عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ, رَدَّ اللهُ وَجْهَهُ النَّارَ
عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : قَامَ النَّبِيُّ يُصَلِّي فَقَالَ :
أَيْنَ مَلِكُ بْنُ الدُّخْشُنِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ : ذَلِكَ مُنَافِقٌ, لاَ
يُحِبُّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ, فَقَالَ النَّبِيُّ : لاَ تَقُلْ ذَلِكَ,
أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ لاَ إِلِهَ إِلاَّ اللهُ يُرِيْدُ بِذَلِكَ
وَجْهَ اللهِ وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ
إِلِهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِيْ بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ
“Dari Itban bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menegakkan sholat, lalu (setelah selesai sholat) beliau berkata: “Di
manakah Malik bin Addukhsyum?”, lalu ada seorang laki-laki menjawab: ”Ia
munafik, tidak cinta kepada Allah dan Rasul-Nya”, Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata: “Janganlah engkau berkata demikian, tidakkah engkau lihat
bahwa ia telah mengucapkan la ila ha illallah dengan ikhlash karena
Allah?, dan Allah telah mengharamkan api neraka atas orang yang
mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlash karena Allah”. (HR. Bukhari
dan Muslim).
حَتَّى بَلَغَ (رَسُولُ الهِر ) تَبُوكَ فَقَالَ وَهُوَ جَالِسٌ فِي
الْقَوْمِ بِتَبُوكَ مَا فَعَلَ كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ
بَنِى سَلَمَةَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ حَبَسَهُ بُرْدَاهُ وَ النَّظَرُ فِيْ
عِطْفَيْهِ. فَقَالَ لَهُ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ : بِئْسَ مَا قُلْتَ,
وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ إِلاَّ خَيْرًا,
فَسَكَتَ رَسُوْلُ اللهِ
“Dari Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah sampai di Tabuk, dan sambil duduk beliau bertanya: “Apa yang
dilakukan Ka’ab?”, (Yakni mengapa dia tidak keluar berjihad ke Tabuk
ini-Red.) maka ada seorang laki-laki dari Bani Salamah menjawab: ”Wahai
Rasulullah, ia telah tertahan oleh mantel dan selendangnya”. Lalu Mu’adz
bin Jabal t berkata: “Buruk sekali perkataanmu itu, demi Allah wahai
Rasulullah, kami tidak mengetahui sesuatupun dari dia melainkan hanya
kebaikan”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diam”. (Bukhori dan Muslim)
Ibadallah,
Untuk menghindari ghibah kita harus sadar bahwa segala apa yang kita
ucapkan semuanya akan dicatat dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. (QS. Qaf: 18).
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً
“Dan janganlah kalian mengikuti apa yang kalian tidak mengetahuinya,
sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati itu semua akan ditanyai
(dimintai pertanggungjawaban)” (QS. Al-Isra’: 36)
Jika kita tidak menjaga lisan kita -sehingga berbicara seenaknya
tanpa ditimbang- timbang dahulu, yang akhirnya mengakibatkan kita
terjatuh pada ghibah atau yang lainnya- maka hal ini akibatnya sangat
fatal. Sebab lisan termasuk sarana yang paling banyak memasukkan manusia
ke dalam neraka. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَ هَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِيْ النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ ؟
“Bukankah tidak ada yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka melainkan akibat lisan-lisan mereka?”.
Demikian juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ : الفَمُ و الْفَرَجُ
“Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang: mulut dan kemaluan”. (HR. Tirmidzi dan Ahmad).
Dalam dua hadits ini, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan seolah-olah hanya lisanlah yang menyebabkan seseorang
terjerembab di jurang neraka. Padahal ada hal-hal lain juga menyebabkan
manusia celaka. Hal itu tidak lain karena betapa lisan menjadi sebab
utama tergelincirnya seseorang. Lisan menyebabkan amalan seseorang
berguguran. Lisan mengakibatkan seseorang jatuh kerhormatannya. Dan
lisan menyebabkan seseorang menuai dosa yang berkepanjangan.
Ibadallah,
Kita akui, menjaga lisan amatlah berat kecuali bagi mereka yang Allah beri taufik. Karena sulitnya menjaga lisan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
عَنْ سَهْلٍ بْنِ سَعْدٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله ِ : مَنْ يَضْمَنْ
لِيْ مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ
الْجَنَّةَ
“Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: ”Barangsiapa yang menjamin kepadaku (keselamatan) apa yang
ada di antara dua bibirnya (yaitu lisannya), dan apa yang ada di antara
kedua kakinya (yaitu kemaluannya), maka aku jamin surga baginya”. (HR.
Bukhari dan Muslim).
Imam Nawawi berkata: “Ketahuilah, bahwasanya ghibah adalah
seburuk-buruknya hal yang buruk, dan ghibah merupakan keburukan yang
paling tersebar pada manusia, sehingga tidak ada yang selamat dari
ghibah ini kecuali hanya segelintir manusia”
Imam Syafi’i berkata:
الـذَّمُّ لَيْـسَ بِغِيْبَةٍٍ فِيْ سِتـَّةٍ مُتَظَلِّمٍ وَ مـُعَرِّفٍ وَ مُـحَذَِّرٍ
وَ لِمُظْهِرٍ فِسـْقًا وَ مُسْتَفْـتٍ وَمَنْ طَلَبَ الإِعَانَةِ فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ
“Jagalah lisanmu wahai manusia
Janganlah lisanmu sampai menyengat-mu, sesungguhnya dia seperti ular
Betapa banyak penghuni kubur yang terbunuh oleh lisannya
Padahal dulu orang-orang yang pemberani takut bertemu dengannya”
Ibadallah,
Di sisi lain, ternyata para ulama juga memuat ada ghibah yang
diperbolehkan. Tentu saja hal ini mereka tetapkan berdasarkan dalil dari
syariat. Hal-hal yang membolehkan ghibah itu ada enam (sebagaimana
disebutkan oleh An-Nawawi dalam Al-Adzkar), sebagaimana tergabung dalam
suatu syair :
الـذَّمُّ لَيْـسَ بِغِيْبَةٍٍ فِيْ سِتـَّةٍ مُتَظَلِّمٍ وَ مـُعَرِّفٍ وَ مُـحَذَِّرٍ
وَ لِمُظْهِرٍ فِسـْقًا وَ مُسْتَفْـتٍ وَمَنْ طَلَبَ الإِعَانَةِ فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ
“Celaan bukanlah ghibah pada enam kelompok
Pengadu, orang yang mengenalkan, dan orang yang memperingatkan
Dan terhadap orang yang menampakkan kefasikan, dan peminta fatwa
Dan orang yang mencari bantuan untuk menghilangkan kemungkaran”
Pertama: Pengaduan
Maka dibolehkan bagi orang yang teraniaya mengadu kepada penguasa
atau hakim dan yang lainnya, yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk
mengadili orang yang menganiaya dirinya. Maka dia (boleh) berkata: “Si
fulan telah menganiaya saya demikian dan demikian”. Dalilnya firman
Allah:
لاَ يُحِبُّ اللهُ الْجهْرَ بِالسُّوْءِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ
“Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) dengan terus
terang kecuali oleh orang yang dianiyaya”. (QS. An-Nisa’ : 148).
Pengecualian yang terdapat dalam ayat ini menunjukkan bolehnya orang
yang didzholimi mengghibahi orang yang menzaliminya, dengan hal-hal yang
menjelaskan kepada manusia tentang kezaliman yang telah dialaminya dari
orang yang menzaliminya, dan dia mengeraskan suaranya dengan hal itu
dan menampakkannya di tempat-tempat berkumpulnya manusia. Sama saja
apakah dia nampakkan kepada orang-orang yang diharapkan bantuan mereka
kepadanya, atau dia nampakkan kepada orang-orang yang dia tidak
mengharapkan bantuan mereka.
Kedua: Minta Bantuan Untuk Mengubah Kemungkaran Dan Mengembalikan Pelaku Kemaksiatan Kepada Kebenaran.
Seseorang boleh berkata kepada orang yang diharapkan kemampuannya
bisa menghilangkan kemungkaran: “Si fulan telah berbuat demikian, maka
hentikanlah dia dari perbuatannya itu” dan yang selainnya. Dan hendaknya
tujuannya adalah sebagai sarana untuk menghilangkan kemungkaran, jika
niatnya tidak demikian maka hal ini adalah haram.
Ketiga: Meminta Fatwa.
Misalnya seseorang berkata kepada seorang alim yang dia percaya:
“Bapakku telah berbuat zalim padaku”, atau “Saudaraku, atau suamiku,
atau si fulan telah menzalimiku, apakah hukuman yang dia dapatkan?, dan
bagaimanakah jalan keluar dari hal ini, agar hakku bisa aku peroleh dan
terhindar dari kezaliman?”, dan yang semisalnya. Tetapi yang yang lebih
hati-hati dan lebih baik adalah hendaknya dia berkata: “Bagaimana
pendapatmu tentang seseorang atau seorang suami yang telah melakukan
demikian ..?”. Maka dengan cara ini tujuan bisa diperoleh tanpa harus
menyebutkan orang tertentu, namun menyebutkan orang tertentupun boleh
sebagaimana dalam hadits Hindun.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَتْ هِنْدٌ امْرَأَةُ أَبِيْ سُفْيَانَ
لِلنَّبِيِّ : إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ
يُعْطِيْنِيْ مَا يَكْفِيْنِيْ وَوَلَدِِيْ إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ
وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ, قَالَ : خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدِكِ
بِالْمَعْرُوْفِ
“Dari ‘Aisyah berkata: Hindun, istri Abu Sofyan, berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
: “Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir dan tidak memberi belanja
yang cukup untukku dan untuk anak-anakku, kecuali jika saya ambil tanpa
pengetahuannya”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
“Ambillah apa yang cukup untukmu dan untuk anak-anakmu dengan cara yang
baik” (jangan terlalu banyak dan jangan terlalu sedikit)” (Muttafaqun
‘alaihi).
Keempat: Memperingatkan Kaum Muslimin Dari Kejelekan.
Misalnya seseorang menyebutkan kesesatan orang lain. Seperti ketika
seorang ulama atau da’i menyebutkan tokoh-tokoh Jaringan Islam Liberal
adalah orang yang merusak agama. Mereka mengesankan baik apa yang
dikatakan. Sehingga, dengan penyebutan itu, umat pun menghindari untuk
mendengarkan perkataannya.
Contoh yang lain yaitu mengghibahi seseorang ketika musyawarah untuk
mencari nasihat. Dan tidak mengapa dengan menyebutkan dengan jelas orang
yang dighibahi tersebut. Dalilnya sebagaimana hadits Fatimah.
عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ : أَتَيْتُ النَّبِيَّ فَقُلْتُ :
إِنَّ أَبَا الْجَهْمِ وَ مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِ, فَقَالَ رَسُوْلُ الله :
أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ. وَأَمَّا أَبُوْا
الْجَهْمِ فَلاَ يَضَعُ الْعَصَا عَنْ عَاتِقِهِ.(وَفِيْ رِوَايَةٍ
لِمُسْلِمٍ : وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَضَرَّابُ لِلنِّسَاءِ)
“Fatimah binti Qois berkata: “Saya datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah meminang saya”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata : “Adapun Mu’awiyah maka ia seorang miskin adapun Abul Jahm
maka ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya”. (Bukhori dan
Muslim). Dan dalam riwayat yang lain di Muslim (no 1480) :”Adapun Abul
Jahm maka ia tukang pukul para wanita (istri-istrinya)”.
Kelima: Ghibah Dibolehkan Kepada Seseorang Yang Terang-Terangan Menampakkan Perbuatan Dosanya.
Seperti orang yang terang-terangan meminum khamr, mengambil harta
manusia dengan zalim, dan lain sebagainya. Maka boleh menyebutkan
kejelekan-kejelekannya. Dalilnya :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ فَقَالَ ائْذَنُوْا لَهُ, بِئْسَ أَخُوْا الْعَشِيْرَةِ
“‘Aisyah berkata: “Seseorang datang minta idzin kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Izinkankanlah ia, ia adalah sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya”. (Muttafaqun ‘alaihi).
Namun diharamkan menyebutkan aib-aibnya yang lain yang tidak ia nampakkan, kecuali ada sebab lain yang membolehkannya.
Keenam: Untuk Pengenalan.
Jika seseorang terkenal dengan suatu laqob (gelar) seperti Al-A’masy
(si rabun) atau Al-A’roj (si pincang) atau Al-A’ma (si buta) dan yang
selainnya, maka boleh untuk disebutkan. Dan diharamkan menyebutkannya
dalam rangka untuk merendahkan. Adapun jika ada cara lain untuk untuk
mengenali mereka (tanpa harus menyebutkan cacat mereka) maka cara
tersebut lebih baik.
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufik dan
hidayahnya kepada kita agar terjauh dari dosa ghibah yang menggerogoti
amal shaleh ini.
اَللَّهُمَّ يَا مَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ
يَا رَحْمَنُ يَا رَحِيْمُ مُنَّ عَلَيْنَا بِالاِسْتِقَامَةِ عَلَى
دِيْنِكَ، اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا بِالتَوْحِيْدِ قَائِمِيْنَ، وَلِسُنَّةِ
نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَّبِعِيْنَ،
اَللَّهُمَّ قَوِّ الإِسْلَامَ بِأَهْلِهِ وَقَوِّ أَهْلَهُ بِهِ يَا رَبَّ
العَالَمِيْنَ .
أَقُوْلُ مَا تَسْمَعُوْنَ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ
أَمَّا بَعْدُ:
Ibadallah,
Terkait dengan 6 ghibah yang diperbolehkan, yang telah khotib
sebutkan pada khotbah pertama, ghibah tersebut dibolehkan bukanlah
sebagai hukum aslinya. Karena hukum asli ghibah adalah haram dan
terlarang. Ia boleh karena ada sebabnya. Dan jangan pula kita
menghalalkan ghibah yang kita lakukan dengan beralasan kepada 6 hal ini,
padahal ia tidak termasuk dari keenam hal tersebut.
Dibolehkannya ghibah ini adalah karena darurat. Oleh karena itu
ghibah tersebut diukur sesuai dengan ukurannya yakni seperlunya saja.
Tidak boleh memperluasnya.. Bahkan orang yang mendapatkan keadaan
darurat ini (sehingga dia dibolehkan ghibah –pent) hendaknya bertaqwa
kepada Allah, dan janganlah dia menjadi termasuk orang-orang yang
melampaui batas.
اَللَّهُمَّ يَا مَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ اللَّهُمَّ أَعِزَّ
الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ
وَالمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ عَلَيْكَ بِالكَافِرِيْنَ اَللَّهُمَّ عَلَيْكَ بِالْكَافِرِيْنَ فَإِنَّهُمْ لَا يُعْجِزُوْنَكَ .
اَللَّهُمَّ عَلَيْكَ بِكُلِّ مَنْ سَبَّ رَسُوْلَنَا صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، اَللهُ شَلْ يَدَهُ، اَللَّهُمَّ جَمْدِ العُرُوْقَ
فِي دَمِهِ، اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ عِبْرَةً وَآيَةً لِمَنْ وَرَاءَهُ يَا
رَبَّ العَالَمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ يَا مَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، اَللَّهُمَّ إِنَّا
نَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ اَلَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَرْحَمَ
إِخْوَانَنَا فِي بِلَادِ الشَّامِ اَللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ بِرَحْمَتِكَ
يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ وَفِي كُلِّ بِلَادِ المُسْلِمِيْنَ .
Oleh tim khotbahjumat.com