“Siapakah yang lebih baik hukumnya dari pada Allah, bagi kaum yang menyakini”.
Ibadallah,
Kedua: Sikap Masyarakat Terhadap Praktik Syariat
Sikap kaum Muslimin terhadap penerapkan syariat bisa simpulkan pada poin berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾ أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ
إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا
إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ
الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا ﴿٦٠﴾ وَإِذَا قِيلَ
لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ
رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku
dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada
apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada
thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan
syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang
sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah kamu (tunduk)
kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya
kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan
sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (QS. An-Nisa': 59-61).
- Mencintai Penerapan Syariat Islam.
Merupakan kewajiban setiap Muslim setelah ia mengetahui hukum-hukum
agama adalah mencintainya. Karena mencintai seluruh yang dicintai oleh
Allah
‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya adalah konsekuensi dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tanpa ragu kita mengatakan bahwa Allah
‘Azza wa Jalla
mencintai praktik syariat sehingga Dia memerintahkan untuk diterapkan
di permukaan bumi, bahkan kecintaan adalah faktor utama yang bisa
mendorong untuk menerapkan syariat tersebut, sebagaimana yang dijelaskan
oleh sebagian Ulama, “Kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya adalah
kewajiban keimanan yang paling agung. Dia adalah landasan keimanan yang
paling kokoh dan kaedahnya yang paling mulia/utama, bahkan ia adalah
asal setiap amalan keimanan dan agama. Sebagaimana keyakinan kepadanya
asal setiap perkatan keimanan dan agama, maka sesungguhnya sertiap gerak
gerik yang ada hanya muncul/bersumber dari kecintaan, baik dari
kecintan yang terpuji atau kecintaan yang tercela, ..maka seluruh amalan
keimanan dan keagamaan tidaklah muncul kecuali dari kecintaan yang
terpuji, dan asal setiap kecintaan yang terpuji adalah kecintaan kepada
Allah
Ta’ala, karena amalan yang muncul dari kecintaan yang
tercela tidaklah dihukumi sebagai amal sholeh disisi Allah, bahkan
seluruh amalan keimanan dan agama tidaklah muncul kecuali dari kecintaan
kepada Allah[3] ”
- Ridha Dan Pasrah Terhadap Praktik Syariat Islam, Tanpa Ada Rasa Keberatan Sedikitpun Didalam Hati Terhadapnya.
Karena keiman seseorang tidak akan sempurna kecuali bila ia menerima hukum Allah
‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dan pasrah kepadanya, sebagaimana firman Allah
‘Azza wa Jalla,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65).
Imam az Zuhri rahimahullah berkata,
مِنَ اللهِ الرِّسَالَةُ، وَعَلَى الرَّسُوْلِ الْبَلاَغُ، وَعَلَيْنَا التَّسْلِيْمُ
“Dari Allah datangnya risalah (syariat), tugas Rasul menyampaikan, dan kewajiban bagi kita berserah diri (menerimanya)”.
Imam Ath Thahawi rahimahullah berkata, “Tidaklah kokoh
berdirinya Islam kecuali di atas landasan/pondasi pasrah dan berserah
diri” . Maksudnya tidaklah kokoh Islam seseorang yang tidak berserah
diri kepada wahyu (Alquran dan sunnah) dan tunduk kepadanya, serta tidak
menentangnya dengan pemikiran, logika dan analogi (qiyas).
- Saling Tolong Menolong Dalam Mempraktikan Syariat Islam.
Sikap ini sesuai dengan prinsip dasar agama yang memerintahkan untuk
tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, sebagaimana firman Allah,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan
janganlah tolong menolong dalam perbuatan dosa dan kejahatan.” (QS.
Al-Maidah: 2).
Dan tidak diragukan bahwa praktik syariat adalah kebaikan semata dan
akan mendatangkan kebaikan dan keberkahan kepada kaum Muslimin,
sedangkan meninggalkannya adalah sumber kejahatan, kesengsaraan dan
petaka.
Oleh karena itu seluruh kaum Muslimin dituntut untuk mendukung usaha
mengaplikasikan penerapan syariat di daerah mereka masing-masing,
sebagai bukti keta’atan kepada Allah dan Rasul-Nya serta kecintaan
kepada agama yang mulia ini, dan sebagai bentuk tolong menolong dalam
kebaikkan dan taqwa.
ارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي
وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ،
وَنَفَعْنَا بِهَدْيِ سَيِّدِ المُرْسَلِيْنَ وَقَوْلُهُ القَوِيْمُ.
أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ
وَلِلْمُسْلِمِيْنَ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ
الرَحِيْمُ.
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الأَرْضِ وَالسَّمَاوَاتِ، لَهُ الْحَمْدُ أَمَرَ
بِالفْضَائِلِ وَالصَّالِحَاتِ، وَنَهَى عَنِ الْبَغْيِ وَالعُدْوَانِ
وَالرَّذَائِلِ وَالْمُنْكَرَاتِ، أَحْمَدُ رَبِّي عَلَى نِعَمِهِ
الظَاهِرَاتِ وَالْبَاطِنَةِ الَّتِي أَسْبَغَهَا عَلَيْنَا وَعَلَى
المَخْلُقَاتِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا
شَرِيْكَ لَهُ إِلَهُ الأَوَّلِيْنَ وَالآخِرِيْنَ لَا يَخْفَى عَلَيْهِ
شَيْءٌ مِنَ الأَقْوَالِ وَالأَفْعَالِ وَالإِرَدَاتِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ
نَبِيَّنَا وَسَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ بَعَثَ اللهُ
بِالْبَيِّنَاتِ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى عَبْدِكَ
وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ السَّابِقِيْنَ إِلَى
الخَيْرَاتِ.
أَمَّا بَعْدُ:
فَاتَّقُوْا اللهَ –عَزَّوَجَلَّ- وَأَطِيْعُوْهُ، وَكُوْنُوْا دَائِمًا
عَلَى حَذْرٍ وَخَوْفٍ مِنَ المَعَاصِي، فَإِنَّ بَطْشَ اللهُ شَدِيْدٌ.
Ibadallah,
Hendaknya kaum muslimin merasa bangga dengan adanya sebagian daerah
yang telah mencanangkan penerapan syariat Islam, kendati masih belum
teraplikasi secara sempurna, dan masih ada kekurangan dalam aspek, akan
tetapi secara prinsip mereka telah berusaha untuk mengaplikasikan
tuntutan akidah tauhid yang wajib atas setiap individu muslim.
Bagi mereka yang belum teraplikasi syariat Islam di daerahnya, maka
hendaklah berusaha sesuai dengan kemampuan mereka untuk melakukan langka
langka positip dan usaha usaha yang efektif untuk terwujudnya tujuan
yang mulia tersebut.
Jika tidak ada sama sekali penguasa yang menerapkan syariat Islam,
maka hal ini bukan bearti menghalang kaum muslimin untuk mempraktikan
Islam secara individual dalam keluarga dan masyarakatnya dalam skop yang
sempit, karena penerpan syariat sebagaimana yang diutarakan diatas
bukan sekedar penegakan hukum pidana saja, akan tetapi mencakup perkara
akidah, ibadah, akhlak dan yang lain lain.
Semoga Allah Ta’ala membimbing para penguasa kaum muslimin
dan seluruh kaum muslimin untuk mempraktikkan syariat Islam dibumi
nusantara ini, sebagai bukti keimanan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya serta kecintaan kepada agama yang mulia ini, Wallahu muwaffiq.
وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا – رَعَاكُمُ اللهُ – عَلَى مُحَمَّدِ ابْنِ عَبْدِ
اللهِ كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فَقَالَ: ﴿ إِنَّ اللَّهَ
وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً ﴾ [الأحزاب:٥٦] ، وقال
صلى الله عليه وسلم : ((مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ عَشْرًا)) .
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ
عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ،
وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى
إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَلْأَئِمَّةِ
المَهْدِيِيْنَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وَارْضَ
اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ
تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ، وَعَنَّا مَعَهُمْ
بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِرْكَ
وَالمُشْرِكِيْنَ، اَللَّهُمَّ وَآمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ
أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَ أَمْرِنَا
لِهُدَاكَ وَاجْعَلْ عَمَلَهُ فِي رِضَاكَ.
اَللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا، زَكِّهَا أَنْتَ خَيْرَ مَنْ
زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا، اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا
وَلِوَالِدَيْنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ
وَالمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ. رَبَّنَا آتِنَا
فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِيْ الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ: اُذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلَى
نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ
مَا تَصْنَعُونَ .
[Diadaptasi dari tulisan Dr. Muhammad Nur Ihsan di majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVI/1433H/2012M]