“Tiga golongan yang pasti Allah menolong mereka (salah satunya):
orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan.” (HR. Ahmad,
An-Nasa-I, Ibnu Majal, dan yang lainnya).
Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Allah Ta’ala mencintai pernikahan dan Dia menjajikan kehidupan yang cukup bagi pelakunya dengan firman-Nya,
إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.” (QS. An-Nur: 32).
Ayyuhal ikhwah,
Sesungguhnya maslahat dari pernikahan sangatlah banyak. Tidak cukup
waktu bagi kita untuk menguraikan satu per satu pada kesempata yang
sempit ini. Bagi siapa yang hendak mengetahuinya lebih jauh, maka
sebaiknya ia menelah buku-buku para ulama yang membahas permasalahan
ini. Sesungguhnya pernikahan itu adalah maslahat bagi individu dan
masyarakat, dari sisi agama dan akhlak, dari tinjauan waktu sekarang
maupun yang akan datang. Karena menikah mampu mencekah terjadinya
mafsadat.
Ayyuhal ikwah,
Kita juga harus mengetahui hal-hal yang melatar-belakangi seseorang
yang enggan menikah. Saat ini setidaknya ada dua faktor yang menonjol
yang menyebabkan para pemuda meninggalkan pernikahan:
Pertama, para pemuda merasa pesimis dengan ikatan hubungan pernikahan.
Yakni, banyak anak-anak muda, baik laki-laki maupun perempuan tidak
suka dengan hubungan pernikahan dengan alasan menikah akan menghambat
studi mereka. Alasan ini adalah alasan yang keliru dan terbantahkan
karena menikah tidak menghalangi seseorang untuk menempuh pendidikannya
atau menjadi seorang yang berprestasi dalam pendidikannya. Bahkan,
terkadang menikah malah membantu kelancaran dan prestasi akademik
seseorang. Apabila seseorang mendapatkan pasangan yang shalehah,
keduanya saling menghormati dan mencintai, maka setiap mereka akan
menolong yang lainnya dalam belajar dan menghadapi beban kehidupan.
Banyak sekali orang yang menjadikan pernikahannya sebagai motivasi.
Betapa banyak pemuda, baik laki-laki maupun perempuan yang
mendapatkan ketengantan pikiran dan jiwa dalam proses studi lantaran
menikah. Bagi mereka yang tertipu dengan alasan buruk di atas hendaknya
kembali berpikir ulang dan memperbaiki pandangan mereka. Sehingga
pemahaman mereka yang keliru itu menjadi lurus kembali. Hendaknya mereka
berkonsultasi dengan teman-teman atau orang-orang dekatnya, memintai
pendapat mereka, dan bertanya tentang kebaikan dan ketenangan yang
terdapat dalam pernikahan. Dengan perantara ini niscaya hilanglah
penghalang ini.
Bagi para wanita hendaknya merenungi kembali apa yang ia peroleh dari
sekolahnya yang tinggi? Lalu membandingkan dengan kebahagiaan yang ia
korbankan karena menunda pernikahan. Apabila –wal ‘iyadzubillah-
umurnya telah lewat batas lalu ia kehilangan kesempatan untuk menimang
anak dan jadilah ia perempuan menua yang hidup sendiri. Bayangkan jika
ia tidak berkesempatan berbahagia dengan kehidupannya (karena tidak
menikah) dan tidak memiliki anak yang akan mendoakannya setelah ia
wafat.
Kedua, hal yang juga menyebabkan para pemuda
meninggalkan pernikahan adalah karena wali-wali yang zalim terhadap
anak-anak perempuannya.
Mereka ini adalah para wali yang tidak takut kepada Allah, tidak
menjalankan amanah yang Allah berikan kepada mereka, dan tidak memiliki
rasa kasih sayang kepada sesama hamba Allah. Ketika ada seorang
laki-laki yang sekufu agama dan penampilan fisiknya datang melamar, para
wali ini berpikir berulang-ulang lalu menunda-nuda keputusannya. Pada
akhirnya mereka mengatakan, anak saya masih belum cukup usia, belum ini
dan itu, nanti kami musyawarahkan lagi, dll. padahal sebenarnya ia
berdusta membuat-buat alasan. Sebenarnya ia ada obsesi pribadai yang
tinggi, atau ia menginginkan harta yang ia bisa peroleh dari dari sang
pelamar, atau bisa juga ia memiliki sikap permusuhan dan rasa benci
dengan sang pelamar.
Ayyuhal ikhwah,
Sesungguhnya perwalian dalam pandangan agama adalah sebuah amanah
yang wajib ditunaikan dengan cara yang baik. Ketika ada seseorang yang
melamar, agamanya baik dan secara fisik ia tidak bermasalah, dan sang
anak perempuan menyukainya, lalu ditolak dengan alasan-alasan dusta atau
dengan alasan belum mapan dengan standar yang tinggi, ini adalah bentuk
maksiat kepada Allah, mengkhianati amanah, dan menyia-nyiakan umur anak
perempuan tersebut. Dan Allah akan menghisab perbuatan demikian di hari
kiamat kelak. Allah Ta’ala berfirman,
يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ (88) إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Hari dimana tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak. Kecuali
mereka yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.” (QS.
Asy-Syu’ara: 88-89).
Ayyuhal ikhwah,
Ada seseorang yang pernah menolak orang yang melamar anak
perempuannya, karena hal ini anak perempuannya pun jatuh sakit. Ketika
hendak meninggal, sang anak mengatakan kepada perempuan-perempuan yang
menjenguknya, “Sampaikan salam kepada ayahku, tolong katakan padanya
sesungguhnya antara dirinya dan Allah ada suatu hal yang ia akan
dimintai pertanggung-jawaban pada hari kiamat. Dan hari kiamat itu
tidaklah jauh”.
Renungkanlah! Betapa memprihatinkannya keadaan anak perempuan ini. Ia
memperingatkan ayahnya di saat ia menghadapi kematiannya. Karena
ayahnya menolak lamaran orang yang melamarnya dengan cara yang zalim.
Apakah yang demikian ini ada kesan-kesan kasih sayang dan bagian dari
agama? Apakah para wali ini merenungkan tindakan mereka menolak orang
yang dicintai oleh anak mereka? Tidakkah orang-orang yang memiliki
tanggung jawab dengan anak perempuan merenungkan ketika mereka menolak
seseorang yang mampu untuk merintis rumah tangga, akhlaknya baik, dan
agamanya bagus? Apakah harta yang banyak sebanding dengan kebaikan agama
dan dunia anak perempuan?
Subhanallah! Betapa kelirunya orang-orang yang berpikir demikian dan
betapa murungnya nasib anak perempuan yang berada di bawah tanggungan
mereka. Seandainya orang yang melamar anaknya adalah seseorang ya kurang
baik, maka wajar dan tidak ada dosa bagi walinya untuk menolak lamaran
tersebut.
Jika ia menginginkan sumbangan yang mahal atau mas kawin yang mewah,
maka anaknya bukanlah barang dagangan yang diukur dengan harta. Bukanlah
maksud dari pernikahan itu untuk memperoleh harta. Cukuplah harta
hanyalah perantara untuk mewujudkan hal itu saja. Wanita itu tidak bisa
dibandingkan dengan barang dagangan, mereka jauh lebih mulia. Mereka
adalah amanah yang agung dan bagian dari keluarganya. Ia adalah bagian
dari sang ayah. Jika kita berpikir demikian, maka kita akan menganggap
harta tidak ada apa-apanya. Dan berlebih-lebihan dalam mahar dan biaya
pernikahan tidaklah membawa kebaikan untuk mereka.
Mari kita kembalikan permasalahan ini dengan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu berkata,
أَلا لا تُغَالُوا فِي صَدَقَاتِ النِّسَاءِ ، فَإِنَّهَا لَوْ كَانَتْ
مَكْرُمَةً فِي الدُّنْيَا وَتَقْوَى عِنْدَ اللَّهِ لَكَانَ أَوْلاكُمْ
بِهَا رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- مَا أَصْدَقَ
قَطُّ امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ وَلا مِنْ بَنَاتِهِ فَوْقَ اثْنَتَيْ
عَشْرَةَ أُوقِيَّةً
“Janganlah kalian berlebihan dalam menetapkan mahar perempuan. Jika
(mahar yang tinggi) ini adalah bentuk kemuliaan di dunia dan takwa di
sisi Allah, pasti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjadi orang pertama yang melakukannya. Namun beliau tidak memberikan
mahar kepada istrinya dan tidak juga menetapkan untuk anak-anak
perempuannya di atas 10 uqiyah.” 1 uqiyah sama dengan 40 dirham.
Ada seseorang yang diminta memberikan mas kawin dalam jumlah besar
untuk pasangannya, lalu laki-laki itu pun memenuhinya namun dengan
perasaan kesal. Sampai-sampai ia mengatakan, “Aku benar-benar terbebani
karena dirimu. Sampai-sampai untuk menjalin hubungan kekerabatan pun
harus membayar mahal”. Kalau kita berkaca kepada salaf ash-shalih,
bagaimana mereka meringankan mahar dan memudahkan pernikahan, nisacaya
keberkahan semakin banyak, kedua pasangan pun bisa mendapatkan kebaikan
darinya. Berlebih-lebihan dalam mahar telah menyia-nyiakan banyak para
pemuda, baik laki-laki maupun perempuan, dan menjauhkan mereka dari
pernikahan.
Ayyuhal ikhwah,
Sesungguhnya seorang laki-laki walaupun ia mampu membayar mahar yang
tinggi yang ditetapkan keluarga perempuan, hal itu tetap menyiratkan
rasa tidak enak di hatinya. Oleh karena itu, saya mengajak
saudara-sadaura para wali, untuk meringankan mahar karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَعْظَمُ النِّسَاءِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُنَّ مَئُونَةً
“Wanita yang paling banyak barokahnya adalah yang paling ringan maharnya”. (HR. Ahmad dan An-Nasa-i).
Ayyuhal ikhwah, wahai orang-orang yang bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla,
Sesungguhnya banyak dari para wali, baik dari kalangan ayah atau
selainnya, mensyaratkan agar orang yang melamar memberikan materi kepada
mereka. Ini adalah bentuk memakan harta dengan cara yang batil. Seluruh
mahar, diperuntukkan bagi istri (calon pengantin perempuan), bukan
kepada ayahnya, saudaranya, pamannya, atau siapapu dari kalangan
walinya. Mereka tidak berhak. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut ini,
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.” (QS. Annisa: 4).
Dan dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ عَلَى صَدَاقٍ أَوْ حِبَاءٍ (أَيْ:
اَلْعَطِيَّةُ وَالْهِبَةُ) أَوْ عِدَّةٍ قَبْلَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ
فَهُوَ لَهَا، وَمَا كَانَ بَعْدَ عِصْمَةِ النِّكَاحِ فَهُوَ لِمَنْ
أُعْطِيَهُ، وَأَحَقَّ مَا أُكْرِمَ عَلَيْهِ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ
وَأُخْتَهُ.
“Wanita manapun yang menikah dengan maskawin, pemberian, atau
perbekalan sebelum akad pernikahan, maka itu adalah untuknya. Sedangkan
yang diberikan sesudah akad pernikahan, maka itu untuk siapa yang
diberikan kepada-nya. Dan kemuliaan yang paling berhak untuk diberikan
kepada seorang laki-laki adalah berkaitan dengan puterinya dan saudara
perempuannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya).
Bertakwalah kepada Allah wahai hamba Allah, janganlah memberi syarat
nominal mahar ataupun selainnya ketika hendak melangsungkan pernikahan.
Tidak ada hak bagi para wali untuk melakukannya. Jika Anda para wali
melakukan hal itu, maka Anda telah memperoleh harta dengan cara yang
haram.
Dan bagi orang tua janganlah ia menyalah-gunakan amanah yang Allah
berikan kepadanya berupa anak perempuan. Janganlah ia menjadikannya
sebagai wasilah memperoleh harta tatkala hendak menikahkannya. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ
وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ. وَاعْلَمُوا أَنَّمَا
أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ
عَظِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan
Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat
yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah,
bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan
sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal:
27-28).
اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ أَنْ تُعِيْنَنَا عَلَى أَدَاءِ
الْأَمَانَةِ، وَأَنْ تُعِيْنَنَا عَلَى أَنْفُسِنَا بِالْخُضُوْعِ
لِأَوَامِرِكَ وَاتِّبَاعِهَا عَلَى الوَجْهِ الَّذِيْ تَرْضَاهُ،
وَاجْتِنَابِ مَحَارِمِكَ وَالْاِبْتِعَادِ عَنْهَا يَا رَبَّ
العَالَمِيْنَ، إِنَّكَ جَوَادٌ كَرِيْمٌ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
العَالَمِيْنَ، وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا محمد، خَاتِمِ
النَّبِيِّيْنَ وَإِمَامِ الْمُتَّقِيْنَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
أَجْمَعِيْنَ.
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَكَفَى، وَسَلَامٌ عَلَى عِبَادِهِ الَّذِيْنَ
اصْطَفَى، وَأَشْهَدُ أَلَّا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ
لَهُ، لَهُ الْحَمْدُ فِي الآخِرَةِ وَالأُوْلَى، وَأَشْهَدُ أَنَّ محمداً
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ المُصْطَفَى، وَخَلِيْلُهُ الْمُجْتَبَى، صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ بِهُدَاهُمُ اهْتَدَى،
وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً.
أَمَّا بَعْدُ:
Sejarah telah berbicara tentang berbagai kisah yang bisa kita jadikan
pelajaran dalam menapaki kehidupan. Sejarah pun mencatat perjalanan
hidup para wanita muslimah yang teguh dan setia di atas keislamannya.
Mereka adalah wanita yang kisahnya terukir di hati orang-orang beriman
yang keterikatan hati mereka kepada Islam lebih kuat daripada
keterikatan hatinya terhadap kenikmatan dunia. Salah satu diantara
mereka adalah Rumaisha Ummu Sulaim binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin
Haram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin Adi bin Najar Al-Anshariyah
Al-Khazrajiyah. Beliau dikenal dengan nama Ummu Sulaim.
Ada seorang laki-laki yang bernama Abu Thalhah memberanikan diri
untuk melamar beliau dengan tawaran mahar yang tinggi. Namun, Ummu
Sulaim menyatakan ketidaktertarikannya terhadap gemerlapnya pesona dunia
yang ditawarkan kehadapannya. Di dalam sebuah riwayat yang sanadnya
shahih dan memiliki banyak jalan, terdapat pernyataan beliau bahwa
ketika itu beliau berkata, “Demi Allah, orang seperti Anda tidak layak
untuk ditolak, hanya saja engkau adalah orang kafir, sedangkan aku
adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu.
Jika kamu mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta
selain dari itu.” (HR. An-Nasa’i).
Marilah kita meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabatnya dalam seluruh permasalahan agama kita, termasuk
dalam permasalahan pernikahan. Karena pada merekalah sebaik-baik
petunjuk.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً اَللَّهُمَّ
صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ،
وَارْضَ اللَّهُمَّ عَلَى الأَرْبَعَةِ الخُلَفَاءِ الأَئِمَّةِ
الحُنَفَاءِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِي وَارْضَ اللَّهُمَّ
عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ وَعَنِ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ
بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِعَفْوِكَ
وَرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ
اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ، وَأَذِلَّ الشِرْكَ
وَالمُشْرِكِيْنَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ،.
اَللَّهُمَّ وَآمِنَّا فِي دَوْرِنَا وَأَوْطَانِنَا، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ
وَلِيَ أَمْرِنَا لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى وَأَصْلِحْ بِطَانَتَهُ يَارَبَّ
العَالَمِيْنَ
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا ذُنُبَنَا كُلَّهُ دِقَّهُ وَجِلَّهُ ؛
أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ ، سِرَّهُ وَعَلَنَهُ . اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا مَا
قَدَّمْنَا وَمَا أَخَّرْنَا وَمَا أَسْرَرْنَا وَمَا أَعْلَنَّا وَمَا
أَسْرَفْنَا ، وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنَّا ، أَنْتَ المُقَدِّمُ
وَأَنْتَ المُؤَخِّرُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ .
اَللَّهُمَّ أَعِنَّا عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ،
اَللَّهُمَّ وَفِّقْنَا لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى وَخُذْ بِنَوَاصِيْنَا
لِلْبِرِّ وَالتَّقْوَى رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُنْيَا حَسَنَةً وَفِي
الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ، ﴿إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ
وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (90) وَأَوْفُوا بِعَهْدِ
اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلا تَنْقُضُوا الأَيْمَانَ بَعْدَ
تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلاً إِنَّ اللَّهَ
يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ﴾ [النحل: 90-91]، واذكروا الله العظيم الجليل
يذكركم، واشكروه على نِعَمِهِ يزِدْكم، ﴿وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ﴾ [العنكبوت: 45]
Oleh tim khotbahjumat.com