Perihal Kewajiban Mengulangi Shalat


Shalat Lihurmatil Waqti yang dilakukan dalam kendaraan seperti bus, kereta, kapal, dan pesawat, setidaknya bisa dibagi menjadi dua bagian:
(1) dilakukan dengan menyempurnakan ruku’, sujud, dan menghadap kiblat
(2) dilakukan tanpa menyempurnakan ruku’, sujud, dan tidak menghadap kiblat. Untuk praktik yang pertama, tidak diwajibkan bagi orang yang bepergian menggunakan bus, kereta dan kapal untuk mengulang (i‘âdah) shalat yang dilakukan dengan cara demikian, namun diwajibkan bagi orang yang menaiki pesawat sebab posisi pesawat tidak menetap (tidak bersentuhan) di atas tanah.

Sedangkan untuk praktik shalat yang kedua, para ulama sepakat tanpa terjadi perbedaan pendapat bahwa wajib hukumnya mengulang shalatnya (Habib Hasan al-Kaf, Taqriratus Sadidah, 2005, halaman 202).

Kewajiban mengulang shalat juga berlaku bagi tiap shalat Lihurmatil Waqti yang tidak memenuhi poin rukun atau syarat sah lainnya secara sempurna, semisal dilakukan dengan membawa najis atau dalam kondisi berhadats (tanpa wudhu atau tayamum).

Imam al-Mawardi dalam kitab al-Hawi al-Kabir mengatakan bahwa ada dua kondisi kapan shalat i’adah itu dilakukan.
Pertama, dilakukan ketika menemukan air, bukan debu. Hal ini bagi orang yang melakukan shalat Lihurmatil Waqti disebabkan tidak adanya media bersuci: air dan debu. Seperti dalam keadaan musafir, atau mukim namun tidak menemukan dua media bersuci tersebut.

Kedua, dilakukan ketika sembuh atau alasan lainnya. Hal ini bagi orang yang melakukan shalat Lihurmatil Waqti disebabkan sakit dan tidak bisa melakukan shalat wajib dengan menyempurnakan syarat sah dan rukunnya. (Syekh Abul Hasan al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir lil Mawardi, [Bairut: Darul Fikr, 1997], juz 1, h. 499).

Adapun teknis shalat I’adah adalah sebagaimana shalat biasa, dengan niat yang sama. Ia hanya mengulanginya kembali, tanpa ada perubahan, mulai dari niat, bacaan, dan gerakan-gerakan shalat (Syekh Abu Bakar Syata ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, [Maktabah Surabaya, 2006], juz 2, h. 11). Hal ini berlaku baik shalat I’adah itu dilaksanakan di luar waktu shalatnya (qadha’) maupun masih dalam waktunya (ada’).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa shalat Lihurmatil Waqti menempati posisi yang sangat penting dan tidak kalah wajib dengan shalat fardhu biasanya, baik dilaksanakan
(1) karena kendala media bersuci (tak ada air dan debu sehingga masih dalam kondisi najis atau berhadats) ataupun
(2) karena kendala fisik (dipasung, perjalanan di kendaraan umum, atau desakan situasi sehingga tak mampu ruku’, sujud, menghadap kiblat, atau bersuci sebagaimana mestinya). Shalat dilakukan dengan sepenuh mungkin syarat dan rukunnya, tidak asal-asalan, dan syariat memberi toleransi pada syarat dan rukun yang memberatkan atau bahkan mustahil dilakukan secara sempurna.

Meski tetap wajib mengulang, shalat Lihurmatil Waqti sudah membebaskan seseorang dari perbuatan maksiat meninggalkan shalat. Sebagaimana penjelasan awal, jika seandainya setelah melakukan shalat Lihurmatil Waqti ia meninggal maka ia tidak dianggap sebagai hamba yang meninggalkan shalat.

Wallahu a’lam bis shawab.