وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي
الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا
عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasihatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi
lagi Mahabesar. ” (QS. An-Nisaa’: 34).
(( فَعِظُوْهُنَّ )) “Nasihatilah mereka.” Inilah langkah pertama dan
merupakan kewajiban utama bagi pemimpin keluarga. Seorang suami dituntut
untuk dapat mendidik isteri pada setiap keadaan, sebagaimana firman
Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS.
At-Tahrim: 6).
Akan tetapi dalam keadaan seperti ini ia harus mempunyai konsep
tertentu untuk tujuan tertentu, yaitu mengobati tanda-tanda nuzyuz
(kedurhakaan) sebelum permasala-hannya menjadi genting dan terbuka.
Namun, bisa jadi nasihat akan tidak bermanfaat karena mungkin saja
sang isteri sedang dikuasai oleh hawa nafsu atau emosi yang tidak
terkendali, merasa lebih tinggi dari suami karena kecantikan, harta,
kedudukan ataupun unsur lainnya, yang menyebabkannya lupa bahwa ia
adalah rekan dalam lembaga keluarga bukan lawan bertengkar atau bukan
sebagai lahan untuk berbangga. Dalam keadaan seperti ini suami harus
menempuh tindakan yang kedua, suatu sikap yang mencerminkan keunggulan
derajat suami di atas segala sesuatu yang menjadi kebanggaan isteri,
baik itu berupa kecantikan, daya tarik atau hal lain yang menjadikan ia
merasa lebih tinggi daripada suami. Langkah tersebut adalah (
وَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ ) “Pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka.”
Ranjang pasutri (pasangan suami isteri) merupakan daya tarik isteri
yang sering dijadikan alasan seakan-akan isteri lebih tinggi dan sangat
dibutuhkan suami. Maka jika suami dapat menahan keinginan untuk
menggauli isteri berarti ia telah dapat mematahkan senjata paling ampuh
yang dibanggakan oleh isteri yang durhaka.
Akan tetapi dalam menempuh langkah yang kedua ini suami harus
memperhatikan beberapa adab, di antaranya: tidak menampakkan sikap
tersebut secara terang-terangan di depan selain isteri. Jangan
menampakkannya di depan anak-anak karena dapat menumbuhkan sikap jelek
dalam diri mereka. Jangan menampakkannya di depan orang lain yang akan
merendahkan derajat isteri sehingga bisa jadi akan membuatnya tambah
durhaka. Karena maksud ditempuhnya langkah ini adalah untuk mengobati
nusyuz isteri, bukan untuk menghinakannya ataupun merusak anak-anak.
Namun, bisa jadi langkah ini pun tidak berhasil.
Kemudian, apakah keluarga tersebut akan dibiarkan retak begitu saja?
Tentu saja tidak. Karena di sana ada langkah selanjutnya, walaupun
terkesan lebih keras, akan tetapi langkah ini lebih baik dari pada
membiarkan rumah tangga tersebut berantakan karena nusyuz yang dilakukan
oleh isteri, yaitu: (( وَاضْرِبُوْهُنَّ )) “Dan pukullah mereka.”
Akan tetapi pukulan tersebut bukanlah untuk menyiksa isteri sebagai
aksi balas dendam terhadap kedurhakaannya, bukan untuk menghinakan, juga
bukan untuk memaksa isteri melakukan sesuatu yang tidak ia ridhai.
Jadikanlah pukulan tersebut sebagai pukulan pembelajaran yang disertai
dengan sikap kelemah-lembutan seorang pendidik, seperti apa yang
dilakukan oleh seorang ayah terhadap anaknya atau seorang guru terhadap
muridnya.
Islam membolehkan para suami untuk menempuh langkah-langkah tersebut
dalam rangka mengobati tanda-tanda nusyuz -sebelum menjadi genting-.
Akan tetapi Islam juga memperingatkan jangan sampai pembolehan tersebut
disalahgunakan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengarahkan umatnya agar bersikap tepat dalam hal ini, baik melalui
Sunnah amaliyah (perilaku) beliau dengan isteri-isteri beliau maupun
secara langsung dengan sabda-sabda beliau dalam berbagai kesempatan. Di
antaranya adalah sebagai berikut:
Dari Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah hak isteri atas kami?” Beliau bersabda:
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ وَلاَ
تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ.
“Engkau memberi makan jika engkau makan, engkau memberinya pakaian
jika engkau berpakaian, janganlah memukul wajah dan jangan
menjelek-jelekkannya serta janganlah memisahkannya kecuali tetap di
dalam rumah.”
Dari Iyas bin ‘Abdillah bin Abi Dzubab radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَضْرِبُوا إِمَاءَ اللهِ. فَجَاءَ عُمَرُ z إِلَى رَسُولِ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ذَئِرْنَ النِّسَاءُ عَلَى
أَزْوَاجِهِنَّ. فَرَخَّصَ فِي ضَرْبِهِنَّ فَأَطَافَ بِآلِ رَسُولِ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ
أَزْوَاجَهُنَّ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَقَدْ أَطَافَ بِآلِ بَيْتِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيْرٌ يَشْكُونَ
أَزْوَاجَهُنَّ لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ.
“Janganlah kalian memukul hamba-hamba (perempuan) Allah.” Kemudian
‘Umar datang kepada Rasulullah dan berkata, “Sebagian dari para isteri
durhaka kepada suami mereka.” Kemudian Rasulullah mengizinkan mereka
untuk memukul para isteri. Kemudian banyak di antara para isteri
mendatangi keluarga Rasulullah guna mengadukan apa yang telah dilakukan
oleh para suami mereka. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sungguh, banyak para wanita yang mendatangi keluarga
Rasulullah untuk mengadukan perilaku suami-suami mereka, mereka bukanlah
orang-orang yang baik.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Dari Abdullah bin Zam’ah bahwasanya ia telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ فَيَجْلِدُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ فَلَعَلَّهُ يُضَاجِعُهَا مِنْ آخِرِ يَوْمِهِ.
“Bagaimana mungkin seorang di antara kalian sengaja mencambuki
isterinya seperti ia mencambuki hamba sahaya, kemudian menyetubuhinya di
sore hari.” (Muttafaqun ‘alaih).
Yang jelas, langkah-langkah di atas memiliki batasan-batasan yang
harus diperhatikan. Jika tujuan tersebut telah tercapai pada salah satu
langkah tersebut, maka kita tidak perlu menempuh langkah yang
selanjutnya.
(( فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً ))
“Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya.”
Sehingga tatkala tujuan telah tercapai, maka dengan sendirinya
langkah tersebut diberhentikan. Hal ini menunjukkan bahwa ketaatan
isteri adalah maksud dari ditempuhnya langkah-langkah di atas, yaitu
sebuah ketaatan yang didasari atas kesadaran, bukan paksaan. Karena
ketaatan yang didasari keterpaksaan tidak akan dapat menciptakan
keharmonisan bahtera rumah tangga yang merupakan pondasi bagi bangunan
suatu masyarakat.
Dan nash Alquran mengisyaratkan bahwa meneruskan langkah-langkah
tersebut di atas setelah tercapainya ketaatan isteri merupakan tindakan
aniaya, tindakan sesuka hati dan melampaui batas, sebagaimana
firman-Nya: (( فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً )) “Maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” Kemudian setelah
menyebutkan larangan ini Allah memperingatkan bahwasanya Ia Mahatinggi
dan Mahabesar, agar jiwa-jiwa menjadi tunduk dan patuh serta tidak
berani berbuat aniaya dan melampaui batas. Inilah salah satu metode
Alquran dalam Targhib (anjuran) dan Tarhib (ancaman).
نَسْأَلُ اللهَ الكَرِيْمَ أَنْ يُبَصِّرَنَا جَمِيْعاً بِحُدُوْدِ
دِيْنِهِ، وَأَنْ يُفَقِّهَنَا فِي شَرْعِهِ وَتَنْزِيْلِهِ، وَأَنْ
يَّمُنَّ عَلَيْنَا بِالرِّزْقِ الطَيِّبِ اَلْحَلَالِ، اَللَّهُمَّ
بَارِكْ لَنَا فِي أَعْمَارِنَا وَأَمْوَالِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا وَاغْفِرْ
لَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الغَفُوْرُ الرَحِيْمُ .
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ عَظِيْمِ الإِحْسَانِ، وَاسِعِ الْفَضْلِ وَالْجُوْدِ
وَالْاِمْتِنِانِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا
شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى
اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.
أَمَّا بَعْدُ عِبَادَ اللهِ: اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى.
Ibadallah,
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا
جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَالصُّلْحُ
خَيْرٌ
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi ke-duanya mengadakan perdamaian
yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka.” (QS.
An-Nisaa’: 128)
Setelah sebelumnya dijelaskan tentang keadaan nusyuz dari pihak
isteri dan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menjaga keutuhan
keluarga. Selanjutnya akan dijelaskan tentang keadaan nusyuz yang
ditakutkan akan dilakukan oleh pihak suami yang akan mengancam
ketenteraman dan kehormatan isteri, bahkan dapat mengancam keharmonisan
keluarga secara keseluruhan.
Sesungguhnya hati ini sering berbolak-balik dan perasaan selalu
berubah-ubah. Dan Islam adalah metode kehidupan yang dapat menyelesaikan
segala permasalahan yang mungkin terjadi dalam kehidupan ini.
Apabila seorang isteri merasa takut akan kehilangan perhatian dari
suami yang bisa jadi membawanya menuju perceraian -perbuatan halal yang
paling dibenci oleh Allah- atau ia merasa diasingkan oleh suami, di mana
ia ditinggalkan begitu saja tanpa status yang pasti, apakah ia masih
menjadi isterinya atau telah dicerai. Dalam keadaan seperti ini tidaklah
mengapa bagi seorang isteri untuk bersedia melepaskan sebagian
hak-haknya atas suami. Seperti bersedia jika nafkahnya dikurangi atau
gilirannya ditinggalkan jika suami memiliki isteri lain. Walaupun dalam
keadaan seperti ini sang isteri kehilangan hal yang sangat penting bagi
kehidupannya seba-gai seorang isteri.
Kesemuanya ini jika isteri melihat -dengan segala pertimbangannya-
bahwa langkah tersebut lebih baik dan lebih mulia baginya daripada harus
diceraikan.
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا
جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَالصُّلْحُ
خَيْرٌ
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian
yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka.” (QS.
An-Ni-saa’: 128)
Inilah perdamaian yang kami maksudkan.
Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan
bahwasanya secara mutlak perdamaian adalah lebih baik daripada
persengketaan, perpecahan dan perceraian, (( وَالصُّلْحُ خَيْرٌ )) “Dan
jalan perdamaian adalah lebih baik bagi mereka.”
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan anjuran kepada
suami agar berbuat baik kepada isteri yang masih ingin hidup
berdampingan dengannya, dengan bukti ia (isteri) bersedia melepaskan
beberapa haknya atas suami. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwasanya Ia Mahatahu terhadap sikap baik suami dan Ia pun akan membalasnya.
وَأُحْضِرَتِ الْأَنفُسُ الشُّحَّ ۚ وَإِن تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir dan jika kamu bergaul
dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap
tidak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (QS. An-Nisaa’: 128).
Sebab turunnya ayat ini adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Abu
Dawud dari hadits Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya, ia berkata:
قَالَتْ عَائِشَةُ: يَا ابْنَ أُخْتِي كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يُفَضِّلُ بَعْضَنَا عَلَى بَعْضٍ فِي الْقَسْمِ
مِنْ مُكْثِهِ عِنْدَنَا وَكَانَ قَلَّ يَوْمٌ إِلاَّ وَهُوَ يَطُوفُ
عَلَيْنَا جَمِيعًا فَيَدْنُو مِنْ كُلِّ امْرَأَةٍ مِنْ غَيْرِ مَسِيسٍ
حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى الَّتِي هُوَ يَوْمُهَا فَيَبِيتَ عِنْدَهَا
وَلَقَدْ قَالَتْ سَوْدَةُ بِنْتُ زَمْعَةَ حِينَ أَسَنَّتْ وَفَرِقَتْ
أَنْ يُفَارِقَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا
رَسُولَ اللهِ يَوْمِي لِعَائِشَةَ، فَقَبِلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا قَالَتْ: نَقُولُ فِي ذَلِكَ أَنْزَلَ
اللهُ تَعَالَى وَفِي أَشْبَاهِهَا أُرَاهُ قَالَ وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ
مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا
“‘Aisyah berkata, ‘Wahai anak saudara perempuanku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak mengistimewakan sebagian kami atas sebagian yang lain dalam
pembagian giliran tinggalnya bersama kami. Pada siang hari beliau
berkeliling pada kami semua dan menghampiri setiap isteri tanpa
menyentuhnya hingga beliau sampai pada isteri yang menjadi gilirannya,
lalu beliau bermalam padanya. Dan Saudah binti Zam’ah ketika takut akan
dicerai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, berikanlah giliranku untuk ‘Aisyah.’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukannya.” ‘Aisyah berkata, ‘Tatkala Rasulullah telah mengatakan
hal tersebut turunlah firman Allah: ‘Dan jika seorang wanita khawatir
akan nusyuz dari suaminya…’” (QS. An-Nisaa’: 128) (HR. Abu Dawud).
Demikian, khotbah yang singkat ini. Mudah-mudahan bisa dapat diambil
pelajaran bagi para suami kemudian disampaikan kepada istri dengan cara
yang bijak dan baik.
وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا – رَعَاكُمُ اللهُ – عَلَى مُحَمَّدِ ابْنِ عَبْدِ
اللهِ كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فَقَالَ: ﴿ إِنَّ اللَّهَ
وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً ﴾ [الأحزاب:٥٦] ، وقال
صلى الله عليه وسلم : ((مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ عَشْرًا)) .
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ
عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ،
وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى
إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَلْأَئِمَّةِ
المَهْدِيِيْنَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وَارْضَ
اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ
تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ، وَعَنَّا مَعَهُمْ
بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِرْكَ
وَالمُشْرِكِيْنَ، اَللَّهُمَّ وَآمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ
أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَ أَمْرِنَا
لِهُدَاكَ وَاجْعَلْ عَمَلَهُ فِي رِضَاكَ.
اَللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا، زَكِّهَا أَنْتَ خَيْرَ مَنْ
زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا، اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا
وَلِوَالِدَيْنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ
وَالمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ. رَبَّنَا آتِنَا
فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِيْ الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ: اُذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلَى
نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ
مَا تَصْنَعُونَ .
(Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz,
Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia
Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir