Niat dan Teknis Pelaksanaannya


Sebagaimana penjelasan di atas, semua syarat sah dan rukun-rukun shalat wajib dipenuhi ketika melakukannya, seperti bersuci, menghadap kiblat, dan memenuhi rukun-rukun shalat. Namun, dalam keadaan yang tak memungkinkan syarat sah dan rukun dilaksanakan secara sempurna, syariat Islam (fiqih) memberikan dispensasi bagi umat Islam untuk melakukan melakukannya sesuai kemampuan. Dalam konteks inilah shalat Lihurmatil Waqti disyariatkan.

Adapun lafal niat shalat Lihurmatil Waqti untuk shalat Zuhur, yaitu:
أُصَلِّيْ فَرْضَ الظُّهْرِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Ushallî fardladh dhuhri arba’a raka’âtin lihurmatil waqti lillâhi ta’âla
Artinya,
“Saya niat shalat Zuhur empat rakaat sebab menghormat waktu karena Allah ta’ala.”


Begitupun dengan lafal niat shalat Lihurmatil Waqti untuk shalat Ashar, Maghrib, Isya’, dan Subuh. Hanya perlu mengubah lafal nama shalat dan jumlah rakaatnya. Pelafalan niat berstatus sunnah. Yang wajib adalah niat dalam hati bersamaan dengan takbiratul ihram.

Sedangkan teknisnya, jika memungkinkan untuk berdiri, maka berdiri, kemudian melakukan ruku’ dan sujud sebagaimana mestinya dan diakhiri dengan salam. Namun, jika tidak memungkinkan dan harus dilakukan dengan cara duduk serta tidak bisa melakukan ruku’ dan sujud sebagaimana ketentuannya, maka teknis yang tepat ketika ruku’ adalah menundukkan kepalanya, setelah itu i’tidal, kemudian sujud dengan menundukkan kepala lagi lebih rendah daripada praktik saat ruku’.

Shalat Lihurmatil Waqti pada umumnya terjadi ketika sedang bepergian, misalnya saat menaiki kendaraan; bus, kereta, kapal dan lainnya. Bagaimana teknisnya? Mari bahas pelan-pelan. Habib Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf dalam kitab Taqriratus Sadidah menjelaskan bahwa orang-orang yang sedang menaiki kendaraan, seperti bus, kereta api, dan perahu wajib untuk menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, serta wajib menghadap kiblat dalam semua shalatnya. Tentu saja kewajiban ini berlaku bila kondisi memungkinkan untuk melakukan semuanya.

Jika tidak memungkinkan maka boleh baginya melakukan shalat sebagaimana yang ia bisa. Begitu juga orang yang sedang bepergian dengan menaiki pesawat. Jika ia tidak mampu untuk melaksanakan shalat tepat pada waktunya sebelum naik ke pesawat (take off) atau setelah mendaratnya pesawat (landing), wajib baginya shalat di dalam pesawat dengan cara ruku’ dan sujud secara sempurna, serta wajib pula menghadap kiblat, jika hal itu memungkinkan.

Jika tidak, boleh baginya melakukan shalat sebagaimana yang ia bisa (Habib Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaf, Taqriratus Sadidah, [Darul Minhaj, Damaskus, 2005], h. 201).