Baktimu Pada Dua Orang Tua
Khutbah Pertama:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ
وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ
أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ
فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا
شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ
إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ
أَمَّا بَعْدُ
أَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى
Ibadallah,
Tauhid dan bakti kepada kedua orang tua adalah dua sayap yang harus
saling bersanding. Hak kedua orang tua atas anak-anak mereka sangat
agung. Karena itu, Allah menyandingkan perintah untuk beribadah
kepadaNya dengan keharusan berbakti kepada mereka berdua. Allah
berfirman:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلآ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu.” (QS. Al Isra`:
23).
Lantaran begitu tingginya hak mereka, Allah memerintahkan kita untuk
selalu menyuguhkan kebaikan kepada mereka dan berinteraksi dengan mereka
dengan sikap yang ma’ruf (pantas). Kendatipun mereka dalam kungkungan
kekafiran. Sekalipun mereka memaksamu, wahai sang anak, untuk
menyekutukan Allah dengan obyek yang tidak jelas kedudukannya. Allah
berfirman:
وَإِن جَاهَدَاكَ عَلَى أَن تُشْرِكَ بِي مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu
yang tidak ada pengetahuanmu tentangnya, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya dan pergauilah kedunya dengan baik”.” (QS. Luqman: 15).
Saking besarnya martabat mereka dipandang dari kacamata syari’at,
Nabi mengutamakan bakti kepada mereka atas jihad fi sabilillah. Ibnu
Mas’ud berkata:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ
أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ
قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ
“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah, “Amalan apakah yang paling
dicintai Allah?” Beliau menjawab, “Mendirikan shalat pada waktunya.” Aku
bertanya kembali, “Kemudian apa?” Jawab Beliau, “Berbakti kepada ke
orang tua,” lanjut Beliau. Aku bertanya lagi, “Kemudian?” Beliau
menjawab, “Jihad di jalan Allah.” (HR Bukhari).
Ibadallah,
Perlu dipahami, perintah berbakti kepada Allah merupakan titah ilahi yang sudah berlaku pada umat sebelumnya. Allah berfirman:
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِى إِسْرَاءِيلَ لاَ تَعْبُدُونَ إِلاَّ
اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينِ
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu):
“Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu
bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim dan orang miskin…” (QS. Al
Baqarah:83).
Demikian juga Allah menyanjung para nabi karena telah berbuat baik
dengan baktinya kepada orang tua. Secara khusus, Allah menyebut nama
Nabi Yahya atas baktinya kepada kedua orang tuanya yang telah tua renta.
Dan bakti akan bernilai lebih tinggi, tatkala dilaksanakan dalam waktu
yang dibutuhkan. Masa tua dengan segala problematikanya adalah masa yang
sangat membutuhkan perhatian ekstra, terutama dari orang terdekat,
anak-anaknya. Allah berfirman:
وَبَرَّا بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا
“Dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.” (QS. Maryam: 14).
Begitu pula Allah memuji Nabi Isa, lantaran beliau telah melayani
sang ibu dengan sepenuh hati, dan bahkan merasa mendapat kehormatan
dengan sikapnya itu. Allah berfirman:
وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا
“Dan berbakti kepada ibuku dan Dia (Allah) tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32).
Ibadallah,
Berbakti kepada orang tua, akan melahirkan banyak kebaikan;
terangkatnya musibah, lenyapnya masalah dan kesedihan. Sebagai bukti
konkretnya, yaitu kisah tiga orang yang terperangkap di sebuah goa
sempit karena sebongkah batu besar menutupi mulut goa. Mereka berdoa dan
bertawasul dengan amal shalih yang pernah mereka kerjakan. Salah
seorang di antara tiga orang itu, bertawassul dengan baktinya kepada
kedua orang tua. Dia memanjatkan doa kepada Allah, dengan lantaran
baktinya tersebut, hingga akhirnya menjadi sebab sirnanya kesengsaraan
yang menghimpit. Dalam kisah nyata ini, seorang mukmin meyakini bahwa
bakti kepada orang tua, menjadi salah satu faktor hilangnya musibah.
Berbakti kepada orang tua juga akan menggoreskan kenangan kebaikan di
benak anak-anaknya. Sehingga anak-anak juga akan menjadi insan-insan
yang berbakti kepadanya, sebagai balasan baik dari budinya kepada ayah
bundanya dahulu. Sebab, al jaza` min jinsil ‘amal, balasan yang diterima
oleh seseorang sejenis dengan apa yang dahulu pernah ia kerjakan.
Sedangkan balasan akhiratnya, ialah surga, yang luasnya seluas langit
dan bumi. Dikisahkan dari Mua’wiyah bin Jahimah, ia bercerita: Aku
bersama Nabi untuk meminta pertimbangan dalam berjihad. Maka Beliau
bertanya,”Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Aku jawab,”Ya (masih
hidup)!” Beliau berkata,”Temanilah mereka berdua. Sesungguhnya surga
berada di bawah telapak kaki keduanya.”.
Ibadallah,
Bagaimana saya harus berbakti kepada orang tua? Mungkin pertanyaan
ini pernah mengganggu dan membingungkan kita. Dalam masalah ini,
sebenarnya Al Quran telah memaparkannya secara gamblang melalui ayat
(artinya): “Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua”. (Al Isra`: 23).
Saat menafsirkan ayat di atas, Syaikh As Sa’di menyatakan: “Berbuat
baiklah kepada mereka berdua dengan seluruh jenis kebaikan, baik dengan
ucapan maupun tindakan”. Pasalnya, perintah dalam ayat itu dengan
kalimat yang menunjukkan keumuman, sehingga mencakup seluruh jenis
kebaikan, disenangi anak ataupun tidak, tanpa perdebatan, membantah atau
berat hati. Perkara ini harus benar-benar diperhatikan. Sebab, sebagian
orang melalaikannya. Mereka mengira, berbakti kepada orang tua hanya
terbatas dengan melakukan apa yang disenangi anak saja. Padahal, hakikat
berbakti tidak sekadar seperti itu. Bakti yang sejati tercermin dengan
ketaatan anak kepada perintah orang tua meskipun tidak sejalan dengan
keinginan sang anak.
Ada beberapa syarat yang menjadikan perbuatan baik seorang anak
terhitung sebagai bakti kepada kedua orang tuanya. Pertama, mengutamakan
ridho kedua orang tua di atas kepentingan pribadi, ridha istri, anak
dan orang lainnya. Kedua, mentaati kedua orang tua dalam masalah
perintah dan larangan mereka, baik sesuai dengan keinginan anak ataupun
berlawanan dengan keinginannya, selama tidak ada aturan syar’i yang
dilanggar. Ketiga, dengan perasaan senang sepenuh hati memiliki
inisiatif untuk memberi kepada kedua orang tua, sesuatu yang sekiranya
mereka inginkan, meskipun tidak diminta. Juga, tetap memiliki anggapan
bahwa apa yang diberikannya kepada orang tua, masih tidak ada artinya
dibadingkan dengan jasa besar mereka.
Termasuk amalan yang baik buat orang tua, yaitu mendakwahi mereka
agar masuk Islam atau mendakwahi mereka kepada ketaatan dan meninggalkan
maksiat. Inilah kebaikan yang tertinggi nilainya. Sebab, ajakan ini
akan menyelamatkan mereka dari siksa Allah. Meski demikian, semestinya
harus dengan cara lembut dan santun, sebagaimana diceritakan Allah
tentang Nabi Ibrahim ketika mendakwahi ayahnya.
Bakti Nabi Ibrahim kepada ayahnya telah sampai titik klimaks. Ayahnya
diseru menuju surga, namun sang ayah justru menyerunya menuju neraka.
Nabi Ibrahim mendakwahi ayahnya agar beribadah kepada Allah semata,
justru ia mendakwahi supaya Nabi Ibrahim menyembah berhala-berhala. Sang
bapak marah dan mengancam seperti dikisahkan Allah
Ta’ala, (yang artinya):
Apakah engkau benci kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim. Jika kamu
tidak berhenti, niscaya kamu akan kurajam. Dan tinggalkanlah aku buat
waktu yang lama. (Maryam:46).
Nabi Ibrahim meresponnya secara lemah-lembut dengan berkata
sebagaimana dalam ayat, (artinya): Ibrahim berkata: “Semoga keselamatan
bersamamu. Aku akan memohonkan ampun kepada Rabb-ku untukmu”. (Maryam:
47).
Allah membalas sikap luhurnya kepada ayah dengan karunia anak,
Isma’il yang sangat taat kepada orang tuanya, meskipun harus
mempertaruhkan nyawanya dalam kisah penyembelihan yang sudah kita
ketahui bersama.
Berbakti kepada orang tua tidak berhenti, meskipun kematian telah
menjemput mereka. Masih ada sekian banyak cara yang harus ditempuh untuk
meneruskan bakti kepada orang tua yang sudah tiada. Dasarnya, yaitu
hadits Anas bin Malik, ia berkata:
بَيْنَمَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ هَلْ بَقِيَ عَلَيَّ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا
بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ نَعَمْ الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا
وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا
وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا َصِلَةَ لَكَ
إِلَّا مِنْ قِبَلِهِمَا فهو الذي بَقِيَ عَلَيْكَ مِنْ بِرِّهِمَا بَعْدَ
مَوْتِهِمَا
Saat aku duduk bersama Rasulullah, tiba-tiba ada seorang lelaki dari
kaum Anshar yang datang dan bertanya: “Wahai, Rasulullah! Apakah masih
ada (perkara) yang tersisa yang menjadi tanggung jawabku berkaitan
dengan bakti kepada orang tuaku setelah mereka berdua meninggal yang
masih bisa aku lakukan?” Nabi menjawab: “Betul. (Yaitu) ada empat hal:
engkau doakan dan mintakan ampunan bagi mereka, melaksanakan janji
mereka, serta memuliakan sahabat-sahabat mereka, juga menyambung tali
silaturahmi dengan orang yang ada hubungannya dengan ayah ibu. Inilah
(kewajiban) yang masih tersisa dalam berbakti kepada orang tuamu setelah
mereka meninggal”. (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Karena itu, Allah meninggikan kedudukan orang tua lantaran istighfar
anak buat mereka. Terlah diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ أَنَّى لِيْ هَذَا فَيُقَالُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
“Ada seorang lelaki yang kedudukannya terangkat di surga kelak.” Ia
pun bertanya,”Bagaimana ini?” Maka dijawab: “Lantaran istighfar anakmu”.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Seorang ibu menempati kedudukan yang tinggi dalam Islam, bahkan
berbanding tiga dari kedudukan sang ayah. Dalam suatu riwayat disebutkan
ada sahabat yang bertanya kepada Nabi:
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ
أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ
ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ
“Wahai Rasulullah, Siapa orang yang harus aku berbakti kepadanya?”
Beliau menjawab, “Ibumu.” Aku bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau
menjawab, “Ibumu.” Aku bertanya, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab,
“Ibumu.” Aku bertanya, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ayahmu.” (HR.
Bukhari).
Atha bin Yasar meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ada lelaki yang
mengadukan: “Aku meminang wanita, tetapi ia menolakku. Dan ada lelaki
lain meminangnya, dan wanita itu menginginkannya. Aku pun cemburu, dan
aku bunuh dia. Apakah aku masih punya kesempatan bertaubat?” Ibnu Abbas
bertanya: “Apakah ibumu masih hidup?” Jawabnya,”Tidak.” (Ibnu Abbas pun
berkata): “Kalau begitu, bertaubatlah kepada Allah dan berbuat baiklah
sebisamu.” Aku bertanya kepada Ibnu Abbas: “Mengapa engkau bertanya
tentang ibunya?” Ia menjawab, “Aku tidak mengetahui ada amalan yang
lebih mendekatkan diri kepada Allah melebihi bakti kepada ibu.”.
Seorang wanita atau ibu, lantaran beratnya kehidupan yang ia jalani
bersama anaknya, sejak berada di rahimnya sampai sang anak tumbuh
menjadi manusia remaja. Ditambah lagi, wanita mempunyai perasaan yang
sangat sensitif dibandingkan sang ayah, maka kondisi ini menuntut
komunikasi dengan tutur kata yang baik demi terjaganya perasaan sang
ibu. Oleh karenanya, perhatian secara khusus sudah sepantasnya diberikan
kepada seorang sang ibu.
Kaum muslimin saudaraku seiman,
Rasulullah menghubungkan kedurhakaan kepada kedua orang tua dengan
berbuat syirik kepada Allah. Dalam hadits Abi Bakrah, Beliau bersabda:
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلَاثًا قَالُوا بَلَى يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ
“Maukah kalian aku beritahukan dosa yang paling besar?” Para sahabat
menjawab, “Tentu.” Nabi bersabda, “(Yaitu) berbuat syirik, durhaka
kepada orang tua.” (HR Bukhari).
Dalam sebuah hadits, Rasulullah memberikan peringatan: “Setiap dosa,
Allah akan menunda (hukumannya) sesuai dengan kehendakNya pada hari
Kiamat, kecuali durhaka kepada orang tua. Sesungguhnya orangnya akan
dipercepat (hukumannya sebelum hari Kiamat).” (HR Bukhari)
Membuat menangis orang tua juga terhitung sebagai perbuatan durhaka.
Tangisan mereka berarti terkoyaknya hati, oleh polah sang anak.
Ibnu Umar pernah menegaskan: “Tangisan kedua orang tua termasuk kedurhakaan dan dosa besar”. (HR Bukhari).
Bagaimana tidak disebut sebagai kedurhakaan? Bukankah ucapan “uh”
atau “ah” dilarang dilontarkan kepada mereka berdua? Allah berfirman,
(artinya): Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan “ahh” dan janganlah kamu membentak
mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (Al Isra`:
23). Maksudnya, seperti dipaparkan Ibnu Katsir, jika mereka telah
memasuki usia saat kekuataan melemah dan memerlukan perlakuan yang baik,
maka janganlah kamu mengatakan kepada mereka “ah”. Ini adalah sikap
menyakitkan yang paling ringan, sebagai petunjuk atas sikap menyakiti
lainnya yang lebih besar. Maknanya, janganlah kalian menyakiti mereka
dengan sesuatu apapun, meskipun kecil.
Dalam hadits lain, Nabi bersabda: Kalau Allah mengetahui sikap
menyakitkan orang tua yang lebih rendah dari kata “ah”, niscaya akan
melarangnya. Orang yang durhaka hendaknya berbuat apa saja, namun ia
tidak akan masuk surga. Dan anak yang berbakti hendaknya berbuat apa
saja, tidak akan masuk neraka”.
Menurut Syaikh As Sa’di kedurhakaan terbagi dua. Pertama, sengaja
bersikap buruk kepada orang tua, dan ini dosanya lebih besar. Kedua,
sikap tidak mau berbuat baik kepada keduanya tanpa ada unsur menyakiti.
Ini tetap haram, tetapi tidak seperti yang pertama.
نَسْأَلُهُ جَلَّ فِيْ عُلَاهُ أَنْ يُوَفِّقَنَا أَجْمَعِيْنَ وَأَنْ
يُصْلِحَ لَنَا شَأْنَنَا كُلَّهُ وَأَنْ لَا يَكِلْنَا إِلَى أَنْفُسِنَا
طَرْفَةَ عَيْنٍ، نَسْأَلُهُ جَلَّ وَعَلَا بِمَنِّهِ وَكَرَمِهِ
وَجُوْدِهِ وَجَمِيْعِ أَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ أَنْ يَتَفَضَّلَ عَلَيْنَا
مَنًّا مِنْهُ وَتَكَرَّمًا بِأَنْ يِجْعَلَنَا مِنْ هَؤُلَاءِ عِبَادِ
الرَّحْمَنِ؛ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيْعُ الدُّعَاءِ وَهُوَ أَهْلُ الرَّجَاءِ
وَهُوَ حَسْبُنَا وَنِعْمَ الوَكِيْلِ .
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ كَمَا
يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ؛ صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
أَجْمَعِيْنَ.
أَمَّا بَعْدُ،
أَيُّهَا المُؤْمِنُوْنَ عِبَادَ اللهِ: اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى
وَرَاقِبُوْهُ فِي السِّرِّ وَالعَلَانِيَةِ وَالغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ
مُرَاقَبَةً مَنْ يَعْلَمُ أَنَّ رَبَّهُ يَسْمَعُهُ وَيَرَاهُ.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Pada khotbah yang kedua ini, khotib akan membawakan beberapa kisah
tentang orang-orang shaleh dari kalangan para sahabat dan orang-orang
setelah mereka yang sangat berbakti kepada orang tuanya, terutama
ibunya.
Sahabat Abu Hurairah sempat gelisah karena ibunya masih dalam jeratan
kekufuran. Dalam Shahih Muslim disebutkan, dari Abu Hurairah, ia
bercerita:
Aku mendakwahi ibuku agar masuk Islam. Suatu hari aku mengajaknya
untuk masuk Islam, tetapi dia malah mengeluarkan pernyataan tentang Nabi
yang aku benci. Aku (pun) menemui Rasulullah dalam keadaan menangis.
Aku mengadu: “Wahai Rasulullah, aku telah membujuk ibuku untuk masuk
Islam, namun dia menolakku. Hari ini, dia berkomentar tentang dirimu
yang aku benci. Mohonlah kepada Allah supaya memberi hidayah ibu Abu
Hurairah.” Rasulullah bersabda: “Ya, Allah. Tunjukilah ibu Abu
Hurairah.” Aku keluar dengan hati riang karena doa Nabi. Ketika aku
pulang dan mendekati pintu, maka ternyata pintu terbuka. Ibuku mendengar
kakiku dan berkata: “Tetap di situ Abu Hurairah.” Aku mendengar kucuran
air. Ibu ku sedang mandi dan kemudian mengenakan pakaiannya serta
menutup wajahnya, dan kemudian membuka pintu. Dan ia berkata: “Wahai,
Abu Hurairah! Asyhadu an Laa ilaaha Illa Allah wa asyhadu anna
Muhammadan ‘abduhu warasuluhu.” Aku kembali ke tempat Rasulullah dengan
menangis gembira. Aku berkata,”Wahai, Rasulullah. Bergembiralah. Allah
telah mengabulkan doamu dan menunjuki ibuku.” Maka Beliau memuji Allah
dan menyanjungNya serta berkomentar baik. (HR. Muslim).
Ibnu Umar pernah melihat lelaki menggendong ibunya dalam thawaf. Ia
bertanya: “Apakah ini sudah melunasi jasanya (padaku), wahai Ibnu Umar?”
Beliau menjawab: “Tidak, meski hanya satu jeritan kesakitannya (saat
bersalin).”
Zainal Abidin, adalah seseorang yang terkenal baktinya kepada ibu.
Orang-orang keheranan kepada, (dan berkata): “Engkau adalah orang yang
paling berbakti kepada ibu. Mengapa kami tidak pernah melihatmu makan
berdua dengannya dalam satu talam?” Ia menjawab,”Aku khawatir, tanganku
mengambil sesuatu yang dilirik matanya, sehingga aku durhaka kepadanya.”
Sebelumnya, kisah yang lebih mengharukan terjadi pada diri Uwais
al-Qarni, orang yang sudah beriman pada masa Nabi, sudah berangan-angan
untuk berhijrah ke Madinah untuk bertemu dengan Nabi. Namun perhatiannya
kepada ibunya telah menunda tekadnya berhijrah. Ia ingin bisa meraih
surga dan berteman dengan Nabi dengan baktinya kepada ibu, kendatipun
harus kehilangan kemuliaan menjadi sahabat Beliau di dunia.
Dalam Shahih Muslim, dari Usair bin Jabir, ia berkata: Bila rombongan
dari Yaman datang, Umar bin Khaththab bertanya kepada mereka: “Apakah
Uwais bin ‘Amir bersama kalian?” Sampai akhirnya menemui Uwais. Umar
bertanya,”Engkau Uwais bin ‘Amir?” Ia menjawab,”Benar.” Umar
bertanya,”Engkau dari Murad kemudian beralih ke Qarn?” Ia
menjawab,”Benar”. Umar bertanya,”Apakah engkau dulu pernah sakit lepra
dan sembuh, kecuali kulit yang sebesar uang dirham?” Ia
menjawab,”Benar.” Umar bertanya,”Engkau punya ibu?” Ia menjawab,”Benar.”
Umar (pun) mulai bercerita,”Aku mendengar Rasulullah bersabda,’Akan
datang pada kalian Uwais bin ‘Amir bersama rombongan penduduk Yaman yang
berasal dari Murad dan kemudian dari Qarn. Ia pernah tertimpa lepra dan
sembuh total, kecuali kulit yang sebesar logam dirham. Ia mempunyai ibu
yang sangat dihormatinya. Seandainya ia bersumpah atas nama Allah,
niscaya aku hormati sumpahnya. Mintalah ia beristighfar untukmu jika
bertemu’.” (Umar berkata),”Tolong mintakan ampun (kepada Allah)
untukku,” maka ia memohonkan ampunan untukku. Umar bertanya,”Kemana
engkau akan pergi?” Ia menjawab,”Kufah.” Umar berkata,”Maukah engkau
jika aku menulis (rekomendasi) untukmu ke gubernurnya (Kufah)?” Ia
menjawab,”Aku lebih suka bersama orang yang tidak dikenal.”
Kisah lainnya tentang bakti kepada ibu, yaitu Abdullah bin ‘Aun
pernah memanggil ibunya dengan suara keras, maka ia memerdekakan dua
budak sebagai tanda penyesalannya.
Ibadallah,
Di sisi lain, pena-pena sejarah mencatat pula kisah anak-anak yang tidak berbakti dan durhaka kepada kedua orang tuanya.
Diceritakan ada lelaki yang sangat durhaka kepada sang ayah sampai
tega menyeret ayahnya ke pintu depan untuk mengusirnya dari rumah. Sang
ayah ini dikarunia anak yang lebih durhaka darinya. Anak itu menyeret
bapaknya sampai ke jalanan untuk mengusirnya dari rumahnya. Maka sang
bapak berkata: “Cukup. Dulu aku hanya menyeret ayahku sampai pintu
depan.” Sang anak menimpali: “Itulah balasanmu. Adapun tambahan ini
sebagai sedekah dariku!”
Kisah perih lainnya, seorang ibu yang mengisahkan kepedihannya:
“Suatu hari istri anakku meminta suaminya (anakku) agar menempatkanku di
ruangan yang terpisah, berada di luar rumah. Tanpa ragu-ragu, anakku
menyetujuinya. Saat musim dingin yang sangat menusuk, aku berusaha masuk
ke dalam rumah, tapi pintu-pintu terkunci rapat. Rasa dingin pun
menusuk tubuhku. Kondisiku semakin buruk. Anakku ingin membawaku ke
suatu tempat. Perkiraanku ke rumah sakit, tetapi ternyata ia
mencampakkanku ke panti jompo. Dan setelah itu tidak pernah lagi
menemuiku.”
Sebagai penutup, kita harus memahami bahwa bakti kepada orang tua
merupakan jalan lempang dan mulia yang mengantarkan seorang anak menuju
surga Allah. Sebaliknya, kedurhakaan kepada mereka, bisa menyeret sang
anak menuju lembah kehinaan, neraka.
Hati-hatilah, durhaka kepada orang tua, dosanya besar dan balasannya
menyakitkan. Nabi n bersabda,”Akan terhina, akan terhina dan akan
terhina!” Para sahabat bertanya,”Wahai, Rasulullah. Siapakah gerangan?”
Beliau bersabda,”Orang yang mendapati orang tuanya, atau salah satunya
pada hari tuanya, namun ia (tetap) masuk neraka.” (HR. Muslim).
وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا رَعَاكُمُ اللهُ عَلَى مُحَمَّدِ ابْنِ عَبْدِ
اللهِ كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ: إِنَّ
اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً [الأحزاب:56] ،
وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((مَنْ صَلَّى عَلَيَّ
وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا)).
للَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ
عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ ،
وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى
إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الأَئِمَّةِ
المَهْدِيِيْنَ أَبِيْ بَكْرِ الصِّدِّيْقِ ، وَعُمَرَ الفَارُوْقِ ،
وَعُثْمَانَ ذِيْ النُوْرَيْنِ، وَأَبِي الحَسَنَيْنِ عَلِي، وَارْضَ
اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَابِعِيْنَ وَمَنْ
تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ
بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.
وَأَذِلَّ الشِرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ
وَاحْمِ حَوْزَةَ الدِّيْنَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ . اَللَّهُمَّ آمِنَّا
فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةِ أُمُوْرِنَا
وَاجْعَلْ وُلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ
يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا زَكِّهَا أَنْتَ خَيْرَ مَنْ
زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا
ذُنُبَنَا كُلَّهُ ؛ دِقَّهُ وَجِلَّهُ ، أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ ، سِرَّهُ
وَعَلَنَهُ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا
وَلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ
اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ. رَبَّنَا إِنَّا ظَلَمْنَا
أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ
الخَاسِرِيْنَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ
حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ .
(Diadaptasi dari ‘Idatush Shabirin karya Abdullah bin Ibrahim Al
Qar’awi, Cetakan III, Penerbit Dar Tharafain, Tahun 1421H dan Ilzam
Rijlaha Fatsamma Al Jannah, karya Shalih bin Rasyid Al Huwaimil,
Penerbit Dar Ibnu Atsir, Cetakan I, Tahun 1422H).