Hak-Hak Suami Isteri
Khutbah Pertama:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ
وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ،
وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ وَصَفِيُّهُ وَخَلِيْلُهُ وَأَمِيْنُهُ عَلَى وَحْيِهِ
ومُبلِّغُ النَّاسِ شَرْعَهُ، مَا تَرَكَ خَيْرًا إِلَّا دَلَّ الْأُمَّةَ
عَلَيْهِ وَلَا شَرًّا إِلَّا حَذَّرَهَا مِنْهُ فَصَلَوَاتُ اللهِ
وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.
أَمَّا بَعْدُ مَعَاشِرَ المُؤْمِنِيْنَ عِبَادَ اللهِ:
اَتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى؛ فَإِنَّ مَنِ اتَّقَى اللهَ وَقَاهُ، وَأَرْشَدَهُ إِلَى خَيْرِ أُمُوْرِ دِيْنِهِ وَدُنْيَاهُ.
وَتَقْوَى اللهِ جَلَّ وَعَلَا عَمَلٌ بِطَاعَةِ اللهِ عَلَى نُوْرٍ مِنَ
اللهِ رَجَاءَ ثَوَابِ اللهِ، وَتَرْكٌ لِمَعْصِيَةِ اللهِ عَلَى نُوْرٍ
مِنَ اللهِ خِيْفَةَ عَذَابِ اللهِ .
Ibadallah,
Keluarga diibaratkan seperti batu bata pertama dalam sebuah bangunan
masyarakat. Apabila keluarga baik, maka masyarakat pun akan ikut menjadi
baik dan sebaliknya jika keluarga rusak, maka masyarakat akan menjadi
rusak pula. Oleh karena itu, Islam memberikan perhatian kepada urusan
keluarga dengan perhatian yang sangat besar, sebagaimana Islam juga
mengatur hal-hal yang dapat menjamin keselamatan dan kebahagiaan
keluarga tersebut.
Islam mengibaratkan keluarga seperti suatu lembaga yang berdiri di
atas suatu kerjasama antara dua orang. Penanggung jawab yang pertama
dalam kerjasama tersebut adalah suami. Allah berfirman :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ
عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ
قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang
lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang shalih ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena
Allah telah memelihara (mereka).” (QS.An-Nisaa’: 34)
Islam menentukan hak-hak di antara keduanya yang dengan menjalankan
hak-hak tersebut, maka akan tercapai ketenteraman dan keberlangsungan
lembaga. Islam menyuruh keduanya agar menunaikan apa yang menjadi
kewajibannya dan tidak mempermasalahkan beberapa kesalahan kecil yang
mungkin saja terjadi.
Ibadallah,
Allah
Ta’ala berfirman:
نْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang.” (QS. Ar-Ruum: 21)
Rasa cinta dan kasih sayang yang terjadi di antara suami isteri nyaris tidak dapat ditemukan di antara dua orang mukmin. Allah
Subhanahu wa Ta’ala
akan senang jika cinta dan kasih sayang tersebut selalu ada dan
langgeng pada setiap pasangan suami isteri. Oleh karena itu, Dia
Subhanahu wa Ta’ala
menentukan beberapa hak bagi mereka yang dapat menjaga dan memelihara
rasa cinta dan kasih sayang tersebut dari kesirnaan. Allah
Ta’ala berfirman:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Hal ini merupakan suatu kaidah menyeluruh yang mengatakan bahwasanya
seorang wanita memiliki kesamaan dengan laki-laki dalam semua hak,
kecuali satu perkara yang diungkapkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan firman-Nya:
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Dan hak-hak isteri maupun kewajiban-kewajiban mereka menurut cara
yang ma’ruf telah diketahui di kalangan masyarakat dan apa yang berlaku
pada ‘urf (kebiasaan) masya-rakat itu mengikuti syari’at, keyakinan,
adab dan kebiasaan mereka. Hal ini akan menjadi tolak ukur pertimbangan
bagi suami dalam memperlakukan isterinya dalam keadaan apa pun. Jika
ingin meminta sesuatu kepada isterinya, suami akan ingat bahwa
sesungguhnya ia mempunyai kewajiban untuk memberikan kepada isteri
sesuatu yang semisal dengan apa yang ia minta. Oleh karena itu, Ibnu
‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Sesungguhnya aku berhias diri untuk isteriku sebagaimana ia menghias diri untukku.”(1)
Seorang mukmin yang hakiki akan mengakui adanya hak-hak bagi isterinya, sebagaimana firman Allah
Ta’ala:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.”
Dan juga sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقَّا.
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kalian memiliki hak atas
isteri-isteri kalian dan isteri-isteri kalian juga memiliki hak atas
kalian.”
Dan seorang mukmin yang paham, ia akan selalu berusaha untuk memenuhi
hak-hak isterinya tanpa melihat apakah haknya sudah terpenuhi atau
belum, karena ia sangat menginginkan kelanggengan cinta dan kasih sayang
di antara mereka berdua, sebagaimana ia juga akan selalu berusaha untuk
tidak memberikan kesempatan sedikit pun bagi syaitan yang selalu ingin
memisahkan mereka berdua.
Sebagai bentuk pengamalan hadits “ad-Diinun Nashiihah” (agama adalah
nasihat), kami akan menyebutkan apa saja hak-hak isteri atas suami yang
kemudian akan dilanjutkan dengan penjelasan tentang hak-hak suami atas
isteri dengan harapan agar para pasangan suami isteri paham dan kemudian
mau saling nasehat-menasehati dengan kebenaran dan kesabaran.
إِنَّ لِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا.
“Sesungguhnya isteri-isteri kalian memiliki hak atas kalian”
Kaum muslimin rahimani warahimakumullah,
Di antara hak isteri adalah:
Pertama: Suami harus memperlakukan isteri dengan cara yang ma’ruf, karena Allah
Ta’ala telah berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (QS. An-Nisaa’: 19)
Yaitu, dengan memberinya makan apabila ia juga makan dan memberinya
pakaian apabila ia berpakaian. Mendidiknya jika takut ia akan durhaka
dengan cara yang telah diperin-tahkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala
dalam mendidik isteri, yaitu dengan cara menasihatinya dengan nasihat
yang baik tanpa mencela dan menghina maupun menjelek-jelekannya. Apabila
ia (isteri) telah kembali taat, maka berhentilah, namun jika tidak,
maka pisahlah ia di tempat tidur. Apabila ia masih tetap pada
kedurhakaannya, maka pukullah ia pada selain muka dengan pukulan yang
tidak melukai, sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي
الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا
عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah
mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya
Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. An-Nisaa: 34)
Dan juga berdasarkan sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala ditanya apakah hak isteri atas suaminya? Beliau menjawab:
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ
تَضْرِبِ الوَجْهَ، وَلاَ تُقَبِّحْ، وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ.
“Engkau memberinya makan jika engkau makan, engkau memberinya pakaian
jika engkau berpakaian, janganlah memukul wajah dan janganlah
menjelek-jelekkannya serta janganlah memisahkannya kecuali tetap dalam
rumah.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Sesungguhnya sikap lemah lembut terhadap isteri merupakan indikasi
sempurnanya akhlak dan bertambahnya keimanan seorang mukmin, sebagaimana
sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ.
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling bagus
akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap
isterinya.” (HR. Tirmidzi).
Ibdallah,
Sikap memuliakan isteri menunjukkan kepribadian yang sempurna,
sedangkan sikap merendahkan isteri adalah suatu tanda akan kehinaan
orang tersebut. Dan di antara sikap memuliakan isteri adalah dengan
bersikap lemah lembut dan bersenda gurau dengannya. Diriwayatkan
bahwasanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu bersikap lemah lembut dan berlomba (lari) dengan para isterinya. ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah mengajakku lomba lari dan akulah yang menjadi pemenangnya dan
setiap kami lomba lari aku pasti selalu menang, sampai pada saat aku
keberatan badan beliau mengajakku lari lagi dan beliaulah yang menang,
maka kemudian beliau bersabda, ‘Ini adalah balasan untuk kekalahanku
yang kemarin.’” (5)
Dan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap setiap permainan itu adalah bathil kecuali jika dilakukan dengan isteri, beliau bersabda:
كُلُّ شَيْئٍ يَلْهُوْبِهِ ابْنُ آدَمَ فَهُوَ بَاطِلٌ إِلاَّ ثَلاَثًا:
رَمْيُهُ عَنْ قَوْسِهِ، وَتَأْدِيْبُهُ فَرَسَهُ، وَمُلاَعَبَتُهُ
أَهْلَهُ، فَإِنَّهُنَّ مِنَ الْحَقِّ.
“Segala sesuatu yang dijadikan permainan bani Adam adalah bathil
kecuali tiga hal: melempar (anak panah) dari busurnya, melatih kuda dan
bercanda dengan isteri, sesungguhnya semua itu adalah hak.” (HR.
an-Nasai).
Kedua: Suami harus bersabar dari celaan isteri serta mau memaafkan kekhilafan yang dilakukan olehnya, karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ.
“Janganlah seorang mukmin membenci mukminah. Apabila ia membencinya
karena ada satu perangai yang buruk, pastilah ada perangai baik yang ia
sukai.” (HR. Muslim).
Di dalam hadits yang lain beliau juga pernah bersabda:
اِسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ،
وَإِنَّ أَعْوَجَ مَا فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ
كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوْا
بِالنِّسَاءِ خَيْرًا.
“Berilah nasihat kepada wanita (isteri) dengan cara yang baik. Karena
sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk laki-laki yang
bengkok. Sesuatu yang paling bengkok ialah sesuatu yang terdapat pada
tulang rusuk yang paling atas. Jika hendak meluruskannya (tanpa
menggunakan perhitungan yang matang, maka kalian akan mematahkannya,
sedang jika kalian membiarkannya), maka ia akan tetap bengkok. Karena
itu berilah nasihat kepada isteri dengan baik.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Sebagian ulama Salaf mengatakan, “Ketahuilah bahwasanya tidak disebut
akhlak yang baik terhadap isteri hanya dengan menahan diri dari
menyakitinya, namun dengan bersabar dari celaan dan kemarahannya.”
Dengan mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diriwayatkan bahwa para isteri beliau pernah protes, bahkan salah satu
di antara mereka pernah mendiamkan beliau selama sehari semalam.”
Ketiga: Suami harus menjaga dan memelihara isteri dari segala sesuatu
yang dapat merusak dan mencemarkan kehormatannya, yaitu dengan
melarangnya dari bepergian jauh (kecuali dengan suami atau mahramnya).
Melarangnya berhias (kecuali untuk suami) serta mencegahnya agar tidak
berikhtilath (bercampur baur) dengan para lelaki yang bukan mahram.
Suami berkewajiban untuk menjaga dan memeliharanya dengan sepenuh
hati. Ia tidak boleh membiarkan akhlak dan agama isteri rusak. Ia tidak
boleh memberi kesempatan baginya untuk meninggalkan perintah-perintah
Allah ataupun bermaksiat kepada-Nya, karena ia adalah seorang pemimpin
(dalam keluarga) yang akan dimintai pertanggungjawaban tentang
isterinya. Ia adalah orang yang diberi kepercayaan untuk menjaga dan
memeliharanya. Berdasarkan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
“Para lelaki adalah pemimpin bagi para wanita.” (QS. An-Nisaa’: 34)
Juga berdasarkan sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِيْ أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.
“Lelaki adalah pemimpin dalam keluarganya dan ia akan dimintai
pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Keempat: Suami harus mengajari isteri tentang perkara-perkara penting
dalam masalah agama atau memberinya izin untuk menghadiri
majelis-majelis ta’lim. Karena sesungguhnya kebutuhan dia untuk
memperbaiki agama dan mensucikan jiwanya tidaklah lebih kecil dari
kebutuhan makan dan minum yang juga harus diberikan kepadanya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS.
At-Tahrim: 6)
Dan isteri adalah termasuk dalam golongan al-Ahl (keluarga). Kemudian
menjaga diri dan keluarga dari api Neraka tentunya harus dengan iman
dan amal shalih, sedangkan amal shalih harus didasari dengan ilmu dan
pengetahuan supaya ia dapat menjalankannya sesuai dengan syari’at yang
telah ditentukan.
Kelima: Suami harus memerintahkan isterinya untuk mendirikan agamanya serta menjaga shalatnya, berdasarkan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaahaa: 132)
Keenam: Suami mau mengizinkan isteri keluar rumah untuk keperluannya,
seperti jika ia ingin shalat berjamaah di masjid atau ingin mengunjungi
keluarga, namun dengan syarat menyuruhnya tetap memakai hijab busana
muslimah dan melarangnya untuk tidak bertabarruj (berhias) atau sufur.
Ketujuh: Suami tidak boleh menyebarkan rahasia dan menyebutkan
kejelekan-kejelekan isteri di depan orang lain. Karena suami adalah
orang yang dipercaya untuk menjaga isterinya dan dituntut untuk dapat
memeliharanya. Di antara rahasia suami isteri adalah rahasia yang mereka
lakukan di atas ranjang. Rasulullah melarang keras agar tidak mengumbar
rahasia tersebut di depan umum. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan
oleh Asma’ binti Yazid
radhiyallahu ‘anhuma:
Bahwasanya pada suatu saat ia bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para Sahabat dari kalangan laki-laki dan para wanita sedang
duduk-duduk. Beliau bersabda, “Apakah ada seorang laki-laki yang
menceritakan apa yang telah ia lakukan bersama isterinya atau adakah
seorang isteri yang menceritakan apa yang telah ia lakukan dengan
suaminya?”
Akan tetapi semuanya terdiam, kemudian aku (Asma’) berkata, “Demi
Allah wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka semua telah melakukan hal
tersebut.” Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Janganlah kalian melakukannya, karena sesungguhnya yang
demikian itu seperti syaitan yang bertemu dengan syaitan perempuan,
kemudian ia menggaulinya sedangkan manusia menyaksikannya.”
أَقُوْلْ هَذَا الْقَوْلَ وَاَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ
المُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ يَغْفِرْ لَكُمْ
إنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَحِيْمُ.
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ عَظِيْمِ الإِحْسَانِ، وَاسِعِ الْفَضْلِ وَالْجُوْدِ
وَالْاِمْتِنَانِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا
شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
أَجْمَعِيْنَ
Kdelapan: Suami mau bermusyawarah dengan isteri dalam setiap
permasalahan, terlebih lagi dalam perkara-perkara yang berhubungan
dengan mereka berdua dan anak-anak, sebagaimana apa yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam
selalu bermusyawarah dengan para isterinya dan mau mengambil pendapat
mereka. Seperti halnya pada saat Sulhul Hudaibiyah (perjanjian damai
Hudaibiyyah), setelah beliau selesai menulis perjanjian, beliau bersabda
kepada para Sahabat:
قُوْمُوْا فَانْحَرُوْا، ثُمَّ احْلِقُوْ.
“Segeralah kalian berkurban, kemudian cukurlah rambut-rambut kalian.”
Akan tetapi tidak ada seorang Sahabat pun yang melakukan perintah
Rasululah Shaallallahu ‘alaihi wa sallam sampai beliau mengulangi
perintah tersebut tiga kali. Ketika beliau melihat tidak ada seorang
Sahabat pun yang melakukan perintah tersebut, beliau masuk menemui Ummu
Salamah Radhiyallahu anha kemudian menceritakan apa yang telah terjadi.
Ummu Salamah kemudian berkata, “Wahai Nabi Allah, apakah engkau ingin
mereka melakukan perintahmu? Keluarlah dan jangan berkata apa-apa dengan
seorang pun sampai engkau menyembelih binatang kurbanmu dan memanggil
tukang cukur untuk mencukur rambutmu.” Maka beliau keluar dan tidak
mengajak bicara seorang pun sampai beliau melakukan apa yang dikatakan
oleh isterinya. Maka tatkala para Sahabat melihat apa yang dilakukan
oleh Rasulullah, mereka bergegas untuk menyembelih hewan-hewan kurban,
mereka saling mencukur rambut satu sama lain, sampai-sampai hampir saja
sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lainnya.
Demikianlah, Allah
Subhanahu wa Ta’ala memberikan kebaikan yang banyak bagi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
melalui pendapat isterinya yang bernama Ummu Salamah. Sangat berbeda
dengan contoh-contoh kezhaliman yang dilakukan oleh sebagian orang,
serta slogan-slogan yang melarang keras bermusyawarah dengan isteri.
Seperti perkataan sebagian dari mereka bahwa, “Pendapat wanita jika
benar, maka akan membawa kerusakan satu tahun dan jika tidak, maka akan
membawa kesialan seumur hidup.”
Kesembilan: Suami harus segera pulang ke rumah isteri setelah shalat
‘Isya’. Janganlah ia begadang di luar rumah sampai larut malam. Karena
hal itu akan membuat hati isteri menjadi gelisah. Apabila hal tersebut
berlangsung lama dan sering berulang-ulang, maka akan terlintas dalam
benak isteri rasa waswas dan keraguan. Bahkan di antara hak isteri atas
suami adalah untuk tidak begadang malam di dalam rumah namun jauh dari
isteri walaupun untuk melakukan shalat sebelum dia menunaikan hak
isterinya. Oleh karena itu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari apa yang telah dilakukan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr
radhiyallahu ‘anhuma karena lamanya bergadang (beribadah) malam dan menjauhi isterinya, kemudian beliau bersabda:
إِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا.
“Sesungguhnya isterimu mempunyai hak yang wajib engkau tunaikan.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Kesepuluh: Suami harus dapat berlaku adil terhadap para isterinya
jika ia mempunyai lebih dari satu isteri. Yaitu berbuat adil dalam hal
makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan dalam hal tidur seranjang. Ia
tidak boleh sewenang-wenang atau berbuat zhalim karena sesungguhnya
Allah
Subhanahu wa Ta’ala melarang yang demikian. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى أَحَدِهِمَا دُوْنَ اْلأُخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ.
“Barangsiapa yang memiliki dua isteri, kemudian ia lebih condong
kepada salah satu di antara keduanya, maka ia akan datang pada hari
Kiamat dalam keadaan miring sebelah.”(HR. Ibnu Majah, at-Tirmidzi, dan
selainnya).
Demikianlah sejumlah hak para isteri yang harus ditunaikan oleh para
suami. Oleh karena itu, bersungguh-sungguhlah dalam usaha memenuhi
hak-hak isteri tersebut. Sesungguhnya dalam memenuhi hak-hak isteri
adalah salah satu di antara sebab kebahagian dalam kehidupan berumah
tangga dan termasuk salah satu sebab ketenangan dan keselamatan keluarga
serta sebab menjauhnya segala permasalahan yang dapat mengusik dan
menghilangkan rasa aman, tenteram, damai, serta rasa cinta dan kasih
sayang.
Kami juga memperingatkan kepada para isteri agar mau melupakan
kekurangan suami dalam hal memenuhi hak-hak mereka. Kemudian hendaklah
ia menutupi kekurangan suami tersebut dengan bersungguh-sungguh dalam
mengabdikan diri untuk suami, karena dengan demikian kehidupan rumah
tangga yang harmonis akan dapat kekal dan abadi.
وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا – رَعَاكُمُ اللهُ – عَلَى مُحَمَّدِ ابْنِ عَبْدِ
اللهِ كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فَقَالَ: ﴿ إِنَّ اللَّهَ
وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً ﴾ [الأحزاب:٥٦] ، وقال
صلى الله عليه وسلم : ((مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ عَشْرًا)) .
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ
عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ،
وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى
إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَلْأَئِمَّةِ
المَهْدِيِيْنَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وَارْضَ
اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ
تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ، وَعَنَّا مَعَهُمْ
بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِرْكَ
وَالمُشْرِكِيْنَ وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاحْمِ حَوْزَةَ
الدِّيْنِ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ. اَللَّهُمّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا
وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا
فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ.
اَللّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَّ أَمْرِنَا لِهُدَاكَ وَاجْعَلْ عَمَلَهُ فِي
رِضَاكَ وَأَعِنْهُ عَلَى طَاعَتِكَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَ الإِكْرَامِ.
اَللَّهُمَّ وَفِّق جَمِيْعَ وُلَاةِ أَمْرِ المُسْلِمِيْنَ لِكُلِّ قَوْلٍ
سَدِيْدٍ وَعَمَلٍ رَشِيْدٍ.
اَللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا، زَكِّهَا أَنْتَ خَيْرَ مَنْ
زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا. اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ ذَاتَ
بَيْنِنَا، وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِنَا، وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلَامِ،
وَأَخْرِجْنَا مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ، وَبَارِكْ لَنَا فِي
أَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَأَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا
وَأَمْوَالِنَا وَأَوْقَاتِنَا وَاجْعَلْنَا مُبَارَكِيْنَ أَيْنَمَا
كُنَّا.
اَللَّهُمَّ وَأَصْلِحْ لَنَا شَأْنَنَا كُلَّهُ وَلَا تَكِلْنَا إِلَى
أَنْفُسِنَا طَرْفَةَ عَيْنٍ، اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا ذُنثوْبَنَا
وَاجْعَلْ عَمَلَنَا فِي رِضَاكَ، وَوَفِّقْنَا لِطَاعَتِكَ يَا ذَا
الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ، رَبَّنَا إِنَّا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وإنْ لَمْ
تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ،
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ
وَالمُسْلِمَاتَ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ
وَالْأَمْوَاتِ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ
حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ .
عِبَادَ اللهِ: اُذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلَى
نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ
مَا تَصْنَعُونَ .
(Didaptasi dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz,
Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia
Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir)