Menerapkan Syariat Islam Secara Kafah
Khutbah Pertama:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ
وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ وَصَفِيُهُ وَخَلِيْلُهُ وَأَمِيْنُهُ عَلَى وَحْيِهِ بَلَّغَ
الرِسَالَةَ وَأَدَّى الأَمَانَةَ وَنَصَحَ الْأُمَّةَ وَجَاهَدَ فِي
اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ حَتَّى أَتَاهُ اليَقِيْنُ، وَمَا تَرَكَ خَيْراً
إِلَّا دَلَّ الأُمَّةَ عَلَيْهِ وَلَا تَرَكَ شَرّاً إِلَّا حَذَّرَ
الْأُمَّةَ مِنْهُ؛ فَصَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ .
أَمَّا بَعْدُ:
مَعَاشِرَ المُؤْمِنِيْنَ عِبَادَ اللهِ: اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى
وَرَاقِبُوْهُ مُرَاقَبَةً مَنْ يَعْلَمُ أَنَّ رَبَّهُ يَسْمَعُهُ
وَيَرَاهُ. وَتَقْوَى اللهَ جَلَّ وَعَلَا: عَمَلٌ بِطَاعَةِ اللهِ عَلَى
نُوْرٍ مِنَ اللهِ رَجَاءَ ثَوَابَ اللهِ، وَتَرْكٌ لِمَعْصِيَةِ اللهِ
عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ خِيْفَةَ عَذَابِ اللهِ.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Islam adalah agama yang sempurna yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, relevan dengan setiap zaman dan tempat, Allah
‘Azza wa Jalla memerintahkan kaum Muslimin untuk masuk kedalam Islam secara kaffah, yaitu secara menyeluruh, sebagaimana firman Allah
‘Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً
“Wahai orang orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh).” (QS. Al-Baqarah: 208).
Maksudnya, Allah
‘Azza wa Jalla menyuruh para hamba-Nya yang
beriman dan yang membenarkan rasul-Nya untuk mengambil seluruh ajaran
dan syariat Islam, melaksanakan seluruh perintah-Nya dan meninggalkan
seluruh larangan-Nya sesuai dengan kemampuan mereka.
Jadi, penerapan syariat Islam mencakup perkara aqidah, ibadah,
akhlak, dakwah, politik (tatanan negara), amar ma’ruf nahi munkar, dan
yang lainnya.
Ibadallah,
Dalam perkara aqidah, maka wajib bagi kaum muslimin mengikuti akidah yang sesuai dengan Alquran dan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
baik dalam tauhid rububiyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid asma’ dan
sifat, serta seluruh prinsip prinsip akidah Ahlussunnah wal Jamaah yang
lain.
Dalam tauhid uluhiyyah (tauhid ibadah), maka wajib bagi setiap Muslim
untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan seluruh ibadah
kepada-Nya, bersih dari kesyirikan, baik syirik besar atau kecil. Bahkan
ini adalah inti ajaran Islam dan pondasinya yang kokoh yang akan
dibangun di atasnya seluruh syariat Islam. Sehingga, sungguh sangat aneh
dan mengherankan, bila ada diantara kaum Muslimin menuntut penerapan
syariat Islam dalam perkara harta dan jiwa serta pengadilan, namun
mereka membiarkan orang-orang yang memiliki akidah yang sesat dan batil,
atau pelaku kesyirikan dibiarkan dengan keyakinan dan ritual mereka
masing masing tanpa dituntut untuk kembali kepada akidah yang benar dan
mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah
‘Azza wa Jalla. Bukankah urusan keimanan dan akidah lebih penting dari pada urusan harta dan jiwa?
Dalam tauhid asma’ dan sifat, maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi akidah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para shahabatnya diberi tindakan hukum, seperti sekte Jahmiyah,
Mu’tazilah, Asya’irah, Maturidiyah, Khawarij dan Murjiah. Kesesatan dan
kebatilan akidah mereka harus dijelaskan, tidak boleh dibiarkan bebas
menebarkan kebatilan tersebut. Keyakinan mereka wajib dihukumi dengan
akidah yang sesuai dengan Alquran dan sunnah.
Dalam perkara ibadah, maka yang menjadi landasan beribadah adalah
Alquran dan sunnah, bukan ibadah-ibadah yang tidak dicontohkan oleh
Rasulullah, atau dalam Bahasa syariatnya disebut bid’ah. Barangsiapa
melakukan amalan-amalan yang baru dan bid’ah maka wajib dijelaskan
kebatilan dan kesesatannya, karena amalan yang bid’ah tersebut bukan
dari syariat Islam, sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada landasannya
dari perintah kami maka ditolak (tidak diterima).” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Jadi, penerapan syariat Islam dalam perkara ibadah itu juga wajib.
Apabila ibadah sudah dijalankan sesuai dengan Alquran dan sunnah maka
itu adalah ibadah yang shahih dan diterima, jika tidak maka ia adalah
ibadah yang salah dan batil, dan perkara ini tidak boleh diremekan sama
sekali.
Dalam perkara akhlak, maka yang menjadi standar adalah akhlak Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tertera dalam Alquran dan sunnah.
Dalam masalah amar ma’ruf nahi munkar dan dakwah maka kaum Muslimin
wajib diperintahkan agar melakukan kebaikan dan mengingkari kejahatan
dan maksiat yang berkembang di tengah masyarakat. Para pelaku
kemungkaran dan maksiat tidak boleh dibiarkan berbuat sesuai dengan
keinginan hawa nafsunya. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَأى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ
أضْعَفُ الإيمَانِ
“Apabila salah seorang kalian melihat kemungkaran, maka cegahlah
dengan tangan, jika tidak dengan lisan, jika tidak dengan hati, dan
itulah keimanan yang paling lemah”. (HR. Muslim).
Kaum muslimin rahimakumullah,
Pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar dan berdakwah harus mengikuti
manhaj para nabi dan rasul dan para salafus sholeh, karena itulah manhaj
yang benar dan metoda yang bijak dalam mengajak kepada Islam dan
mengembalikan kejayaannya. Bukan dengan manhaj-manhaj bid’ah yang
menyelisihi hukum Allah dan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang banyak muncul di zaman sekarang ini.
Sesuatu yang sangat disayangkan jika ada yang menyeru untuk penerapan
syariat Islam, akan tetapi jalan yang ditempuh bukan jalan yang sesuai
dengan syariat Islam. Mungkinkah syariat di tegakkan dengan cara yang
tidak sesuai dengan syariat Islam?
Dalam politik dan tatanan negara, hendaklah yang menjadi standar hukum dan landasan perundang-undangan adalah syariat Allah
‘Azza wa Jalla, bukan pemikiran manusia. Oleh karena itu, wajib bagi para penguasa untuk menerapkan hukum Allah
‘Azza wa Jalla
(syariat Islam) dan juga mereka berkewajiban untuk mewajibkan para
rakyatnya untuk berhukum dengan hukum Allah dan Rasul-Nya. Inilah tugas
dan tanggug jawab penguasa yang paling utama dan besar.
Inilah hakikat praktik syariat Islam, bukan hanya dalam perkara
menegakkan hukum pidana dalam masalah harta dan jiwa saja, tapi
penegakan syariat sepenuhnya.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Sebagaimana yang dimaklumi bahwa kita diciptakan oleh Allah
‘Azza wa Jalla untuk beribadah kepada-Nya dengan melakukan seluruh perkataan dan amalan yang dicintai dan diridhai oleh Allah
‘Azza wa Jalla,
baik perkataan dan amalan yang lahir atau batin. Inilah hakikat
syahadat “La Ilaha Illallah” dan konsekuensi dari keimanan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Ubudiyah (penghambaan diri kepada Allah
‘Azza wa Jalla)
menuntut ketundukan yang sempurna kepada Allah dalam segala aspek agama,
baik dalam perintah dan larangan, aqidah, perkataan dan amalan; Dia
menghalalkan apa yang dihalalkan Allah
‘Azza wa Jalla dan mengharamkan apa yang diharamkan Allah
‘Azza wa Jalla.
Secara global bisa disimpulkan sikap kaum Muslimin terhadap praktik syariat Islam sebagai berikut:
Pertama: Para penguasa atau pemimpin kaum Muslimin berkewajiban untuk menerapkan hukum Allah
‘Azza wa Jalla dan menjadikannya sebagai sumber perundang-undangan dan landasan hukum, sebagaiman firman Allah
‘Azza wa Jalla,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ
اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa': 58).
Ini adalah perintah bagi para penguasa yang diberi amanah dan
tanggung jawab. Mereka wajib memutuskan perkara di antara manusia dengan
adil sesuai dengan syariat Allah
‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan firman Allah
‘Azza wa Jalla,
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ
أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ
اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ
أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ
لَفَاسِقُونَ ﴿٤٩﴾ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ
مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.
Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah
‘Azza wa Jalla kepadamu.
Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah
kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya
kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah
yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. An-Maidah: 49-50).
Ayat diatas megandung perintah dan seruan untuk menerapkan hukum
Allah (syariat Islam), yang ditegaskan oleh Allah dalam delapan poin:
- Perintah untuk berkukum dengan hukum Allah, yang terkandung dalam firman-Nya :
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah”.
- Larangan mengikuti hawa nafsu dan keinginan manusia, dan jangan
sampai hal itu menghalangi seseorang dari menegakkan hukum Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
… dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka …
- Peringatan keras dari meninggalkan hukum Allah dalam segala perkara, baik kecil atau besar dan sedikit atau banyak:
وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu”.
- Berpaling dari hukum Allah ‘Azza wa Jalla dan tidak menerima sesuatu darinya adalah perbuatan dosa besar yang menyebabkan turunnya azab yang sangat pedih dari Allah:
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ
“Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki menimpakan mushibah
kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka”.
- Peringatan agar tidak tertipu dengan banyaknya orang orang yang berpaling dari hukum Allah ‘Azza wa Jalla, karena hamba-hamba Allah ‘Azza wa Jalla yang bisa bersyukur itu minoritas, sementara mayoritas manusia itu fasik.
وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
“Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”.
- Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan bahwa berhukum dengan selain hukum Allah berarti berhukum dengan hukum Jahiliyah.
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka inginkan?”
- Hukum Allah ‘Azza wa Jalla adalah hukum yang terbaik dan paling adil,
وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Siapakah yang lebih baik hukumnya dari pada Allah, bagi kaum yang menyakini”.
- Kensekuensi dari keyakinan tersebut adalah mengetahui bahwa hukum
Allah adalah hukum yang paling sempurna dan paling adil, jika halnya
demikian maka wajib untuk ridha dan pasrah terhadap hukum Allah ‘Azza wa Jalla.
وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Siapakah yang lebih baik hukumnya dari pada Allah, bagi kaum yang menyakini”.
Ibadallah,
Kedua: Sikap Masyarakat Terhadap Praktik Syariat
Sikap kaum Muslimin terhadap penerapkan syariat bisa simpulkan pada poin berikut:
- Menaati Allah dan Rasul-Nya Dalam Penerapan Syariat Tersebut,
Sebagaimana firman Allah
‘Azza wa Jalla,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾ أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ
إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا
إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ
الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا ﴿٦٠﴾ وَإِذَا قِيلَ
لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ
رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
‘Azza wa Jalla
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku
dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada
apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada
thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan
syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang
sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah kamu (tunduk)
kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya
kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan
sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (QS. An-Nisa': 59-61).
- Mencintai Penerapan Syariat Islam.
Merupakan kewajiban setiap Muslim setelah ia mengetahui hukum-hukum
agama adalah mencintainya. Karena mencintai seluruh yang dicintai oleh
Allah
‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya adalah konsekuensi dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tanpa ragu kita mengatakan bahwa Allah
‘Azza wa Jalla
mencintai praktik syariat sehingga Dia memerintahkan untuk diterapkan
di permukaan bumi, bahkan kecintaan adalah faktor utama yang bisa
mendorong untuk menerapkan syariat tersebut, sebagaimana yang dijelaskan
oleh sebagian Ulama, “Kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya adalah
kewajiban keimanan yang paling agung. Dia adalah landasan keimanan yang
paling kokoh dan kaedahnya yang paling mulia/utama, bahkan ia adalah
asal setiap amalan keimanan dan agama. Sebagaimana keyakinan kepadanya
asal setiap perkatan keimanan dan agama, maka sesungguhnya sertiap gerak
gerik yang ada hanya muncul/bersumber dari kecintaan, baik dari
kecintan yang terpuji atau kecintaan yang tercela, ..maka seluruh amalan
keimanan dan keagamaan tidaklah muncul kecuali dari kecintaan yang
terpuji, dan asal setiap kecintaan yang terpuji adalah kecintaan kepada
Allah
Ta’ala, karena amalan yang muncul dari kecintaan yang
tercela tidaklah dihukumi sebagai amal sholeh disisi Allah, bahkan
seluruh amalan keimanan dan agama tidaklah muncul kecuali dari kecintaan
kepada Allah[3] ”
- Ridha Dan Pasrah Terhadap Praktik Syariat Islam, Tanpa Ada Rasa Keberatan Sedikitpun Didalam Hati Terhadapnya.
Karena keiman seseorang tidak akan sempurna kecuali bila ia menerima hukum Allah
‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dan pasrah kepadanya, sebagaimana firman Allah
‘Azza wa Jalla,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65).
Imam az Zuhri rahimahullah berkata,
مِنَ اللهِ الرِّسَالَةُ، وَعَلَى الرَّسُوْلِ الْبَلاَغُ، وَعَلَيْنَا التَّسْلِيْمُ
“Dari Allah datangnya risalah (syariat), tugas Rasul menyampaikan, dan kewajiban bagi kita berserah diri (menerimanya)”.
Imam Ath Thahawi
rahimahullah berkata, “Tidaklah kokoh
berdirinya Islam kecuali di atas landasan/pondasi pasrah dan berserah
diri” . Maksudnya tidaklah kokoh Islam seseorang yang tidak berserah
diri kepada wahyu (Alquran dan sunnah) dan tunduk kepadanya, serta tidak
menentangnya dengan pemikiran, logika dan analogi (qiyas).
- Saling Tolong Menolong Dalam Mempraktikan Syariat Islam.
Sikap ini sesuai dengan prinsip dasar agama yang memerintahkan untuk
tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, sebagaimana firman Allah,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan
janganlah tolong menolong dalam perbuatan dosa dan kejahatan.” (QS.
Al-Maidah: 2).
Dan tidak diragukan bahwa praktik syariat adalah kebaikan semata dan
akan mendatangkan kebaikan dan keberkahan kepada kaum Muslimin,
sedangkan meninggalkannya adalah sumber kejahatan, kesengsaraan dan
petaka.
Oleh karena itu seluruh kaum Muslimin dituntut untuk mendukung usaha
mengaplikasikan penerapan syariat di daerah mereka masing-masing,
sebagai bukti keta’atan kepada Allah dan Rasul-Nya serta kecintaan
kepada agama yang mulia ini, dan sebagai bentuk tolong menolong dalam
kebaikkan dan taqwa.
ارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي
وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ،
وَنَفَعْنَا بِهَدْيِ سَيِّدِ المُرْسَلِيْنَ وَقَوْلُهُ القَوِيْمُ.
أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ
وَلِلْمُسْلِمِيْنَ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ
الرَحِيْمُ.
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الأَرْضِ وَالسَّمَاوَاتِ، لَهُ الْحَمْدُ أَمَرَ
بِالفْضَائِلِ وَالصَّالِحَاتِ، وَنَهَى عَنِ الْبَغْيِ وَالعُدْوَانِ
وَالرَّذَائِلِ وَالْمُنْكَرَاتِ، أَحْمَدُ رَبِّي عَلَى نِعَمِهِ
الظَاهِرَاتِ وَالْبَاطِنَةِ الَّتِي أَسْبَغَهَا عَلَيْنَا وَعَلَى
المَخْلُقَاتِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا
شَرِيْكَ لَهُ إِلَهُ الأَوَّلِيْنَ وَالآخِرِيْنَ لَا يَخْفَى عَلَيْهِ
شَيْءٌ مِنَ الأَقْوَالِ وَالأَفْعَالِ وَالإِرَدَاتِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ
نَبِيَّنَا وَسَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ بَعَثَ اللهُ
بِالْبَيِّنَاتِ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى عَبْدِكَ
وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ السَّابِقِيْنَ إِلَى
الخَيْرَاتِ.
أَمَّا بَعْدُ:
فَاتَّقُوْا اللهَ –عَزَّوَجَلَّ- وَأَطِيْعُوْهُ، وَكُوْنُوْا دَائِمًا
عَلَى حَذْرٍ وَخَوْفٍ مِنَ المَعَاصِي، فَإِنَّ بَطْشَ اللهُ شَدِيْدٌ.
Ibadallah,
Hendaknya kaum muslimin merasa bangga dengan adanya sebagian daerah
yang telah mencanangkan penerapan syariat Islam, kendati masih belum
teraplikasi secara sempurna, dan masih ada kekurangan dalam aspek, akan
tetapi secara prinsip mereka telah berusaha untuk mengaplikasikan
tuntutan akidah tauhid yang wajib atas setiap individu muslim.
Bagi mereka yang belum teraplikasi syariat Islam di daerahnya, maka
hendaklah berusaha sesuai dengan kemampuan mereka untuk melakukan langka
langka positip dan usaha usaha yang efektif untuk terwujudnya tujuan
yang mulia tersebut.
Jika tidak ada sama sekali penguasa yang menerapkan syariat Islam,
maka hal ini bukan bearti menghalang kaum muslimin untuk mempraktikan
Islam secara individual dalam keluarga dan masyarakatnya dalam skop yang
sempit, karena penerpan syariat sebagaimana yang diutarakan diatas
bukan sekedar penegakan hukum pidana saja, akan tetapi mencakup perkara
akidah, ibadah, akhlak dan yang lain lain.
Semoga Allah
Ta’ala membimbing para penguasa kaum muslimin
dan seluruh kaum muslimin untuk mempraktikkan syariat Islam dibumi
nusantara ini, sebagai bukti keimanan kepada Allah
Ta’ala dan Rasul-Nya serta kecintaan kepada agama yang mulia ini, Wallahu muwaffiq.
وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا – رَعَاكُمُ اللهُ – عَلَى مُحَمَّدِ ابْنِ عَبْدِ
اللهِ كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فَقَالَ: ﴿ إِنَّ اللَّهَ
وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً ﴾ [الأحزاب:٥٦] ، وقال
صلى الله عليه وسلم : ((مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ عَشْرًا)) .
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ
عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ،
وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى
إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَلْأَئِمَّةِ
المَهْدِيِيْنَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وَارْضَ
اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ
تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ، وَعَنَّا مَعَهُمْ
بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِرْكَ
وَالمُشْرِكِيْنَ، اَللَّهُمَّ وَآمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ
أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَ أَمْرِنَا
لِهُدَاكَ وَاجْعَلْ عَمَلَهُ فِي رِضَاكَ.
اَللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا، زَكِّهَا أَنْتَ خَيْرَ مَنْ
زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا، اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا
وَلِوَالِدَيْنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ
وَالمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ. رَبَّنَا آتِنَا
فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِيْ الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ: اُذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلَى
نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ
مَا تَصْنَعُونَ .
[Diadaptasi dari tulisan Dr. Muhammad Nur Ihsan di majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVI/1433H/2012M]