Khutbah Pertama:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ
وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ وَصَفِيُهُ وَخَلِيْلُهُ وَأَمِيْنُهُ عَلَى وَحْيِهِ بَلَّغَ
الرِسَالَةَ وَأَدَّى الأَمَانَةَ وَنَصَحَ الْأُمَّةَ وَجَاهَدَ فِي
اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ حَتَّى أَتَاهُ اليَقِيْنُ، وَمَا تَرَكَ خَيْراً
إِلَّا دَلَّ الأُمَّةَ عَلَيْهِ وَلَا تَرَكَ شَرّاً إِلَّا حَذَّرَ
الْأُمَّةَ مِنْهُ؛ فَصَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ .
أَمَّا بَعْدُ:
مَعَاشِرَ المُؤْمِنِيْنَ عِبَادَ اللهِ: اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى
وَرَاقِبُوْهُ مُرَاقَبَةً مَنْ يَعْلَمُ أَنَّ رَبَّهُ يَسْمَعُهُ
وَيَرَاهُ. وَتَقْوَى اللهَ جَلَّ وَعَلَا: عَمَلٌ بِطَاعَةِ اللهِ عَلَى
نُوْرٍ مِنَ اللهِ رَجَاءَ ثَوَابَ اللهِ، وَتَرْكٌ لِمَعْصِيَةِ اللهِ
عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ خِيْفَةَ عَذَابِ اللهِ.
Ibadallah,
Waktu adalah modal untuk melakukan amal shalih. Orang yang mengerti
hakikat ini, maka dia tidak akan menggunakannya kecuali untuk perkara
yang bermanfaat. Dia akan berusaha memanfaatkan segala potensi diri
untuk mendapatkan pahala sebanyak mungkin. Diantara yang bisa mudah
dimanfaatkan untuk menabung bekal disisi Allah ‘Azza wa Jalla
adalah lidah. Dengan lidah, seseorang bisa berdzikir dan saling
nasehat-menasehati sehingga meraih banyak pahala. Namun sebaliknya,
lidah juga bisa mengakibatkan dosa dan menyeret seseorang ke neraka,
jika tidak dimanfaatkan untuk kebaikan. Kesadaran seseorang terhadap
fungsi dan bahaya lisan ini akan mendorong dirinya untuk menjaga lidah,
tidak berbicara kecuali yang bermanfaat.
Berikut khotib nukilkan beberapa bencana yang dapat ditimbulkan oleh
lidah. Dengan harapan agar kita menjauhinya setelah kita memahaminya.
Karena kita tidak akan bisa menghindarinya kalau kita belum mengetahui
berbagai bencana ini. Di antara bencana-bencana itu adalah :
Pertama: Membicarakan Sesuatu Yang Tidak Bermanfaat.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
إِنَّ مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكَهُ مَا لَا يَعْنِيهِ
“Sesungguhnya di antara kebaikan Islam seseorang adalah dia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi).
Ibadallah,
Sesuatu yang tidak bermanfaat itu, bisa berupa perkataan atau
perbuatan; perkara yang haram, atau makruh, atau perkara mubah yang
tidak bermanfaat. Oleh karena itu, supaya terhindar dari bahaya lisan
yang pertama ini, hendaklah seseorang selalu sesuatu yang mengandung
kebaikan. Jika tidak bisa, hendaknya diam. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia
mengucapkan sesuatu yang baik atau diam. (HR. Bukhari dan Muslim).
Walaupun ini berat, namun seyogyanya seorang hamba yang ingin selamat
di akhirat agar selalu berusaha untuk melakukannya. Diriwayatkan bahwa
Muwarriq al-‘Ijli rahimahullah berkata, “Ada satu perkara yang
aku sudah mencarinya semenjak duapuluh tahun lalu. Aku belum berhasil
meraihnya. Namun aku tidak akan berhenti mencarinya”. Orang-orang
bertanya, “Apa itu wahai Abu Mu’tamir?” Dia menjawab, “Diam (tidak
membicarakan-red) dari sesuatu yang tidak bermanfaat bagiku”.
Kedua: Berdebat Dengan Cara Batil Atau Tanpa Ilmu.
Nabi ﷺ bersabda,
إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ
“Sesungguhnya orang yang paling dimurkai oleh Allah adalah orang yang selalu mendebat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mendebat dalam hadits ini maksudnya adalah mendebat dengan cara batil
atau tanpa ilmu. Sedangkan orang yang berada di pihak yang benar,
sebaiknya dia juga menghindari perdebatan. Karena debat itu akan
membangkitkan emosi, mengobarkan kemurkaan, menyebabkan dendam, dan
mencela orang lain. Nabi ﷺ bersabda,
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ
وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ
الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ
حَسَّنَ خُلُقَهُ
“Saya memberikan jaminan rumah di pinggiran surga bagi orang yang
meningalkan perdebatan walaupun dia orang yang benar. Saya memberikan
jaminan rumah di tengah surga bagi orang yang meningalkan kedustaan
walaupun dia bercanda. Saya memberikan jaminan rumah di surga yang
tinggi bagi orang yang membaguskan akhlaqnya. (HR. Abu Dawud).
Mengingkari kemungkaran dan menjelaskan kebenaran merupakan kewajiban
seorang Muslim. Jika penjelasan itu diterima, itulah yang dikehendaki.
Namun jika ditolak, maka hendaklah dia meninggalkan perdebatan. Ini
dalam masalah agama, apalagi dalam urusan dunia, maka tidak ada alasan
untuk berdebat.
Ketiga: Banyak Berbicara, Suka Mengganggu Dan Sombong
Masalah-masalah ini dijelaskan oleh Nabi ﷺdengan sabda beliau ﷺ :
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ
وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ
وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا
الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ الْمُتَكَبِّرُونَ
“Sesungguhnya termasuk orang yang paling kucintai di antara kamu dan
paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah
orang-orang yang paling baik akhlaqnya di antara kamu. Dan sesungguhnya
orang yang paling kubenci di antara kamu dan paling jauh tempat duduknya
denganku pada hari kiamat adalah ats-tsartsarun, al-mutasyaddiqun, dan
al-mutafaihiqun. Para sahabat berkata: “Wahai Rsulullah, kami telah
mengetahui al-tsartsarun dan al-mutasyaddiqun, tetapi apakah
al-mutafaihiqun? Beliau menjawab: “Orang-orang yang sombong”. (HR
Tirmidzi dan Ahmad).
Setelah meriwayatkan hadits ini, imam Tirmidzi rahimahullah
mengatakan, ”ats-Tsartsar adalah orang yang banyak bicara, sedangkan
al-mutasyaddiq adalah orang yang biasa mengganggu orang lain dengan
perkataan dan berbicara jorok kepada mereka”.
Imam Ibnul Atsir rahimahullah menjelaskan: “ats-Tsartsarun
adalah orang-orang yang banyak bicara dengan memaksakan diri dan keluar
dari kebenaran. al-Mutasyaddiqun adalah orang-orang yang berbicara
panjang lebar tanpa hati-hati. Ada juga yang mengatakan, al-mutasyaddiq
adalah orang yang mengolok-olok orang lain dengan mencibirkan bibir
kearah mereka”.
Imam al-Mundziri rahimahullah mengatakan: “ats-Tsartsar
adalah orang yang banyak bicara dengan memaksakan diri. al-Mutasyaddiq
adalah orang yang berbicara dengan seluruh bibirnya untuk menunjukkan
kefasihan dan keagungan perkataannya. al-Mutafaihiq hampir semakna
dengan al-mutasyaddiq. karena maknanya adalah orang yang memenuhi
mulutnya dengan perkataan dan berbicara panjang lebar untuk menunjukkan
kefasihannya, keutamaannya, dan merasa lebih tinggi dari orang lain.
Oleh karena inilah, Nabi ﷺ menafsirkan al-mutafaihiq dengan orang yang
sombong.
Tetapi tidak termasuk sajak yang dibenci, lafazh-lafazh yang
disampaikan khatib, kalimat indah untuk memberi peringatan, asal tidak
berlebihan dan aneh. Karena tujuannya adalah untuk membangkitkan hati
dan menggerakkannya menuju kebaikan, kalimat yang indah, dan semacamnya.
Ibadallah,
Keempat: Mengucapkan Perkataan Keji, Jorok, Celaan, Dan Semacamnya.
Semua hal ini tercela dan terlarang. Nabi ﷺ bersabda,
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ
“Seorang mukmin bukanlah orang yang banyak mencela, bukan orang yang
banyak melaknat, bukan orang yang keji (buruk akhlaqnya), dan bukan
orang yang jorok omongannya.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan lain-lain).
Keji dan jorok adalah mengungkapkan perkara-perkara yang dianggap
tabu dengan kata-kata gamblang. Biasanya tentang lafazh-lafazh jima’ dan
yang berkaitan dengannya. Orang-orang yang sopan akan menjauhi
ungkapan-ungkapan itu dan mengunakan kata-kata sindiran, sebagaimana
dicontohkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya ﷺ.
Betapa banyak perkataan keji dan jorok tersebar di zaman ini, di
koran-koran, majalah-majalah, buku-buku, novel-novel, radio, HP, atau
lainnya. Bahkan ada perkara yang lebih buruk dan lebih keji dari sekedar
ucapan !! Namun yang bisa merasakan keburukannya adalah orang-orang
yang hatinya masih hidup. Sedangkan orang yang hatinya sakit atau mati,
maka dia tidak akan merasakan keburukannya, bahkan mungkin sebaliknya,
dia akan merasa nikmat. Sebagaimana luka yang hanya dirasakan oleh orang
yang masih hidup, sedangkan orang yang mati, dia tidak akan merasakan
sakit akibat luka. Wallahul Musta’an.
Kelima: Keterlaluan Dalam Bercanda.
Yaitu semua waktunya digunakan untuk bercanda dan membuat orang
tertawa. Sesungguhnya banyak canda akan menjatuhkan wibawa, menyebabkan
dendam dan permusuhan, serta mematikan hati. Nabi ﷺ bersabda,
لَا تُكْثِرُوا الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ
“Janganlah kamu memperbanyak tawa, karena sesungguhnya banyak tertawa itu akan mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah).
Apalagi jika banyak bercanda ini ditambahi dusta, maka jelas akan lebih berbahaya. Nabi ﷺ memperingatkan dengan sabda beliau ﷺ,
وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِالْحَدِيثِ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ فَيَكْذِبُ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Kecelakaan bagi orang yang menceritakan suatu, lalu dia berdusta
untuk membuat orang-orang tertawa. Kecelakaan baginya ! Kecelakaan
baginya !.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud).
Ibadallah,
Di zaman dahulu, bercanda dan membuat tertawa itu hanyalah dilakukan
oleh pribadi-pribadi tertentu. Namun sekarang, grup lawak bermunculan
seperti jamur di musim hujan, diperlombakan, dan dipertontonkan serta
dibayar dengan honor tinggi. Setan telah menjerat banyak orang dalam
kesesatan dan memanfaatkan mereka sebagai perangkap. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla menjaga kita dari segala jebakan setan.
Namun jika canda itu dilakukan kadang-kadang dan dengan perkataan
yang benar serta dilakukan kepada orang-orang yang membutuhkannya,
seperti anak-anak, wanita, sebagian orang laki-laki, sebagaimana canda
Nabi ﷺ, maka hal itu tidak mengapa. Karena canda akan menyenangkan hati
dan menyegarkan suasana. Sebagian ulama menyatakan bahwa canda dalam
perkataan itu seperti garam dalam makanan.
بارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي
وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ،
وَنَفَعْنَا بِهَدْيِ سَيِّدِ المُرْسَلِيْنَ وَقَوْلُهُ القَوِيْمُ.
أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ
وَلِلْمُسْلِمِيْنَ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ
الرَحِيْمُ.
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الأَرْضِ وَالسَّمَاوَاتِ، لَهُ الْحَمْدُ أَمَرَ
بِالفْضَائِلِ وَالصَّالِحَاتِ، وَنَهَى عَنِ الْبَغْيِ وَالعُدْوَانِ
وَالرَّذَائِلِ وَالْمُنْكَرَاتِ، أَحْمَدُ رَبِّي عَلَى نِعَمِهِ
الظَاهِرَاتِ وَالْبَاطِنَةِ الَّتِي أَسْبَغَهَا عَلَيْنَا وَعَلَى
المَخْلُقَاتِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا
شَرِيْكَ لَهُ إِلَهُ الأَوَّلِيْنَ وَالآخِرِيْنَ لَا يَخْفَى عَلَيْهِ
شَيْءٌ مِنَ الأَقْوَالِ وَالأَفْعَالِ وَالإِرَدَاتِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ
نَبِيَّنَا وَسَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ بَعَثَ اللهُ
بِالْبَيِّنَاتِ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى عَبْدِكَ
وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ السَّابِقِيْنَ إِلَى
الخَيْرَاتِ.
أَمَّا بَعْدُ:
فَاتَّقُوْا اللهَ –عَزَّوَجَلَّ- وَأَطِيْعُوْهُ، وَكُوْنُوْا دَائِمًا
عَلَى حَذْرٍ وَخَوْفٍ مِنَ المَعَاصِي، فَإِنَّ بَطْشَ اللهُ شَدِيْدٌ.
Ibadallah,
Keenam: Membicarakan Suatu Yang Bathil.
Maksudnya adalah menceritakan perbuatan-perbuatan maksiatnya, seperti
berbangga dengan perbuatan bermabuk-mabukan atau kemungkaran yang lain.
Nabi ﷺ bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنْ
الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ
يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ
الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ
يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Semua umatku mu’afan (akan diampuni dosanya; atau tidak boleh
dighibah) kecuali orang-orang yang melakukan dosa dengan
terang-terangan. Dan termasuk melakukan dosa dengan terang-terangan
adalah seseorang melakukan suatu perbuatan buruk pada malam hari,
kemudian di waktu pagi dia mengatakan, ”Hai Fulan, tadi malam aku
melakukan ini dan ini”. Padahal di waktu malam Allah ‘Azza wa Jalla telah menutupi perbuatan buruknya, namun di waktu pagi dia membongkar tutupan Allah. (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itulah, barangsiapa yang telah bertaubat dari perbuatan
dosa, hendaklah dia menutupi aib dirinya, tidak perlu bercerita kepada
orang lain.
Ketujuh: Perkataan Yang Salah Berkaitan Dengan Masalah Agama, Apalagi Jika Berkaitan Dengan Sifat-Sifat Allah ‘Azza wa Jalla.
Kesalahan lisan yang satu ini, tentu susah diatasi kecuali oleh para
ahli ilmu dan ahli bahasa. Orang yang malas atau tidak
bersungguh-sungguh menuntut ilmu dan bahasa, maka perkataannya tidak
lepas dari ketergelinciran. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla
mema’afkan kesalahan akibat ketidaktahuan. Diantara contoh perkataan
yang salah berkaitan dengan masalah agama yaitu perkataan ‘Apa yang
Allah dan engkau kehendaki’. Dalam hadits dijelaskan :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ سَمِعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رَجُلًا يَقُولُ مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ فَقَالَ بَلْ مَا
شَاءَ اللَّهُ وَحْدَهُ
Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Rasulullah ﷺ mendengar seorang
laki-laki berkata: “Ma sya’allah wa syi’ta” (apa yang Allah dan engkau
kehendaki), maka beliau bersabda : “Bukan begitu, tetapi (katakanlah) :
“Ma sya-Allah wahdah” (apa yang dikehendaki oleh Allah semata)”. (HR.
Ahmad).
Hikmah larangan ucapan “Ma sya-Allah wa syi’ta” (apa yang Allah dan
engkau kehendaki), dan semacamnya adalah karena ucapan itu merupakan
bentuk menyekutukan kehendak Allah. Karena kata sambung “dan” bermakna
mengumpulkan, menyamakan dan menyekutukan. Yang benar, dalam
menggabungkan kehendak hamba dengan kehendak Allah ialah dengan
menggunakan kata “kemudian”. Karena kata “kemudian” mengandung makna
urutan (berikutnya) dan ada selang waktu. Hal ini karena kehendak Allah ‘Azza wa Jalla mendahului kehendak hamba. Maka tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi kecuali yang dikehendaki oleh Allah ‘Azza wa Jalla .
Semua yang Allah ‘Azza wa Jalla kehendaki maka pasti terjadi, dan yang tidak Dia kehendaki tidak akan pernah terjadi.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani menjelaskan: “Dalam
hadits-hadits ini terdapat dalil bahwa ucapan seseorang kepada yang lain
“ma sya-Allah wa syi’ta” (apa yang Allah dan engkau kehendaki) dinilai
syirik dalam syariat. Dan ini termasuk syirik dalam kata-kata. Karena
memberikan kesan bahwa kehendak hamba sederajat dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala
. Sebabnya adalah karena menggabungkan dua kehendak tersebut. Contoh
yang lain adalah perkataan sebagian orang-orang awam dan orang-orang
seperti mereka yang mengaku berilmu : “Tidak ada bagiku selain Allah dan
anda”, “Kami bertawakkal kepada Allah dan kepada anda”. Dan seperti
perkataan sebagian para penceramah: “Dengan nama Allah dan dengan nama
tanah air”, atau “Dengan nama Allah dan dengan nama bangsa”, dan
kata-kata syirik yang sejenisnya wajib ditinggalkan dan bertaubat, dalam
rangka beradab kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala“.
Selain yang telah disebutkan diatas, sesungguhnya bencana-bencana
lidah masih banyak, seperti ghibah, namimah, dusta, dan lain sebagainya.
Namun sedikit yang kami sampaikan ini mudah-mudahan sebagai pemacu bagi
kita semua untuk selalu menjaga lidah kita dari keburukan dan selalu
menghiasinya dengan kebaikan. Al-hamdulillahi Rabbil ‘Alamiin.
وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا – رَعَاكُمُ اللهُ – عَلَى مُحَمَّدِ ابْنِ عَبْدِ
اللهِ كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فَقَالَ: ﴿ إِنَّ اللَّهَ
وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً ﴾ [الأحزاب:٥٦] ، وقال
صلى الله عليه وسلم : ((مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ عَشْرًا)) .
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ
عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ،
وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى
إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَلْأَئِمَّةِ
المَهْدِيِيْنَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وَارْضَ
اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ
تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ، وَعَنَّا مَعَهُمْ
بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِرْكَ
وَالمُشْرِكِيْنَ، اَللَّهُمَّ وَآمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ
أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَ أَمْرِنَا
لِهُدَاكَ وَاجْعَلْ عَمَلَهُ فِي رِضَاكَ.
اَللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا، زَكِّهَا أَنْتَ خَيْرَ مَنْ
زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا، اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا
وَلِوَالِدَيْنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ
وَالمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ. رَبَّنَا آتِنَا
فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِيْ الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ: اُذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلَى
نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ
مَا تَصْنَعُونَ .
Diadaptasi dari tulisan Ustadz Abu Ismail Muslim al-Atsari di majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XII/Shafar 1430/2009M