فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ
مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ الأُمُوْرِ
مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَٰذِهِ ۖ وَإِنْ
تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَىٰ وَمَنْ مَعَهُ ۗ أَلَا
إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا
يَعْلَمُونَ
Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata:
“Itu adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan,
mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang
besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah
ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
(QS. Al-A’raf: 131).
Agama Islam adalah agama yang memotivasi agar pemeluknya menjadi
seorang yang optimis. Agama Islam adalah agama kegembiraan dan
kebahagiaan. Kebahagiaan tersebut terwujud dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan berserah diri kepada-Nya. Kepada-Nya lah berserah diri orang-orang
yang bertawakkal. Dan kepada-Nya orang-orang bertakwa mengusahakan amal
ibadah mereka.
Sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus,
manusia hidup dalam kejahiliyahan yang fanatik dan kesesatan yang buta.
Suara burung dapat menghalangi mereka dari sesuatu, karena anggapan
sial. Mereka hidup dalam khurofat dan hawa nafsu yang mungkar. Dan di
antara kebiasaan jahiliyah tersebut yang dilarang oleh Islam adalah
sifat pesimis karena anggapan sial.
Pesimis dan merasal sial adalah lawan dari anugerah dan keberkahan.
Anggapan sial adalah sebuah sikap yang menunjukkan prasangka buruk
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan optimis artinya berprasangka baik kepada-Nya. Dan seorang mukmin adalah orang yang berprasangka baik kepada Allah Ta’ala dalam setiap keadaan.
Syariat Islam datang dengan melarang tathayyur. Karena hal
ini termasuk bentuk pesimis yang disebabkan melihat atau mendengar
sesuatu. Dan ini juga merupakan bentuk keyakinan yang lemah dari
orang-orang yang berbuat syirik. Mereka tidak bertawakal kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Tathayyur adalah anggapan sial karena melihat atau mendengar
bunyi burung, kijang, bintang, atau selainnya. Apa yang mereka lihat
dan dengar menghalangi mereka dari aktivitas yang mereka niatkan. Maka
syariat Islam datang menghapuskan hal ini. Islam menekankan bahwa yang
demikian sama sekali tidak berdampak dalam mendatangkan manfaat dan
menolak bahaya. Yang demikian hanyalah keyakinan-keyakinan yang tidak
berdasar sama sekali.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
أَلا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِندَ اللّهُ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَ يَعْلَمُون
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari
Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf:
131).
Dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala
menjelaskan bahwa tathayyur adalah amalannya orang-orang musyrikin. Dan
perbuatan itu dicela oleh syariat. Dahulu, kaum Firaun apabila mereka
ditimpa pacek kelik dan kemarau panjang, mereka sangka bahwa musibah dan
bala’ itu karena Musa dan kaumnya yang membawa sial. Sebagaimana dalam
firman Allah,
وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُواْ بِمُوسَى وَمَن مَّعَهُ
“Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan
itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya.” (QS. Al-A’raf: 131).
Maka Allah bantah mereka dengan firman-Nya,
أَلا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِندَ اللّهُ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَ يَعْلَمُون
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari
Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf:
131).
Yakni musibah yang menimpa mereka merupakan qadha dan qadar yang
telah Allah tetapkan disebabkan kekufuran, dosa, dan pengingkaran mereka
terhadap risalah yang dibawa Nabi Musa ‘alaihissalam. Setelah itu Allah sifati mayoritas mereka sebagai orang-orang yang bodoh.
Musa ‘alaihissalam adalah utusan Rabb semesta alam. Ia
datang dengan membawa kebaikan, keberkahan, dan kemenangan bagi siapa
yang beriman dan mengikutinya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
قَالُوا اطَّيَّرْنَا بِكَ وَبِمَنْ مَعَكَ ۚ قَالَ طَائِرُكُمْ عِنْدَ اللَّهِ ۖ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تُفْتَنُونَ
Mereka menjawab: “Kami mendapat nasib yang malang, disebabkan kamu
dan orang-orang yang besertamu”. Shaleh berkata: “Nasibmu ada pada sisi
Allah, (bukan kami yang menjadi sebab), tetapi kamu kaum yang diuji”.
(QS. An-Naml: 47).
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan keadaan
orang-orang musyrik di selain zaman Nabi Musa. Ketika mereka ditimpa
musibah, maka mereka merasa pesimis dan menyangka bahwa sebab musibah
tersebut datangnya dari para rasul.
قَالُوا إِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ
“Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu.” (QS. Yasin: 18).
Allah bantah mereka dengan mengatakan,
قَالُوا طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ
Rasul-rasul itu berkata: “Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri”. (QS. Yasin: 19).
Tidaklah orang-orang musyrik itu ditimpa musibah yang telah Allah
tetapkan dengan qadha dan qadar-Nya, kecuali dikarenakan dosa-dosa
mereka. Para rasul datang dengan kebaikan dan keberkahan bagi
orang-orang yang mengikuti mereka.
Dalam sebuah hadits yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada tiyaroh
(mengkaitkan nasib buruk dengan apa yang dilihat atau didengar), tidak
ada burung yang menunjukkan akan ada anggota keluarga yang mati, dan
tidak ada kesialan di bulan shafar” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat Imam Muslim ada tambahan lafadz,
لاَ نَوْءَ وَلاَ غُوْلَ
“Tidak benar juga meyakini bintang, dan tidak pula mempercayai hantu.”
Kehidupan pada masa jahiliyah, dipenuhi dengan hal-hal yang berbau klenik dan khurofat. Ketika Islam datang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuang jauh-jauh keyakinan demikian dengan sabdanya “Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya)”.
Penyakit itu tidak menular dengan sendirinya, akan tetapi ia menular atas takdir dan ketetapan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hadits yang menjelaskan bahwa penyakit tidak menular dengan sendirinya ini, tidak bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain. Semisal sabda beliau,
وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الأَسَدِ
“Menjauhlah (menghindarlah) dari penyakit kusta sebagaimana engkau menjauh dari singa.”(HR. al-Bukhari dan yang lainnya).
Hadits ini menjelaskan agar seseorang bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan cara berusaha menjauhi musibah tersebut. Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 195).
Dan di antara bentuk khurofat lainnya yang terjadi di masa jahiliyah
adalah pesimis dengan sesuatu yang mereka dengar di suatu tempat. Jika
ada bunyi burung tertentu di sebuah rumah, maka penghuni rumah itu
merasa akan ditimpa kesialan dan musibah. Mereka berkeyakinan salah
seorang di antara mereka penghuni rumah akan meninggal. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menepis keyakinan ini dengan mengatakan,
وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ
“Tidak ada tiyarah (mengkaitkan nasib buruk dengan apa yang dilihat
atau didengar) dan tidak ada burung yang menunjukkan akan ada anggota
keluarga yang mati.”
Burung adalah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak
memiliki campur tangan dalam urusan ketetapan takdir-Nya. Suatu ketika
ada burung tertentu yang lewat lalu berkicau, maka seseorang berkata
akan datang kebaikan dan kebaikan. Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Tidak ada keberuntungan (karena burung itu) dan tidak juga keburukan.” Beliau mengingkari keyakinan demikian.
Di antara bentuk pesimis dan anggapan sial yang lainnya adalah
anggapan sial dengan angka. Biasanya angka 13 dijadikan angka sial.
Inilah keyakinan orang-orang Nasrani. Ada lagi anggapan sial pada hari
tertentu. Kemudian juga anggapan sial atau tidak beruntung ketika orang
menyatukan jari-jari tangan kanan dan jari-jari tangan kiri (tasybiq). Atau benda tertentu pecah. Atau tanggal pernikahan. Dll.
Bentuk anggapan sial lainnya adalah anggapan sial kepada seseorang.
Seperti perkataan: Fulan wajahnya membawa sial. Atau juga anggapan sial
pada warna. Seperti warna hitam karena dianggap warna kesedihan dan duka
cita.
Demikian juga orang-orang yang membuka Alquran saat mereka akan
berdagang atau bersafar. Mereka berkeyakinan akan mendapatkan
keberuntungan. Apabila saat membuka Alquran, mereka langsung menemukan
ayat-ayat yang bercerita tentang surga, maka mereka yakin akan dapat
keberuntungan. Mereka pun dengan percaya diri dan optimis melakukan
aktivitasnya. Namun apabila berjumpa dengan ayat-ayat tentang neraka,
mereka pun tidak berani melanjutkan atau mengurungkan safarnya.
Ini sama persis dengan amalan orang-orang jahiliyah yang mengundi nasib dengan anak panah.
Di antara bentuk khurofat orang-orang jahiliyah juga adalah anggapan
sial pada bulan-bulan tertentu seperti bulan Shafar. Orang-orang
jahiliyah juga tidak mengadakan resepsi pernikahan di bulan-bulan
tertentu. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberantas keyakinan demikian dengan sabda beliau yang telah khatib sebutkan
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada tiyaroh
(mengkaitkan nasib buruk dengan apa yang dilihat atau didengar), tidak
ada burung yang menunjukkan akan ada anggota keluarga yang mati, dan
tidak ada kesialan di bulan shofar” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bulan Shafar itu sama dengan bulan-bulan lainnya. Tidak memiliki pengaruh terhadap ketetapan takdir Allah.
Orang-orang jahiliyah juga memiliki keyakinan yang menyimpang tentang
bintang-bintang. Mereka berkeyakinan letak-letak bintang atau bintang
tertentu menentukan datangnya hujan. Mereka juga berkeyakinan kalau ada
hantu yang bisa mencelakakan mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghapus keyakinan demikian dengan sabdanya,
لاَ نَوْءَ وَلاَ غُوْلَ
“Tidak benar juga meyakini bintang, dan tidak pula mempercayai hantu.”
Bintang tidak berpengaruh sama sekali pada turunnya hujan. Bintang
dan juga setan atau hantu tidak akan mampu menyesatkan dan mencelakakan
seseorang kecuali atas izin Allah. Dan seorang muslim disyariatkan untuk
berlindung dari kejelekannya.
للَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي مَقَامِنَا هَذَا أَنْ تَوْفِقَنَا
لِلْقِيَامِ بِمَا أَوْجَبْتَ عَلَيْنَا وَأَنْ نَكُوْنَ مِنْ عِبَادِكَ
المُخْبِتِيْنَ الصَّادِقِيْنَ البَارِيْنَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ
إِنَّكَ جَوَادٌ كَرِيْمٌ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ
وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ .
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
وَأَشْهَدُ اَلَّا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ
شَهَادَةً نَرْجُوْ بِهَا النَجَاةَ يَوْمَ نَلْقَاهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
أَمَّا بَعْدُ:
Ibadallah,
Wajib bagi kaum muslimin menjauhkan dan menjaga diri dari
keyakinan-keyakinan batil seperti yang telah khotib sebutkan. Kaum
muslimin wajib bertawakal hanya kepada Allah dan bersandar kepada-Nya.
Di tangan Allah lah segala ketentuan yang terjadi. Tidak ada yang bisa
menangkalnya.
Ma’asyiral mukminin,
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ عَدْوَى ، وَلاَ طِيَرَةَ ، وَيُعْجِبُنِى الْفَأْلُ » . قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ قَالَ « كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ
“Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya
(tanpa ketentuan Allah) dan tidak dibenarkan beranggapan sial. Sedangkan
al-fa’lu membuatkan takjub.” Para sahabat bertanya, “Apa itu al-fa’lu?”
beliau bersabda,“Kalimat yang baik thayyib.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Anggapan sial hanya memandang jelek dan pesimis. Misalnya seseorang
berkeinginan untuk menikah atau bersafar, kemudian dia melihat atau
mendengar sesuatu yang membuatnya khawatir atau benci, ia pun
membatalkan keinginannya tadi. Hukum yang demikian adalah syirik. Karena
yang demikian sama saja berburuk sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal seperti ini hanyalah was-was dan khayalan. Dimana hati bersandar kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla.
Adapun al-fa’lu yakni kalimat-kalimat yang baik, terjadi karena
adanya sifat optimis dan merasa lapang. Ia merasa mudah dan kuat rasa
harapnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seperti seorang yang
menderita sakit, kemudian ia mendengar seseorang berkata kepadanya
“wahai orang yang sehat”, maka di hatinya akan tertanam energi positif.
Ia yakin akan sembuh dari sakitnya.
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam takjub dengan
orang yang memiliki sifat al-fa’lu. Karena ia memasukkan kebahagiaan
kepada hati seseorang tanpa bersandar kepada dirinya. Yang demikian
dianjurkan dalam agama kita karena menanamkan prasangka baik kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرا
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan
menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala
baginya.” (QS. Ath-Thalaq: 5).
وَاعْلَمُوْا أَنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الُهَدْيِ
هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّ
الأُمُوْرِ مُحْدَثاَتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ فِي الدِّيْنِ بِدْعَةٌ
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ اِجْتَمِعُوْا وَلَا تَتَفَرَّقُوْا
اِجْتَمِعُوْا عَلَى دِيْنِ اللهِ اِجْتَمِعُوْا عَلَى مَا فِيْهِ
الصَّلَاحُ فِي دِيْنِكُمْ وَدُنْيَاكُمْ فَإِنَّ يَدَ اللهِ عَلَى
الْجَمَاعَةِ وَمَنْ شَذَّ، شَذَّ فِي النَّارِ
وَأَكْثِرُوْا مِنَ الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى النَّبِي مُحَمَّدٍ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ مَرَّةً
وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا اَللَّهُمَّ صَلِّي
وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ اَللَّهُمَّ ارْزُقْنَا
مَحَبَّتَهُ وَاتِّبَاعَهُ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا اَللَّهُمَّ تَوَفَّنَا
عَلَى مِلَّتَهُ اَللَّهُمَّ احْشُرْنَا فِي زَمْرَتِهِ اَللَّهُمَّ
اسْقِنَا مِنْ حَوْضِهِ اَللَّهُمَّ أَدْخِلْنَا فِي شَفَاعَتِهِ
اَللَّهُمَّ اجْمَعْنَا بِهِ فِي جَنَّاتٍ النَّعِيْمٍ مَعَ الَّذِيْنَ
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ
وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ. اَللَّهُمَّ ارْضَى عَنْ خُلَفَائِهِ
الرَاشِدِيْنَ وَعَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ عَنِ التَّابِعِيْنَ
لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا
وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي
قُلُوْبِنَا غَلًّا لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ الرَؤُوْفُ
الرَحِيْمُ أَمَّا بَعْدُ.
فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا
اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا.يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ
فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
(إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا
وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا لِيُعَذِّبَ
اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ
وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوبَ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Diterjemahkan dari khotbah Jumat Syaikh Sulthan bin Abdurrah al-Id dengan judul (at-Tafa-ul wa Tasya-um)