فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ* فَأَمَّا الَّذِينَ شَقُوا فَفِي النَّارِ
لَهُمْ فِيهَا زَفِيرٌ وَشَهِيقٌ* خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتْ
السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ إِلاَّ مَا شَاءَ رَبُّكَ إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ
لِمَا يُرِيدُ* وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُوا فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ
فِيهَا مَا دَامَتْ السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ إِلاَّ مَا شَاءَ رَبُّكَ
عَطَاءً غَيْرَ مَجْذُوذٍ
“…maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.
Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di
dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih), mereka
kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu
menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap
apa yang Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka
tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan
bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia
yang tiada putus-putusnya.” (QS. Hud: 105-108).
Ibadallah,
Sesungguhnya kebinasaan dan kebahagiaan memiliki sebab yang
melatar-belakanginya. Kebinasaan atau celaka disebabkan kufur kepada
Allah ‘Azza wa Jalla, maksiat, dan perbuatan jelek lainnya
kemudian tidak disertai taubat oleh pelakunya. Sedangkan kebahagiaan
sebabnya adalah amal shaleh dan takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kata seorang penyai:
Kebahagiaan itu bukan karena bertumpuknya harta. Tetapi takwa itulah yang membuat bahagia.
Takwa merupakan sebaik-baik perbekalan. Dan bagi mereka yang bertakwa ada nikmat tambahan.
Ibadallah,
Ada tiga tabiat yang mampu mengantarkan seseorang untuk memperoleh
kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Ketiga tabiat tersebut
adalah (1) apabila diberi, bersyukur, (2) apabila diuji, bersabar, dan
(3) apabila berdosa, beristighfar atau bertaubat. Inilah tiga komponen
kehidupan yang mampu mengantarkan seseorang menuju kebahagiaan.
Pertama, apabila diberti, bersyukur.
Apabila seseorang, Allah berikan suatu nikmat kepadanya, maka ia akan
bersyukur kepada Allah atas kenikmatan tersebut. Mempergunakan
kenikmatan itu untuk membantunya menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ia pun memuji Allah atas nikmat tersebut. Baik memuji-Nya secara zahir
maupun batin. Mengakui bahwasanya nikmat tersebut dari Allah. Tidak ada
daya dan upaya untuk mendapatkannya kecuali dari Allah. Dan syukur pun
memiliki tiga rukun:
(1) Menyebut-nyebut atau menceritakan kenikmatan tersebut.
(2) Mengakuinya berasal dari Allah, secara lahir dan batin.
(3) Menggunakannya dalam ketaatan kepada Allah.
Inilah orang yang berhasil menggunakan kenikmatan sebagai anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun orang-orang yang tidak bersyukur, maka Allah peringatkan mereka dengan adzab. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika
kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika
kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.
(QS. Ibrahim: 7)
Syukur itu bukan hanya di lisan saja. Akan tetapi syukur itu hadir di
lisan dengan ucapan, di hati dengan pengakuan, dan pada anggota badan
dengan amalan ketaatan. Allah Ta’ala berfirman,
اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْراً وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِي الشَّكُورُ
“Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan
sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (QS. Saba’:
13).
Kedua, apabila diuji, bersabar.
Allah Jalla wa ‘Ala berifirman,
وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan
(yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”
(QS. Al-Anbiya: 35).
Fitnah yang dimaksud dalam ayat di atas adalah ujian. Allah uji
manusia dengan kebaikan dan keburukan. Orang yang diuji dengan kejelekan
ia bersabar dan ketika diuji dengan kenikmatan ia bersyukur, inilah
orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan.
Adapun orang-orang yang jika diberi nikmat dia kufur. Jika ditimpa
musibah, dia murka kepada takdir Allah. Inilah orang-orang yang celaka
dan binasa. Orang yang demikian tidak akan mencapai derajat yang utama
dan tidak pula apa yang mereka dapatkan bermanfaat dari apa yang mereka
lakukan. Apa yang mereka lakukan hanya akan mengantarkan kepada
kehancuran.
Jika Allah memberikan nikmat kepada kita, maka bersyukurlah,
janganlah menjadi orang yang sombong karenanya. Jangan menggunakan
kenikmatan yang Dia berikan untuk bermaksiat kepada-Nya. Jangan gunakan
untuk memenuhi syahwat. Jangan menggunakannya untuk jalan-jalan
berwisata di negeri kafir, melihat apa yang mereka lakukan. Bisa jadi
kita menjadi seperti mereka atau bahkan lebih jelek dari mereka.
Orang-orang kafir mengejek sebagian umat Islam yang datang ke negeri
mereka. Lalu sebagian orang muslim tadi pun melakukan kekufuran, fajir,
dan kefasikan agar diterima di kalangan orang-orang kafir, wal ‘iyadzubillah.
Tabiat yang kedua ini, apabila diuji bersabar, Allah tetapkan agar
semakin tampaklah mana orang-orang yang bersabar dan mana orang-orang
yang tidak sabar. Allah Ta’ala berfirman,
(وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنْ
الأَمْوَالِ وَالأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرْ الصَّابِرِينَ*
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا
إِلَيْهِ رَاجِعُونَ*)
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna
lillaahi wa innaa ilaihi raaji´uun”.” (QS. Al-Baqarah: 155-156).
Kemudian Allah lanjutkan firman-Nya, memuji orang-orang yang berbuat demikian.
أُوْلَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُوْلَئِكَ هُمْ الْمُهْتَدُونَ
“Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari
Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(QS. Al-Baqarah: 157).
Allah Jalla wa ‘Ala akan memberi musibah kepada para hamba-Nya
sebagai ujian. Dan musibah yang paling besar dan paling berat adalah
musibah yang menimpa para nabi kemudian orang-orang yang lebih rendah
derajatnya dari para nabi. Kita bisa membaca sendiri di dalam Alquran,
bagaimana perjalanan hidup para nabi? Bagaimana musibah yang menimpa
mereka? Bagaimana gangguan yang mereka terima dari orang-orang kafir?
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ
الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمْ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ
وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى
نَصْرُ اللَّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum
datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu
sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta
digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul
dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan
Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS.
Al-Baqarah: 214).
Pertolongan Allah datang bersama kesabaran. Kebahagiaan itu hadir
setelah adanya musibah. Dan kemudahan ada bersama kesulitan. Mereka
tidak berputus asa walaupun musibah yang menimpa mereka semakin berat.
Mereka bersabar atas bala’ dan bencana. Balasan mereka adalah kebaikan.
Ketiga, apabila berdosa, bersitighfar dan bertaubat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang bertaubat.”
Seseorang itu berpotensi melakukan kesalahan. Namun apabila dosa-dosa
itu menyebabkannya menjadi orang yang berputus asa dari rahmat Allah,
maka dia akan menjadi orang yang celaka dan binasa. Jika saja orang yang
banyak melakukan dosa bertaubat, maka Allah akan terima taubatnya, dan
akan Allah balas dengan kebaikan. Allah Ta’ala berfirman,
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga
yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang
yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133).
Demikian juga dengan firman-Nya,
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا
اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ
اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ*
أُوْلَئِكَ جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ
تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa
selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya
itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari
Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang
mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang
beramal.” (QS. Ali Imran: 136-137).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالتَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لا ذَنْبَ لَهُ
“Orang-orang yang bertaubat dari dosa-dosa, bagaikan orang yang tidak memiliki dosa.”
Oleh karena itu, janganlah seseorang merasa putus asa dari rahmat
Allah dan ampunan-Nya. Yang harus dilakukan seseorang adalah bersegera
bertaubat kepada-Nya.
قُلْ يَا عِبَادِي الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا
مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ
هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ* وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا
لَهُ
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri
mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah
Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada
Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya” (QS. Az-Zumar: 53-54).
Barangsiapa yang bertaubat kepada Allah, sebanyak apapun dosa dan
kesalahannya, Allah akan menghapus semua dosa dan kesalahan tersebut.
Dia akan menghapus semua kejelekan yang telah hamba tersebut lakukan.
Membersihkannya dari noda dosa jika taubatnya benar-benar jujur, bukan
hanya di mulut saja.
Oleh karena itu, taubat pun memiliki syarat agar diterima:
Syarat pertama: meninggalkan perbuatan dosa.
Apabila seseorang beristighfar kepada Allah, memohon ampunan
kepada-Nya, tapi ia tidak berpaling dari perbuatan dosa tersebut, maka
taubatnya hanya sebatas ucapan saja. Dia tidak disebut orang yang
bertaubat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Orang yang demikian
malah dikatakan orang yang bermain-main saja dengan taubatnya.
Meninggalkan perbuatan dosa adalah syarat pertama diterimanya taubat.
Syarat kedua: bertekad agar tidak kembali melakukan dosa tersebut selama hidupnya.
Apabila saat bertaubat masih ada keinginan kembali melakukan dosa
tersebut, taubat yang demikian tidaklah diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Harus ada ketetapan di hatinya saat bertaubat, bahwa ia tidak akan
mengulangi perbuatan dosa serupa. Apabila di hatinya masih tersimpan
hasrat melakukan dosa semisal, maka dosa yang sama yang ia lakukan tidak
terhapus.
Syarat ketiga: menyesali perbuatan tersebut.
Syarat keempat: apabila dosa tersebut terkait dengan
kezaliman sesama manusia dalam hak atau harta mereka, maka disyaratkan
harus mengembalikan harta atau meminta maaf kepada mereka.
Jadi taubat itu bukan hanya di lisan saja.
Syarat kelima: ketika nyawa belum sampai tenggorokan.
وَلَيْسَتْ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمْ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الآنَ
Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang
mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang
di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat
sekarang”. (QS. Annisa: 8).
Seseorang yang menunda taubat hingga nyawanya berada di tenggorokan,
yang saat itu ia tahu akan berpisan dengan kehidupan, maka tidak
diterima taubatnya. Taubat adalah di saat sehat dan di saat hidup.
Adapun taubat saat seseorang sudah merasa hidupnya akan berakhir, maka
tidak diterima taubatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ
“Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba selama nyawa belum sampai di tenggorokan.”
Yakni saat ruhnya belum mencapai tenggorokannya. Jika yang demikian
diterima, niscaya manusia hanya akan bertaubat ketika kematian telah
datang kepada mereka. Ada orang-orang yang meremehkan kemaksiatan mereka
sering berucap, urusannya gampang, Allah Maha Pengampun dan Maha
Penyayang. Iya betul, memang Allah Maha Pengampun dan Penyayang, tapi
kepada siapa? Kepada orang-orang yang mau bertaubat. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً ثُمَّ اهْتَدَى
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat,
beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” (QS. Thaha:
82).
Inilah orang-orang yang akan diterima taubatnya dan diampuni oleh
Allah. Adapun orang-orang yang mengatakan, “nanti aku bertaubat” atau
orang-orang yang bersadar hanya dengan berharap kepada Allah karena
Allah Maha Pengampun dan Penyayang, ini adalah angan-angan dan kedustaan
semata. Mereka tidak berhak untuk mendapatkan qabul, penerimaan di sisi
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ibadallah,
Barangsiapa yang memiliki ketiga sifat yang telah disebutkan di atas,
maka merekalah orang-orang yang berbahagia. Apabila mereka diberi,
mereka bersyukur. Diberi ujian, mereka bersabar. Dan berdosa, mereka
segera bertaubat dan beristighfar. Ketiga hal ini adalah pengantar
kebahagiaan hakiki kepada seseorang.
Kita memohon kepada Allah, agar Dia memeberi taufik kepada kita
mengamalkan ketiga sifat yang agung ini. Semoga Allah menganugerahkan
dan meberi hidayah saya dan Anda untuk bertaubat kepada-Nya. Kemudian
menganugerahkan ampunan kepada kita semua.
Ketiga hal inilah yang mengantarkan kepada kebahagiaan. Kebahagiaan
itu bukan dengan harta dan anak-anak. Bukan juga dengan kepemimpinan dan
kekuasaan. Bahagia juga bukan dengan memperturutkan syahwat.
Kebahagiaan yang hakiki adalah bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَفَقَنَا اللهُ وَإِيَّاكُمْ لِتَقْوَاهُ، وَالْعَمَلِ بِمَا يَرْضَاهُ،
إِنَّهُ قَرِيْبٌ مُجِيْبٌ، أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ
لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ
فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى فَضْلِهِ وَإِحْسَانِهِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَأَصْحَابِهِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ:
أَيُّهَا النَّاسُ، اِتَّقُوْا اللهَ وَأَطِيْعُوْهُ، وَتُوْبُوْا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ،
Ibadallah,
Ada orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar, sperti meninggalkan
shalat, tidak membayar zakat, menjadi seorang liberal, dan atheis.
Mereka berkata, “iman itu dengan hati bukan dengan shalat.”. Iman itu
bukan hanya dengan amalan hati. Iman itu dengan hati, lisan, dan anggota
badan,
Menurut pemahaman yang benar, pemahaman Ahlussunnah wal jamaah, iman
itu adalah ucapan lisan, keyakinan hati, dan amal anggota badan. Adapun
orang-orang yang meremehkan shalat, tidak membayar zakat, dan ragu-ragu
dalam akidah mereka, mereka adalah seperti orang-orang yang Allah
firmankan,
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ * قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ *
وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ * وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ *
وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ * حَتَّىٰ أَتَانَا الْيَقِينُ *
فَمَا تَنْفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka
menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan
shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah
kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang
membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga
datang kepada kami kematian”. Maka tidak berguna lagi bagi mereka
syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat. (QS. Al-Mudatstsir:
43-48).
“Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat”, ini
adalah sebuah pelanggaran besar karena ia meninggalkan satu rukun Islam
yang utama. Rukun Islam setelah dua kalimat syahadat.
“dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin” maksudnya kami dahulu tidak membayar zakat.
“dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang
yang membicarakannya”, membicarakan tentang akidah dan perkara-perkara
pokok dalam agama dalam bentuk keraguan dan membuat orang lain
meragukannya. Mereka mengatakan, Islam itu bukan dengan shalat, Islam
itu nilai-nilai demikian dan demikian. Bukan hanya Islam yang mengajak
kepada Allah, mengajak kepada kebenaran, dll.
Oleh karena itu, bagi setiap muslim hendaknya mereka bertakwa kepada
Allah. Menyelamatkan dirinya sebelum kematian datang. Berdoa kepada
Allah untuk kebaikan dunia dan akhiratnya. Senantiasa memperbaiki diri,
kemudian juga berusaha memperbaiki lingkungan sekitarnya. Mengajak
kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Dan berdakwah kepada
Allah dengan modal ilmu dan petunjuk. Allah Ta’ala berfirman,
وَالْعَصْرِ* إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ* إِلاَّ الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran.” (QS. Al-Ashr: 1-3).
Inilah profil mukmin sejati. Semoga Allah menjadikan saya dan Anda semua termasuk seorang mukmin yang sejati.
ثم اعملوا عباد الله، أنَّ خَيْرَ الحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ
الهُدَى هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ
الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَعَلَيْكُمْ
بِالْجَمَاعَةِ، فَإِنَّ يَدَ اللهِ عَلَى الجَمَاعَةِ، وَمَنْ شَذَّ شَذَّ
فِي النَّارِ.
(إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا)، اللَّهُمَّ
صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّناَ مُحَمَّدٍ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ
خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ، اَلْأَئِمَّةِ المَهْدِيِّيْنَ، أَبِي بَكْرٍ،
وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ، وَعَلِيٍّ، وَعَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ
وَعَنِ التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.
اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ
الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ
وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ، وَانْصُرْ عِبَادَكَ
المُوَحِّدِيْنَ، يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ يَا سَمِيْعَ الدُّعَاءِ،
اَللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا، وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ
أُمُوْرِنَا، وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ
وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَّ
أَمْرِنَا لِمَا تُحِبُّهُ وَتَرْضَاهُ مِنْ سَدِيْدِ الأَقْوَالِ
وَصَالِحِ الأَعْمَالِ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ . (رَبَّنَا
ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا
لَنَكُونَنَّ مِنْ الْخَاسِرِينَ)، عَلَى اللهِ تَوَكَّلْنَا، (رَبَّنَا لا
تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ* وَنَجِّنَا بِرَحْمَتِكَ
مِنْ الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ).
عِبَادَ اللهِ، (إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ
وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنْ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ
وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ)، (وَأَوْفُوا بِعَهْدِ
اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلا تَنقُضُوا الأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا
وَقَدْ جَعَلْتُمْ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلاً إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ
مَا تَفْعَلُونَ)، فَذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلَى
نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَر، وَاللهُ يَعْلَمُ مَا
تَصْنَعُوْنَ.
Diterjemahkan dari khotbah Jumat Syaikh Shaleh al-Fauzan hafizhahullah