Islam Mengajarkan Memenajemen Kemarahan
Khutbah Pertama:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ،
وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا،
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ
لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ
لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَّمَدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا.
أَمَّا بَعْدُ:
فَاتَّقُوْا اللهَ عِبَادَ اللهِ حَقَّ تَقْوَىْ، وَرَاقِبُوْهُ فِي السِّرِّ وَالنَّجْوَىْ
Kaum muslimin rahimakumullah,
Di antara hikmah Allah
Tabaraka wa Ta’ala adalah Dia
menciptakan sifat marah untuk para hamba-Nya. Sifat marah Allah berikan
kepada seorang hamba agar hamba tersebut bisa melindungi dirinya dari
bahaya yang akan menimpanya. Seseorang menafsirkan marah sebagai
ekspresi dari mendidihnya darah dan meluapnya emosi. Di dalam Islam,
marah tidaklah mutlak dicela seutuhnya. Namun, Islam menjelaskan adanya
larangan-larangan marah seabgai bentuk me-
manage-nya agar tidak menjadi kemarahan yang tercela.
Di antara hadits dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan adanya menajemen marah dalam Islam adalah ketika ada seseorang datang kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta nasihat kepada beliau.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً قَالَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْصِنِي، قَالَ : لاَ
تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَاراً، قَالَ: لاَ تَغْضَبْ
[رواه البخاري]
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu, bahwa seorang laki-laki
berkata kepada Nabi, “Berilah aku wasiat.” Maka beliau shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah engkau marah.” Beliau mengulang
sabdanya beberapa kali, beliau tetap bersabda, “Janganlah engkau marah.”
(HR. al-Bukhari).
Para ulama menerangkan nasihat Rasulullah ini tidak menunjukkan marah
itu mutlak dilarang. Beliau menasihati sahabat tersebut karena sahabat
tersebut kurang pandai memanajemen kemarahannya sehingga beliau
menekankan nasihatnya agar ia jangan marah.
Bukti bahwasanya marah tidak secara mutlak dilarang adalah Rasulullah
sendiri pernah marah. Namun kemarahan beliau bukanlah karena hawa
nafsu. Kemarahan beliau adalah marah karena Allah. Oleh karena itu, para
ulama membagi marah menjadi dua jenis: (1) marah yang terpuji dan (2)
marah yang tercela.
Marah yang tercela adalah seseorang ketika meluapkan emosi
kemarahannya bukan karena Allah. Bukan karena agama Islam. Dan tidak
terdapat hikmah perbaikan dari kemarahannya tersebut. Ia marah hanya
karena kepentingannya terhalangi dan tidak terwujud. Ia marah hanya
karena tendensi-tendensi duniawi. Dan ia marah hanya karena kelompoknya
diremehkan atau direndahkan. Marah yang demikian adalah marah yang
dibenci oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah marah karena atau untuk dirinya. Namun apabila larangan-larangan Allah dilanggar, barulah beliau marah.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Mengapa marah karena dunia itu tercela? Karena marah yang demikian akan merugikan dirinya sendiri. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ كَفَّ غَضَبَهُ سَتَرَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ
“Barangsiapa yang meninggalkan amarahnya, niscaya Allah akan tutup aurat (kesalahan)-nya.”
Bahkan bagi orang yang mampu me-
manage amarahnya dengan baik, Allah janjikan pahala yang besar di akhirat kelak. Sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْكَظَمَغَيْظًاوَهُوَقَادِرٌعَلَىأَنْيُنْفِذَهُدَعَاهُاللَّهُعَزَّوَجَلَّعَلَىرُءُوسِالْخَلاَئِقِيَوْمَالْقِيَامَةِحَتَّىيُخَيِّرَهُاللَّهُمِنَالْحُورِمَاشَاءَ
“Siapa yang menahan rasa kesal/marahnya, padahal dia mampu
melampiaskannya, kelak Allah akan memanggilnya di hadapan sekalian
manusia pada Hari Kiamat, agar ia bebas memilih bidadari mana yang ia
suka!” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Mengapa balasan orang yang menahan amarahnya begitu besar? Karena
seorang yang mampu menahan amarah, maka ia telah berhasil menghindarkan
dirinya dari berbagai kerugian dan kerusakan. Dalam marah seseorang
tidak mampu mengontrol ucapannya sehingga sering mengeluarkan kata-kata
yang tidak layak diucapkan. Marah bisa mengakibatkan turunnya wibawa
seseorang karena logikanya hilang kendali. Oleh karena itu Rasulullah
katakana,
وَمَنْ كَفَّ غَضَبَهُ سَتَرَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ
“Barangsiapa yang meninggalkan amarahnya, niscaya Allah akan tutup aurat (kesalahan)-nya.”
Kemudian beliau melanjutkan sabdanya,
وَمَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ، وَلَوْ شَاءَ أَنْ يُمْضِيَهُ أَمْضَاهُ، مَلأَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قَلْبَهُ أَمْنًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang menahan amarahnya padahal ia mampu melakukannya,
niscaya Allah ‘azza wa jalla akan memenuhi hatinya dengan rasa aman pada
hari kiamat.” (HR. Ibnu Asakir).
Dengan demikian kaum muslimin,
Penting bagi kita untuk me-
manage kemarahan kita. Jangan
sampai amarah kita menjadikan kita teramsuk orang-orang yang merugi di
dunia dan di hari kiamat kelak. Ada seseorang yang marah, hingga ia
mencerai istrinya. Ada seseorang yang marah hingga ia merusak apa yang
ada di sekitarnya. Bahkan ada seseorang yang marah –wal ‘iyadzubillah-
hingga ia menghilangkan nyawa orang lain. Yang demikian tentu saja
membuat orang tersebut rugi di duni dan akhirat.
Oleh karena itu, agama kita yang mulia ini, melarang kita untuk
marah. Ketika kemarahan tersebut hanya semata-mata karena urusan dunia.
Ibadallah,
Kemudian yang kedua adalah marah karena Allah. Marah karena Allah
akan mendatangkan kebaikan ketika kemarahan tersebut juga sesuai dengan
syariat Allah. Apa itu marah karena Allah? Yaitu seseorang marah ketika
larangan-larangan Allah dilanggar. Seseorang marah karena
batasan-batasan yang telah Allah tetapkan dilewati begitu saja. Yang
seperti ini adalah kemarahan yang baik. Inilah bentuk kemarahan yang
pernah dilakukan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Suatu hari, para sahabat yang baru memeluk Islam meminta pohon keramat kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Abu Waqid al-Laitsi radhiallahu ‘anhu:
Orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon yang mereka beri’tikaf di
sisinya dan mereka jadikan sebagai tempat untuk menggantungkan
senjata-senjata mereka. Pohon itu disebut dengan Dzatu Anwath. Tatkala
kami melewati pohon itu kami berkata, “Wahai Rasulullah! Buatkanlah
untuk kami Dzatu Anwath (tempat menggantungkan senjata) sebagaimana
mereka memiliki Dzatu Anwath.” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
marah lalu menjawab, “Allahu akbar! Inilah kebiasaan itu! Demi Allah
yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian telag mengatakan sesuatu
sebagaimana yang dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa: Jadikanlah
untuk kami sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan-sesembahan.
Musa berkata: Sesungguhnya kalian adalah kaum yang bertindak bodoh.”
(QS. al-A’raf: 138). Kalian benar-benar akan mengikuti
kebiasaan-kebiasaan orang-orang sebelum kalian.” (HR. Tirmidzi).
Kaum muslimin rahimani warahimakumullah,
Di sisi lain, ada seseorang yang marah dengan niat karena Allah.
Namun cara ia mengungkapkan kemarahan tersebut mengundang kemurkaan dari
Allah. Sebagaimana sebuah kisah yang pernah diceritakan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaih wa sallam
bersabda, ‘Ada dua orang laki-laki dari kalangan Bani Israil yang
saling bersaudara. Yang satu rajin ibadah dan lainnya berbuat dosa.
Lelaki yang rajin beribadah selalu berkata kepada saudaranya, ‘Hentikan
perbuatan dosamu!’
Di hari yang lain, ia melihat saudaranya berbuat dosa dan ia berkata
lagi, ‘Hentikan perbuatan dosamu!’ (Lelaki yang berbuat dosa berkata),
‘Biarkan antara aku dan Tuhanku. Apakah kamu diutus untuk mengawasiku?’.
Ia (lelaki yang rajin beribadah) dengan marah mengatakan, ‘Demi Allah,
Allah tidak akan mengampunimu!’ atau ‘Dia tidak akan memasukanmu ke
surga!’
Kemudian Allah mengutus malaikat kepada keduanya untuk mengambil ruh
keduanya hingga berkumpul di sisi-Nya. Allah berkata kepada orang yang
berdosa itu, ‘Masuklah kamu ke surga berkat rahmat-Ku.’
Lalu Allah bertanya kepada lelaki yang rajin beribadah, ‘Apakah kamu
mampu menghalangi antara hamba-Ku dan rahmat-Ku?’ Dia menjawab, ‘Tidak,
wahai Tuhanku.’ Allah berfirman untuk yang rajin beribadah (kepada para
malaikat): ‘Bawalah dia masuk ke dalam neraka.’
Abu Hurairah– semoga Allah meridhainya – berkomentar, “Demi Dzat yang
jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh ia berkata dengan satu kalimat yang
membinasakan dunia dan akhiratnya.” (HR. Abu Dawud).
Kaum muslimin, saudaraku seiman,
Perhatikanlah! Orang shaleh yang diceritakan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa salla marah karena Allah. Ia marah karena larangan Allah
dilanggar. Namun cara marahnya mendatangkan kemurkaan dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Ingatlah! Tidak sedikit orang yang marah karena Allah, namun apa yang
mereka lakukan malah membuat orang-orang lari dari agama. Mereka
membantu setan menyesatkan manusia lebih jauh lagi.
Mudah-mudahan, Allah menjadikan kita seseorang yang mampu me-
manage kemarahan dengan baik. Dan juga menjadikan kita orang yang marah karena Allah dengan cara yang diridhai oleh Allah.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ وَنَفَعْنِي
وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيآتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ، أَقُوْلُ
قَوْلِي هَذَا، وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ
المُسْلِمِيْنَ مِنْ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ
الرَّحِيْمُ.
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى إِحْسَانِهِ، وَالشُّكْرُ عَلَى تَوْفِيْقِهِ
وَامْتِنَانِهِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا
شَرِيْكَ لَهُ تَعْظِيْمًا لِشَأْنِهِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ نَبِيَّنَا
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَأَصْحَابِهِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا مَزِيْدًا.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Setelah kita mengetahui bahwa kemarahan itu terbagi dua; yang terpuji
dan tercela. Marah yang terpuji bisa mendatangkan kemurkaan dari Allah
ketika caranya melanggar syariat Allah. Lalu –kaum muslimin-, bagaimana
kiranya dengan kemarahan yang memang sudah tercela sedari awal, tentu
yang demikian lebih mungkin untuk mendatangkan kemurkaan dari Allah
Ta’ala.
Kemarahan karena dunia, karena kita diejek dan direndahkan, tidaklah
bermanfaat bagi kita. Seseorang tidak akan hina ketika dia dihina
manusia. Namun seseorang akan hina ketika Allah lah yang menghinakannya.
Jangan terlalu kita tanggapi celaan dan hinaan manusia tersebut. Jangan
kita ladeni seihngga kita melakukan kemarahan yang tercela. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan
lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat
(yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”
(Bukhari dan Muslim).
Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa menahan amarah sehingga
kita menjadi orang-orang yang dipenuhi keridhaan Allah kelak di hari
kiamat.
وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا رَعَاكُمُ اللهُ عَلَى مُحَمَّدِ ابْنِ عَبْدِ
اللهِ كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ: إِنَّ
اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً [الأحزاب:56]
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ
عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ ،
وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى
إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
.وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الأَئِمَّةِ
المَهْدِيِيْنَ أَبِيْ بَكْرِ الصِّدِّيْقِ ، وَعُمَرَ الفَارُوْقِ ،
وَعُثْمَانَ ذِيْ النُوْرَيْنِ، وَأَبِي الحَسَنَيْنِ عَلِي، وَارْضَ
اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَابِعِيْنَ وَمَنْ
تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ
بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ .
اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، وَأَذِلَّ الشِرْكَ
وَالمُشْرِكِيْنَ ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ، وَاجْعَلْ هَذَا
البَلَدَ آمِنًا مُطْمَئِنًّا رَخَاءً وَسَائِرَ بِلَادِ المُسْلِمِيْنَ.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ.
اَللَّهُمَّ وَفِّقْ إِمَامَنَا لِهُدَاكَ، وَاجْعَلْ عَمَلَهُ فِي
رِضَاكَ، وَوَفِّقْ جَمِيْعَ وُلَاةَ أُمُوْرِ المُسْلِمِيْنَ لِلْعَمَلِ
بِكِتَابِكَ، وَتَحْكِيْمِ شَرْعِكَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ.
عِبَادَ اللهِ:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي
الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ.
فَاذْكُرُوْا اللهَ العَظِيْمَ الجَلِيْلَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْاهُ
عَلَى آلَائِهِ وَنِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرَ، وَاللهُ
يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.