik. Bahkan juga besarnya jumlah kecelakaan di jalan hingga meninggal. Di Malang, misalnya, terdapat sekeluarga, suami isteri dan empat anaknya, meninggal bersamaan akibat kecelakaan di Tuban sepulang dari mudik.
Meninggal adalah sebuah kepastian, atau disebut taqdir. Tetapi peristiwa itu terkait dengan hari raya idul fitri di Bulan Syawal. Sehingga, tidak mudah disalahkan jika kemudian muncul pandangan yang mengatakan bahwa ternyata hari raya idul fitri, atau memasuki Bulan Syawal tidak selalu menggembirakan. Hari-hari yang semestinya penuh dengan gembira dan bahagia, ternyata justru sebaliknya, membawa duka. Sekalipun sesungguhnya tidak ada kejadian di alam ini yang sia-sia, melainkan selalu saja ada hikmah di balik semua itu, baik yang dirasakan menggembirakan maupun yang menyusahkan.
Selain itu, setelah hingar-bingar mudik usai, berbagai persoalan juga muncul, misalnya terjadi semakin banyak urbanisasi sehingga jumlah penduduk kota meningkat. Hal itu disebabkan karena sekembalinya dari mudik, tidak sedikit di antara mereka membawa serta keluarga atau tetangga untuk mencari pekerjaan ke kota. Berita lainnya yang kurang menyenangkan, terdapat beberapa PNS terkena sanksi, karena tidak bisa masuk kantor tepat pada hari yang seharusnya sudah aktif kembali. Belum lagi peristiwa kecil dan sederhana lainnya, misalnya uang belanja sementara keluarga, telah habis sebelum waktunya, karena digunakan membiayai hari raya, termasuk mudik itu.
Pertanyaannya, lalu apa yang meningkat sebagaimana arti Syawal itu sendiri. Siapa dan apa yang meningkat atau setidak-tidaknya teruntungkan. Seharusnya orang-orang yang baru saja menjalankan ibadah puasa itu yang meningkat, ialah meningkat ketaqwaannya. Sebagai gambarannya, sebagaimana dikemukakan di muka, masjid menjadi lebih ramai karena jumlah jamaáhnya meningkat, orang berkekurangan atau fakir miskin menjadi tertolong dan seterusnya. Namun yang demikian, ternyata juga tidak mudah terlihat. Bahkan tidak sedikit tempat ibadah, tatkala Ramadhan lewat, maka menjadi sepi kembali. Sementara fenomena lain, jangankan untuk berinfaq, sebatas untuk mencukupi kebutuhan hidup sebulan ke depan belum tentu tertutupi. Inilah realitas yang kadang jauh berbeda dengan gambaran idealitasnya.
Pertanyaannya kemudian adalah, lalu siapa yang beruntung dan untung apa. Menjelang hari raya tiba, biasanya juga terjadi semakin padatnya pengunjung pasar-pasar, mall, dan tempat perbelanjaan lainnya. Banyak orang mempersiapkan hari raya dengan cara berbelanja lebih banyak dari bulan atau hari biasa. Fenomena seperti itu menjadikan para pengusaha, pabrik-pabrik, transportasi dan apa saja, pedagang dan lain-lain mendapatkan peningkatan keuntungan. Pertanyaannya adalah siapakah para pengusaha dan pedagang besar itu, apakah selalu dari orang-orang yang juga ikut berpuasa. Jawabnya, tentu tidak mesti demikian.
Orang-orang yang tidak berpuasa pun, karena jeli membaca peluang pasar, maka secara ekonomis merekalah yang teruntungkan. Sebaliknya, banyak orang yang berpuasa, karena tidak melihat keuntungan yang bersifat material ini, justru setelah usai bulan ramadhan, maka secara ekonomis jangankan meningkat, sebaliknya justru mengalami defisit. Mereka yang mengalami peningkatan secara ekonomis itu, adalah orang-orang yang pandai membaca peluang bisnis, sekalipun mereka belum tentu berpuasa.
Akhirnya, memang puasa bukan untuk meningkatkan aspek ekonomi atau kekayaan. Puasa adalah untuk meningkatkan ketaqwaan. Akan tetapi jika ternyata, setelah memasuki bulan Syawal masjid menjadi sepi kembali, rasa syukur, sabar, ikhlas, dan istiqomah tidak juga meningkat, maka boleh saja dikatakan, bahwa puasa tidak mendapatkan apa-apa. Secara ekonomis tidak meningkat, sedangkan spiritual pun juga tidak bertambah. Sehingga kata syawal hanya sebatas nama bulan itu, dan belum memberikan makna apa-apa, termasuk bagi yang berpuasa. Semogalah kita semua, tidak tergolong sebagai orang yang tidak mendapatkan apa-apa itu. Seharusnya jika mungkin, sebagai kaum muslimin, di Bulan Syawal ini, berhasil mendapatkan dua-duanya, yaitu keuntungan ekonomi, maupun juga derajat taqwa. Wallahu a’lam