Berpuasa / berbuka?


Jika orang yang sakit dan musafir tidak mendapatkan kesulitan dalam berpuasa, maka berpuasa lebih utama, sedangkan jika mereka menemukan kesulitan dalam berpuasa, maka berbuka lebih utama.

Telah diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dia berkata: “Kami pergi berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di saat bulan Ramadhan, di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang berbuka. Mereka yang berpuasa tidak mencela yang berbuka, begitu pula sebaliknya yang berbuka tidak mencela yang berpuasa. Mereka berpandangan, bagi orang yang memiliki kekuatan, berpuasa untuknya lebih baik. Dan bagi yang merasa lemah, maka berbuka adalah lebih baik.” [Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 574)], Shahiih Muslim (II/787, no. 1116 (96)), Sunan at-Tirmidzi (II/108, no. 708).]

Adapun tentang tidak wajibnya berpuasa atas wanita yang sedang haidh dan nifas, maka berdasarkan hadits Abu Sa’id Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا.
“Bukankah mereka (para wanita) jika sedang haidh mereka tidak shalat dan tidak berpuasa? Itulah kekurangan mereka dari segi agama.” [Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 951], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/191, no. 1951).]

Jika wanita yang haidh dan nifas tetap berpuasa, maka puasanya itu tidak mencukupi mereka (tidak sah puasanya), karena salah satu syarat puasa adalah suci dari haidh dan nifas, dan wajib bagi mereka untuk mengqadha’ puasa tersebut.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Dahulu di saat kami sedang haidh di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.” [Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 630)], Shahiih Muslim (I/265, no. 335), Sunan Abi Dawud (I/444, no. 209, 260), Sunan at-Tirmidzi (II/141, no. 784), Sunan an-Nasa-i (IV/191).]