Kedudukan Akal Dalam Islam
Khutbah Pertama:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ
وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ وَصَفِيُهُ وَخَلِيْلُهُ وَأَمِيْنُهُ عَلَى وَحْيِهِ
وَمُبَلِّغُ النَّاسِ شَرْعِهِ، مَا تَرَكَ خَيْراً إِلَّا دَلَّ الأُمَّةَ
عَلَيْهِ وَلَا شَرّاً إِلَّا حَذَّرَهَا مِنْهُ؛ فَصَلَوَاتُ اللهِ
وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.
أَمَّا بَعْدُ مَعَاشِرَ المُؤْمِنِيْنَ عِبَادَ اللهِ: اِتَّقُوْا اللهَ
تَعَالَى وَرَاقِبُوْهُ مُرَاقَبَةً مَنْ يَعْلَمُ أَنَّ رَبَّهُ
يَسْمَعُهُ وَيَرَاهُ.
Segala puji bagi Allah
‘Azza wa Jalla, yang telah
menganugerahkan kepada umat manusia hati nurani, yang dengannya mereka
menjadi berakal, mampu berfikir, merenung, dan membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk. Allah
‘Azza wa Jalla berfirman,
وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dialah yang menjadikan kalian memiliki pendengaran, penglihatan, dan hati, supaya kalian bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78).
Imam Ibnu Katsir
rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Allah
‘Azza wa Jalla
memberikan mereka telinga untuk mendengar, mata untuk melihat, dan hati
-yakni akal yang tempatnya di hati- untuk membedakan mana yang
bermanfaat dan mana yang membahayakan… Dan Allah
‘Azza wa Jalla memberikan umat manusia kenikmatan-kenikmatan ini, agar dengannya mereka dapat beribadah kepada Rabb-nya”.
Shalawat dan salam, semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sang teladan yang telah mendorong umatnya, untuk terus meningkatkan
kemampuan akalnya dalam memahami agama ini, sebagaimana dalam sabdanya,
مَنْ يُرِدْ اللهُ بهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka Dia akan dipahamkan dalam agamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Begitu pula dalam sabdanya,
خِيَارُهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِي الْإِسْلَامِ، إِذَا فَقُهُوا
“Orang yang paling baik di masa jahiliyyah, adalah orang yang paling
baik setelah masuk Islam, jika mereka menjadi seorang yang faqih (ahli
dan alim dalam ilmu syariat).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ibadallah,
Lihatlah bagaimana Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan dorongan kepada umatnya untuk menjadi muslim yang benar-benar
memahami syariat Islam, dan itu tidak mungkin dicapai, kecuali dengan
memanfaatkan sebaik mungkin akalnya.
Perlu diketahui bahwa sebagian ulama membagi akal menjadi dua jenis
yaitu akal insting dan akal tambahan. Akal insting adalah kemampuan
dasar manusia untuk berfikir dan memahami sesuatu yang dibawa sejak
lahir. Sedangkan akal tambahan adalah kemampuan berfikir dan memahami,
yang dibentuk oleh pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh
seseorang.
Ibnul Qayyim
rahimahullah mengatakan, “Jika dua akal ini
berkumpul pada seorang hamba, maka itu merupakan anugerah besar yang
diberikan oleh Allah kepada hamba yang dikehendaki-Nya, urusan hidupnya
akan menjadi baik, dan pasukan kebahagiaan akan mendatanginya dari
segala arah.
Tentunya adanya pembedaan dua jenis akal di atas, tidak berarti
adanya pemisah antara akal insting dengan akal tambahan. Karena akal
tambahan pada dasarnya adalah akal insting yang telah berkembang seiring
bertambahnya ilmu dan pengalaman yang diperoleh seseorang. Bisa
dikatakan, bahwa akal tambahan melazimkan adanya akal insting.
Sebaliknya, sangat jarang adanya akal insting yang tidak berkembang
seiring berjalannya waktu,
wallahu a’lam.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Akal merupakan karunia agung yang diberikan Allah
‘Azza wa Jalla
kepada bani Adam. Ia adalah pembeda antara manusia dengan hewan,
dengannya mereka dapat terus berinovasi dan membangun peradaban, dan
dengannya mereka dapat membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang
berbahaya sesuai jangkauan akal mereka.
Karena besarnya karunia akal ini, Islam menggariskan banyak syariat untuk menjaga dan mengembangkannya, seperti:
- Mengharamkan apapun yang dapat menghilangkan akal, baik makanan,
minuman, ataupun tindakan. Juga memberikan hukuman khusus berupa cambuk,
bagi mereka yang sengaja makan atau minum apapun yang memabukkan.
- Memasukkan akal dalam lima hal primer yang harus dijaga dalam syariat Islam, yakni: agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta.
- Menjadikannya sebagai syarat utama taklif (kewajiban dalam
syariat). Oleh karena itu, ada batasan baligh, karena orang yang belum
baligh biasanya kurang sempurna akalnya. Oleh karena itu pula, semua
orang yang hilang akalnya, bebas atau gugur kewajibannya menjalankan
syariat.
- Menganjurkan, bahkan mewajibkan umatnya untuk belajar. Lalu
memberikan derajat yang tinggi bagi mereka yang berilmu dan mengamalkan
ilmunya.
- Melarang umatnya membaca bacaan atau mendengarkan perkataan-perkataan, yang dapat menyesatkannya dari pemahaman yang benar.
Semua hal di atas digariskan oleh Islam, terutama untuk menjaga
nikmat akal, mensyukurinya, dan mengembangkannya. Bahkan dalam Alquran,
sangat banyak kita dapati ayat-ayat yang mendorong manusia agar
memanfaatkan akalnya untuk hal-hal yang berguna, terutama untuk mencari
hakikat kebenaran. Berikut ini, merupakan sebagian kecil dari contoh
ayat-ayat tersebut:
وَهُوَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ وَلَهُ اخْتِلَافُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Dialah yang menghidupkan dan mematikan, Dia pula yang mengatur
pergantian malam dan siang. Tidakkah kalian menalarnya?!” (QS.
Al-Mukminun: 80).
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَىٰ وَالْبَصِيرُ ۚ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ
“Katakanlah: samakah antara orang yang buta dengan orang yang melihat?! Tidakkah kalian memikirkannya?!” (QS. Al-An’am: 50).
انْظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الْآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ
“Perhatikanlah, bagaimana kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda
kekuasaan Kami, agar mereka memahaminya!” (QS. Al-An’am: 65).
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Tidakkah mereka merenungi Alquran?! Sekiranya ia bukan dari Allah,
pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.”
(QS. An-Nisa': 82).
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ ﴿١٧﴾ وَإِلَى
السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ ﴿١٨﴾ وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ ﴿١٩﴾
وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ ﴿٢٠﴾ فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ
مُذَكِّرٌ
“Tidakkah kalian memperhatikan pada onta, bagaimana ia diciptakan?
Dan pada langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan pada gunung-gunung,
bagaimana itu ditegakkan? Dan pada bumi, bagaimana ia dihamparkan? Maka
berilah peringatan, sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan.”
(QS. Al-Ghasyiyah: 17-20).
Kaum muslimin rahimakumullah,
Betapa pun jenius dan tingginya kemampuan akal, tetap saja ia
merupakan salah satu dari kekuatan manusia. Dan tidak bisa kita pungkiri
bahwa semua kekuatan manusia pasti memiliki batasan dan titik lemah.
Tidak lain, itu disebabkan karena sumber kekuatannya adalah makhluk yang
lemah, dan sumber yang lemah, tentu akan menghasilkan sesuatu yang ada
lemahnya pula.
Di antara bukti adanya titik lemah pada akal manusia, adalah adanya
banyak hakikat yang tidak bisa dijelaskan olehnya, seperti: hakikat ruh,
mimpi, jin, mukjizat, karamah, dan masih banyak lagi. Belum lagi,
seringnya kita dapati adanya perubahan pada hasil penelitiannya; dahulu
berkesimpulan dunia ini datar, lalu muncul teori bulat, lalu muncul
teori lonjong. Dahulu mengatakan minyak bumi adalah sumber energi tak
terbarukan, lalu muncul teori sebaliknya. Dahulu mengatakan matahari
mengitari bumi, lalu muncul teori sebaliknya, dan begitu seterusnya.
Kenyataan ini menunjukkan, bahwa akal tidak layak dijadikan sebagai
sandaran untuk menetapkan kebenaran hakiki. Apabila ada sumber kebenaran
hakiki yang diwahyukan, maka itulah yang harus dikedepankan, sedangkan
akal diberi ruang untuk memahami dan menerima dengan apa adanya.
Oleh karenanya –kaum muslimin rahimakumullah-, Islam memberi ruang
khusus bagi akal, ia hanya boleh menganalisa sesuatu yang masih dalam
batasan jangkauannya, ia tidak boleh melewati batasan tersebut, kecuali
dengan petunjuk nash-nash yang diwahyukan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah mengatakan, “Akal
merupakan syarat dalam mempelajari semua ilmu. Ia juga syarat untuk
menjadikan semua amalan itu baik dan sempurna, dan dengannya ilmu dan
amal menjadi lengkap. Namun (untuk mencapai itu semua), akal bukanlah
sesuatu yang dapat berdiri sendiri, tapi akal merupakan kemampuan dan
kekuatan dalam diri seseorang, sebagaimana kemampuan melihat yang ada
pada mata. Maka apabila akal itu terhubung dengan cahaya iman dan
Alquran, maka itu ibarat cahaya mata yang terhubung dengan cahaya
matahari atau api”.
Ibadallah,
Karena kenyataan ini, maka hendaklah kita mengetahui batasan-batasan
akal, sehingga kita tahu, kapan kita boleh melepas akal kita di lautan
pandangan, dan kapan kita harus mengontrolnya dengan wahyu Allah
‘Azza wa Jalla.
Ini merupakan bentuk lain dari penghormatan Islam terhadap akal. Islam
menempatkannya pada posisi yang layak, sekaligus menjaganya agar tidak
terjatuh ke dalam jurang kesesatan yang membingungkan.
Di antara beberapa hal, yang kita tidak boleh mengedepankan akal dalam membahasnya adalah:
- Hal-hal yang berhubungan dengan akidah dan perkara-perkara ghaib. Seperti menetapkan atau menafikan Nama dan Sifat Allah ‘Azza wa Jalla, surga dan neraka, nikmat dan siksa kubur, jin dan setan, malaikat, keadaan hari kiamat, dan lain-lain.
- Dasar-dasar akhlak dan adab yang tidak bertentangan dengan syariat,
seperti adab makan dan minum, adab buang hajat, akhlak terhadap orang
tua, sesama, dan anak kecil, dan lain-lain.
- Ajaran syariat Islam, terutama dalam masalah ibadah, seperti
menetapkan atau menafikan syariat shalat, zakat, puasa, haji, jihad, dan
lain-lain.
Dalam perkara-perkara ini, memang dibutuhkan akal untuk memahami,
merenungi, dan menyimpulkan suatu hukum dari dalil, tapi akal tidak
boleh keluar dari dalil yang ada, ia tidak boleh menentangnya, ataupun
mengada-ada.
Adapun yang berhubungan dengan alam semesta yang kasat-mata, maka
itulah lautan luas yang diberikan kepada akal manusia untuk terus
menganalisa dan meneliti, terus menemukan dan mengolahnya. Inilah yang
banyak disinggung dalam firman-firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ
“Tidakkah mereka memperhatikan kerajaan langit dan bumi, serta segala sesuatu yang diciptakan Allah?!” (QS. Al-A’raf: 185).
وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِين ﴿٢٠﴾ وَفِي أَنْفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونََ
“Di bumi itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang
yang yakin… dan juga pada diri kalian sendiri, tidakkah kalian
memperhatikannya?!” (QS. Adz-Dzariyat: 20-21).
أَفَلَمْ يَنْظُرُوا إِلَى السَّمَاءِ فَوْقَهُمْ كَيْفَ بَنَيْنَاهَا
وَزَيَّنَّاهَا وَمَا لَهَا مِنْ فُرُوج ﴿٦﴾ وَالْأَرْضَ مَدَدْنَاهَا
وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ زَوْجٍ
بَهِيجٍ ﴿٧﴾ تَبْصِرَةً وَذِكْرَىٰ لِكُلِّ عَبْدٍ مُنِيبٍ
“Maka tidakkah mereka memperhatikan langit yang ada di atas mereka,
bagaimana cara Kami membangun dan menghiasinnya dan tidak ada keretakan
sedikitpun padanya?… Dan (bagaimana) bumi Kami hamparkan, Kami
pancangkan di atasnya gunung-gunung yang kokoh, dan Kami tumbuhkan di
atasnya tanaman-tanaman yang indah… Agar menjadi pelajaran dan
peringatan bagi setiap hamba yang kembali (tunduk kepadaNya).” (QS. Qaf:
6-8).
Demikianlah syariat Islam menegaskan fungsi akal bagi manusia. Ia
tidak dilebih-lebihkan dengan menganggapnya serba bisa, karena
hakikatnya memang akal memiliki batasan. Ia juga tidak diremehkan,
karena dengannya juga syariat bisa diterima dan ditalar.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي
وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ،
وَنَفَعْنَا بِهَدْيِ سَيِّدِ المُرْسَلِيْنَ وَقَوْلُهُ القَوِيْمُ.
أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ
وَلِلْمُسْلِمِيْنَ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ
الرَحِيْمُ.
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى إِحْسَانِهِ، وَالشُّكْرِ لَهُ عَلَى مَنِّهِ
وَجُوْدِهِ وَامْتِنَانِهِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
تَعْظِيْماً لِشَأْنِهِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ اَلدَّاعِيْ إِلَى رِضْوَانِهِ؛ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَأَعْوَانِهِ.
أَمَّا بَعْدُ عِبَادَ اللهِ: اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى .
Kaum muslimin rahimakumullah,
Setelah kita memahami uraian sebelumnya, tentu kita akan sampai pada
kesimpulan, bahwa akal merupakan nikmat yang sangat agung, namun ia
bukanlah segalanya. Kita harus menempatkannya pada tempat yang layak,
dan tidak membebaninya dengan sesuatu yang tidak bisa dijangkau olehnya.
Jika ada keterangan wahyu dalam masalah apapun, maka itulah yang
harus didahulukan, dan akal harus menyesuaikan dengannya, memahaminya,
dan menerimanya dengan apa adanya. Memang, kadang keterangan wahyu
menjadikan akal tertegun, namun ia tidak akan menganggapnya sebagai
sesuatu yang mustahil.
Akhirnya, khotib tutup khotbah yang singkat ini dengan perkataan yang
layak ditorehkan dengan tinta emas, dari salah seorang ulama besar
Islam, beliau adalah Ibnu Abil Izz
rahimahullah dalam Syarah Aqidah Thahawiyyah:
وَقَدْ تَوَاتَرَتِ الأَخْبَارُ عَنْ رَسُوِلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي ثُبُوْتِ عَذَابِ الْقَبْرِ, وَنَعِيْمِهِ لِمَنْ كَانَ
لِذَلِكَ أَهْلاً, وَسُؤَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ , فَيَجِبُ إِعْتِقَادُ
ثُبُوْتِ ذَلِكَ , وَالإيْمَانُ بِهِ , وَلاَ نَتَكَلَّمُ فِي
كَيْفِيَّتِهِ , إِذْ لَيْسَ لِلْعَقْلِ وُقُوْفٌ عَلَى كَيْفِيَّتِهِ,
لِكَوْنِهِ لاَ عَهْدَ لَهُ بِهِ غَيْرُ هَذِهِ الدَّارِ, وَالشَّرْعُ لاَ
يَأْتِي بِمَا تُحِيْلُهُ الْعُقُوْلُ , وَلَكِنَّهُ قَدْ يَأْتِي بِمَا
تُحَارُ فِيْهِ الْعُقُوْلُ
“Telah datang keterangan dalam banyak hadits yang telah mencapai
derajat mutawatir, tentang adanya adzab kubur dan nikmatnya bagi orang
yang berhak, serta pertanyaan kubur bagi mereka yang mukallaf. Maka itu
wajib diyakini dan diimani kebenarannya, dan kita tidak boleh
membicarakan tentang gambaran detailnya, karena memang akal tidak boleh
menerka gambaran detailnya, demikian itu, karena akal tidaklah
menyaksikan kecuali dunia yang ada ini. Dan syariat tidak akan datang
dengan sesuatu yang dimustahilkan akal, meski kadang datang dengan
sesuatu yang membingungkannya.”
Mudah-mudahan khotbah yang singkat ini bermanfaat, terutama bagi penulis sendiri, dan umumnya bagi para jamaah sekalian.
عِبَادَ اللهِ: وَ صَلُّوْا وَسَلِّمُوْا -رَعَاكُمُ اللهُ- عَلَى
مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فِي
كِتَابِهِ فَقَالَ: ﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى
النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا
تَسْلِيماً ﴾ [الأحزاب:56] ، وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
((مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى الله عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا)).
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ
عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ،
وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى
إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
.وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الأَئِمَّةِ
المَهْدِيِيْنَ أَبِيْ بَكْرِ الصِّدِّيْقِ، وَعُمَرَ الفَارُوْقِ،
وَعُثْمَانَ ذِيْ النُوْرَيْنِ، وَأَبِي الحَسَنَيْنِ عَلِي، وَارْضَ
اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَابِعِيْنَ وَمَنْ
تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ
بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ
وَالْمُشْرِكِيْنَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ. اَللَّهُمَّ احْمِ
حَوْزَةَ الدِّيْنِ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ آمِنَّا فِي
أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا، وَاجْعَلْ
وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ
العَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَّ أَمْرِنَا لِهُدَاكَ وَاجْعَلْ
عَمَلَهُ فِي رِضَاكَ وَأَعِنْهُ عَلَى طَاعَتِكَ وَارْزُقْهُ البِطَانَةَ
الصَّالِحَةَ النَّاصِحَةَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ.
للَّهُمَّ اغْفِرْ ذُنُوْبَ المُذْنِبِيْنَ مِنَ المُسْلِمِيْنَ،
اَللَّهُمَّ وَتُبْ عَلَى التَّائِبِيْنَ، اَللَّهُمَّ وَارْحَمْ
مَوْتَانَا وَمَوْتَى المُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ وَاشْفِ مَرْضَانَا
وَمَرْضَى المُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ فَرِجّْ هُمُ المَهْمُوْمِيْنَ مِنَ
المُسْلِمِيْنَ وَفَرِّجْ كَرْبَ المَكْرُوْبِيْنَ، وَاقْضِ الدَّيْنَ
عَنِ المَدِيْنِيْنَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ يَا حَيُّ يَا
قَيُّوْمُ أَنْتَ حَسْبُنَا وَنِعْمَ الوَكِيْلِ. { رَبَّنَا ظَلَمْنَا
أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ
الْخَاسِرِينَ }.{ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي
الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ }.
عِبَادَ اللهِ: اُذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلَى
نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ ، وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ
مَا تَصْنَعُونَ .
(Diadaptasi dari tulisan Ustadz Musyafa di majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVI/1433H/2012M).