Kisah Ibnu Battutah

  • Kisah Ibnu Battutah
  • Biografi Ibnu Battutah

    Penjelajah Muslim

  • Ibnu Battutah Sang Penjelajah

    Sang Penjelajah Yang Belum Tertandingi di Dunia

  • Perjalanan Ke Nusantara

    Menguak Catatan Ibnu Batutah tentang Nusantara

  • Ibnu Battuta Petualang Hebat

    Penjelajah Muslim dengan Petualangan Hebat Sepanjang Masa

  • Jauh Perjalanan Ibnu Battutah

    Penjelajah Muslim yang Mengitari Bumi 3 Kali

  • Sang Penemu Benua Amerika

    Ibnu Battutah sang Penemu Benua Amerika

  • Petualang Legendaris

    Ibnu Batutah Petualang Legendaris asal Maroko

  • Hikmah, Kisah & Khazanah

    Hikmah, Kisah & Khazanah Dari Perjalanan Ibnu Battutah

Scroll Stop Menu

Biografi Ibnu Battuta

Penjelajah Muslim


Profil dan Biografi Ibnu Battuta. Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim al-Lawati atau Shams ad – Din atau lebih dikenal orang dengan nama Ibnu Battuta lahir pada 24 Februari 1304 M (723 H) di Tangier Maroko. Ibnu Battuta dikenal karena petualangannya mengelilingi dunia. Hampir 120.000 kilometer telah ditempuhnya selama rentang waktu 1325-1354 M atau tiga kali lebih panjang dari jarak yang telah ditempuh oleh Marco Polo. Seluruh catatan perjalanan dan pengalaman Ibnu Battuta selama pengembaraan ditulis ulang oleh Ibnu Jauzi seorang penyair dan penulis buku kesultanan Maroko.

Ibnu Jauzi menuliskannya berdasarkan paparan lisan yang didiktekan langsung oleh Ibnu Battuta. Penulisan buku ini diprakarsai oleh Sultan Maroko saat itu, Abu Inan. Buku ini disusun selama dua tahun dan diberi judul “Tuhfat al-Nuzzar fi Ghara’ib al-Amsar wa-’Aja’ib al-Asfar” atau lebih dikenal dengan “Rihla Ibnu Battuta”.

Pada usia sekitar dua puluh tahun, Tujuan awal perjalanan Ibnu Battuta adalah menunaikan ibadah haji pada tahun 1325 M, tetapi tujuan awalnya itu telah membawanya menuju penjelajahan 30 tahun yang gemilang. Perjalanan awal Ibnu Battuta di mulai dari Tangier menuju Mekkah. Untuk Menghindari berbagai resiko buruk seperti diserang perampok, selama perjalanan Ibnu Battuta bergabung dengan kafilah yang akan menuju Mesir. Bersama Kafilah itu, Ibnu Battuta dengan menyusuri hutan, bukit dan pegunungan bergerak menuju Tlemcen, Bejaia lalu kemudian tiba di Tunisia dan tinggal di sana selama dua bulan.

Dari Tunisia, Ibnu Battuta dan rombongan kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Libya. Sejak meninggalkan Tangier hingga Libya Ibnu Battuta telah menempuh perjalanan darat sejauh hampir 3.500 km melintasi Afrika Utara. Delapan bulan sebelum musim ibadah haji dimulai Ibnu Battuta memutuskan untuk mengunjungi Kairo. Pada tahun 1326 M, Ibnu Battuta dan rombongannya tiba di Pelabuhan Alexandria di ujung barat delta sungai Nil. Ibnu Battuta sangat terkesan melihat pelabuhan Alexandria dan menurutnya Alexandria adalah satu dari lima tempat paling menakjubkan yang pernah dia kunjungi. Saat itu Alexandria merupakan pelabuhan yang sangat sibuk dengan berbagai aktifitas dan berada di bawah kendali Kerajaan Mamluk.

Setelah beberapa pekan di Alexandria lalu Ibnu Battuta singgah di Kairo beberapa saat dan langsung melanjutkan perjalanannya ke Damaskus dengan pengawasan ketat dari Kerajaan Mamluk. Di Damaskus Ibnu Battuta menghabiskan bulan Ramadhan dan menggunakan waktunya untuk belajar, bertemu dengan beberapa guru, orang-orang terpelajar dan para hakim setempat. Selama 24 hari di Damaskus, kemudian Ibnu Battuta melanjutkan perjalanannya ke Mekkah melalui Jalur Suriah. Sepanjang jalur itu Ibnu Battuta banyak mengunjungi tempat-tempat suci. Al-Khalil (Hebron), Al-Quds (Jerusalem), Bethlehem adalah beberapa tempat yang dikunjunginya. Selama seminggu di Jerusalem, Ibnu Battuta mengunjungi Masjid Al-Aqsa dan Kubah Batu.

Menjelang musim haji dimulai dan setelah bulan ramadhan selesai, Ibnu Battuta meninggalkan Damaskus dan bergabung kembali dengan rombongan haji lainnya untuk melanjutkan perjalanannya ke Madinah. Di bawah pengawasan Kerajaan Mamluk yang menjamin keamanan para jemaah haji, maka Ibnu Battuta dan rombongannya dapat tiba di Madinah dengan selamat. Setibanya di Madinah Ibnu Battuta tinggal selama empat hari lalu bergegas menuju Mekkah untuk melaksanakan ibadah hajinya. Setelah menyempurnakan ritual hajinya, Ibnu Battuta tidak pulang ke Tangier tetapi dia memutuskan untuk melanjutkan pengembaraannya ke Irak dan Iran.

Setelah pengembaraannya dari Irak dan iran, Ibnu Battuta kembali lagi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah Hajinya yang kedua. Garis besar perjalanan Ibnu Battuta berawal dari Maroko menuju Aljazair, Tunisia, Mesir, Palestina, Suriah dan tiba di Mekkah. Setelah mengembara ke Irak, Shiraz dan Mesopotamia Ibnu Battuta melaksanakan ibadah haji yang kedua dan tinggal di Mekkah selama tiga tahun. Kemudian dia pergi ke Jeddah dan melanjutkan perjalanan ke Yaman melalui jalur laut kemudian singgah di Aden dan meneruskan perjalanannya ke Mombasa Afrika Timur.

Pada tahun 1332 setelah dari Kulwa, Ibnu Battuta pergi ke Oman melalui Selat Hormuz, Siraf, Bahrain dan Yamama untuk kembali melaksanakan ibadah haji di Mekkah. Setelah itu Ibnu Battuta memutuskan untuk pergi ke India melalui Jeddah, namun dia berubah pikiran dan memutuskan untuk kembali mengunjungi Kairo, Palestina dan Suriah.Setibanya di sana, Ibnu Battuta melanjutkan kembali perjalanannya ke Asia Kecil (Aleya) melalui jalur laut menuju Anatolia dan meneruskan petualangannya dengan melintasi laut hitam.

Setelah beberapa lama dan berada dalam perjalanan yang penuh bahaya, akhirnya Ibnu Battuta tiba di Turki melalui Selatan Ukraina. Ibnu Battuta kemudian meneruskan penjelajahannya ke Khurasan dan mengunjungi kota-kota penting seperti Bukhara, Balkh, Herat dan Nishapur. Ibnu Battuta melintasi pegunungan Hindukush untuk tiba di Afghanistan untuk selanjutnya masuk ke India melalui Ghani dan Kabul.

Dia terus menyusuri Lahri (dekat Karachi Pakistan), Sukkur, Multan, Sirsa dan Hansi akhirnya Ibnu Battuta tiba di Delhi. Selama beberapa tahun di sana Ibnu Battuta disambut keramahan Sultan Mohammad Tughlaq. Setlah kunjungannya di Delhi Ibnu Battuta kembali meneruskan perjalanannya melewati India Tengah dan Malwa kemudian dia menggunakan kapal dari Kambay menuju Goa.

Setelah mengunjungi banyak tempat sebelumnya, kemudian Ibnu Battuta tiba di Pulau Maladewa melalui jalur Pantai Malabar dan selanjutnya terus menyeberang ke Srilanka. Ibnu Battuta masih terus melanjutkan penjelajahannya hingga mendarat di Coromandal dan kembali lagi ke Maladewa hingga akhirnya dia berlabuh di Bengal dan mengunjungi Kamrup, Sylhet dan Sonargaon dekat Dhaka.

Ibnu Battuta berlayar sepanjang Pantai Arakan dan kemudian Ibnu Battuta tiba di Aceh, Indonesia. tepatnya di Samudera Pasai. Di sana Ibnu Battuta tinggal selama 15 hari dan berjumpa dengan Sultan Mahmud Malik Zahir. Setelah kunjungannya di Aceh Ibnu Battuta lalu meneruskan perjalannya ke Kanton lewat jalur Malaysia dan Kamboja.

Setibanya di Cina, Ibnu Battuta terus berpetualang ke Peking melalui Hangchow. Setelahnya Ibnu Battuta kemudian kembali ke Calicut dan dengan menggunakan kapal dia tiba di Dhafari dan Muscat untuk meneruskan perjalanan kembali ke Iran, Iraq, Suriah, Palestina dan Mesir lalu kembali beribadah haji untuk yang ketujuh kalinya di Mekkah pada November 1348 M. Setelah ibadah haji terakhirnya itu Ibnu Battuta pulang ke kampung halamannya, Fez. Namun, perjalanannya tidak berhenti sampai di sana, setelah pulang ke Fez, Ibnu Battuta kembali mengembara ke negeri muslim lainnya seperti Spanyol dan Nigeria melintasi gurun sahara.

Tahun 1369 pada usia 65 tahun Ibnu Battuta meninggal dunia.12 tahun setelah dia selesai menulis "rihlah". Ibnu Battuta meninggalkan warisan berharga bagi dunia berupa catatan perjalannya yang akan selalu dikenang oleh umat manusia.


Scroll Stop Menu

Ibnu Battuta Sang Penjelajah

Sang Penjelajah Yang Belum Tertandingi di Dunia


Traveler terkenal biasanya merujuk kepada Marcopolo, Columbus ataupun James Cook. Ternyata, perjalanan Marcopolo belum ada apa-apanya dengan traveler Muslim satu ini, beliau adalah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim at-Tanji dan bergelar Syamsudin bin Batutah atau lebih dikenal sebagai Ibnu Batutah.

Ia bukan wartawan National Geographic, bukan pula pesohor-pelancong instagram, atau penulis buku-buku semacam “Panduan Hemat Berkunjung ke Skandinavia”.

Ia hanya seorang terpelajar yang penasaran melihat dunia dan mencatatnya dengan mengandalkan ingatan yang baik. Meskipun sedikit diketahui di luar dunia Islam, Batutah menghabiskan separuh hidupnya untuk berjalan melintasi dunia. Dan berikut saya sudah rangkum fakta-fakta menakjubkan dari perjalanan Ibnu Batutah dari seluruh dunia!


1. Beliau Sudah Mendatangi 44 Negara Modern di Abad Pertengahan

Lahir di Tangier, Maroko antara tahun 1304 dan 1307, pada usia sekitar dua puluh tahun Ibnu Batutah berangkat haji dan ziarah ke Mekah. Itu merupakan perjalanannya yang pertama kali.

Ibnu Batutah telah menempuh lebih dari seratus tujuh puluh lima mil atau 120.000 kilometer, sekitar 44 negara modern. Saat itu, ia masih sangat muda dan berusia 21 tahun.

Hobinya mengunjungi banyak negara di dunia tidak lain hanyalah untuk saling mengenal manusia dengan berbagai latar belakang dan budaya. Perjalanannya meliputi kota-kota besar di Afrika Utara, Iskandariyah, Dimyath, Kairo, Aswan di Mesir, Palestina, Syam, Mekah, Madinah, Najaf, Basrah, Syiraz di Iran. Moshul, Diyarbakr, Kufah, Bagdad, Jeddah, Yaman, Oman, Hormuz dan Bahrain.

Kemudian di bawah kendali Turki Saljuk, ia bergabung dengan sebuah rombongan menuju India. Pelayaran laut dari Damaskus mendaratkannya di Alanya di pantai selatan Turki sekarang. Dari sini ia berkelana ke Konya dan Sinope di pantai Laut Hitam. Setelah menyeberangi Laut Hitam, ia tiba di Kaffa, di Crimea dan memasuki tanah Golden Horde. Dari sana ia membeli kereta dan bergabung dengan rombongan Ozbeg, Khan dari Golden Horde, dalam suatu perjalanan menuju Astrakhan di Sungai Volga.


2. Ibnu Batutah Merupakan Ahli Hukum dan Sarjana

Ibnu Batutah sempat ditunjuk sebagai hakim di Turki, India dan Maladewa. Jauh sebelum generasi milenial merayakan trilogi kerja, senang-senang, dan ibadah, Ibnu Batutah sudah memulainya enam abad silam, sebagaimana kebanyakan penjelajah.

Sebelum menjelajahi sepertiga isi dunia, perjalanan Batutah muda berawal dari Tangier ke Mekah pada Juni 1325—yang dilakukannya dengan menunggang keledai. Ia baru pulang kampung 24 tahun kemudian.

Namun, kedudukan sosial Batutah sebagai ahli hukum dan sarjana yang merupakan profesi turun-temurun dalam keluarganya nampaknya memainkan peran penting di sini. Tak semua semua orang punya privilese tersebut untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya.

Dalam dunia Islam pada masa itu, menimba ilmu artinya berburu pustaka dari satu perpustakaan di Iskandariyyah ke perpustakaan lain di Persia. Sepanjang perjalanan, Batutah sempat menghadiri kuliah di sejumlah kota yang dikunjunginya, termasuk melawat ke pondok dan makam-makam sufi.


3. Misi Perjalanannya Adalah Memperdalam Ilmu Agama

Waktu yang dibutuhkan untuk menempuh perjalanannya ke 44 negara adalah 30 tahun. Selama itu, Ibnu Batutah tidak pulang ke Maroko sehingga saat anak dan ayahnya meninggal dia tidak tahu.

Namun, meski menyisakan duka yang mendalam, ia tetap meneruskan hobinya. Perjalanan yang dilakukan oleh Ibnu Batutah memberikan banyak sekali pengalaman yang tidak bisa dibeli dengan uang sebanyak apa pun.

Selama 30 tahun melakukan perjalanan, Ibnu banyak melakukan siar agama Islam. Di negara-negara yang penduduknya masih belum beragama Islam, dia melakukan perdagangan atau kerja sama di bidang lain dengan memasukkan unsur Islam meski tidak secara langsung. Ibnu Batutah ingin apa yang dia miliki dipelajari oleh kawasan yang disinggahi dan dia ingin mempelajari juga budaya di daerah tersebut yang sesuai dengan keyakinannya.


4. Pernah Singgah Ke Nusantara

Pada abad ke-14 Ibnu Batutah berlayar sepanjang pantai Arakan dan kemudian tiba di Aceh, tepatnya di Samudera Pasai. Setelah kunjungannya di Aceh, ia meneruskan perjalanan ke Kanton lewat jalur Malaysia dan Kamboja. Dalam kunjungannya ke Aceh, Batutah menulis Sumatra dengan nama Jawa. Karena saat itu yang terkenal di kalangan saudagar dunia adalah menyan jawi.

Namun, yang dimaksud Batutah adalah Sumatera. Pulau di mana Pasai berada. Dalam catatan itu, Ibnu Batutah sampai di pesisir Pasai setelah menempuh perjalanan laut selama 25 hari dari India.

“Pulau itu hijau dan subur”, dia menulis tanaman yang banyak tumbuh di Pasai adalah pohon kelapa, pinang, cengkeh, gaharu India, pohon nangka, mangga, jambu, jeruk manis, dan tebu. Batutah juga menulis tumbuhan aromatik yang terkenal di penjuru dunia hanya tumbuh di daerah ini –dulu memang terdapat komoditas tumbuhan aromatik yang dihasilkan di daerah Barus.


5. Catatan Perjalanannya Berjudul Rihlah

Sultan Maroko saat itu bernama Sultan Fez memerintahkan juru tulis bernama Ibnu Juzai untuk menulis kisahnya. Ibnu Batutah diminta menceritakan apa yang dilakukan selama penjelajahan untuk dibuatkan laporan penjelajahan yang komplit. Banyak kisah menarik yang diceritakan dalam buku catatan perjalanan Ibnu Bathuthah ini, terutama cerita-cerita tentang para sultan, para syaikh, sejarah sebuah negeri, falsafah kehidupan masyarakat setempat dan lain sebagainya yang ia tulis berdasarkan pengamatan langsung dari negeri-negeri yang ia kunjungi.

Dari India sampai negeri Cina, dari Afrika sampai Nusantara, Ibnu Bathuthah menceritakan perjalanannya secara apik dan mengesankan. Ia misalnya, menceritakan kunjungannya bertemu dengan Sultan Jawa (Sultan Nusantara) dari Kerajaan Samudera Pasai, Sultan Malik Az-Zhahir.

Ibnu Bathuthah sendiri menyebut hasil karyanya ini sebagai persembahan seorang pengamat tentang kota-kota asing dalam perjalanan yang menakjubkan, yang ia tuangkan dalam sebuah catatan perjalanan. Ibnu Bathuthah berhasil merangkai sebuah catatan perjalanan sebagai karya sejarah bermutu tinggi, yang bisa dijadikan rujukan bagi mereka yang ingin mengetahui sejarah sebuah bangsa dan peradaban manusia.

Nah, inilah kisah Ibnu Batutah yang dikenal sebagai penjelajah Muslim terhebat di dunia. Beliau datang tidak menjajah seperti penjelajah Eropa, namun hanya sekedar memperdalam ilmu agama.


Scroll Stop Menu

Perjalanan Ke Nusantara

Menguak Catatan Ibnu Batutah tentang Nusantara


Ibnu Batutah merupakan penjelajah dunia yang pernah singgah ke Nusantara. Pada abad ke-14, pria Maroko itu mampir ke Pasai, kesultanan di wilayah utara Sumatra yang telah memeluk Islam.

Ibnu Batutah merupakan penjelajah dunia yang pernah singgah ke Nusantara. Pada abad ke-14, pria Maroko itu mampir ke Pasai, kesultanan di wilayah utara Sumatra yang telah memeluk Islam. Batutah pun membuat catatan bagaimana kehidupan di negeri tersebut.

Buku The Indonesia Reader, History, Culture, Politics, -dengan editor Tineke Hellwig dan Eric Tagliacozzo– menulis bahwa Ibnu Batutah melaporkan kehidupan masyarakat Muslim di utara Sumatera itu dalam catatan hariannya.

Batutah menulis Sumatra dengan nama Jawa. Karena saat itu yang terkenal di kalangan saudagar dunia adalah menyan jawi. Namun yang dimaksud Batutah adalah Sumatera. Pulau di mana Pasai berada.

Dalam catatan itu, Ibnu Batutah sampai di pesisir Pasai setelah menempuh perjalanan laut selama 25 hari dari India. “ Pulau itu hijau dan subur,” tulis Batutah sebagaimana dikutip Dream dari buku The Indonesia Reader, History, Culture, Politics, Selasa 18 November 2014.

Dia menulis tanaman yang banyak tumbuh di Pasai adalah pohon kelapa, pinang, cengkeh, gaharu India, pohon nangka, mangga, jambu, jeruk manis, dan tebu. Batutah juga menulis tumbuhan aromatik yang terkenal di penjuru dunia hanya tumbuh di daerah ini –dulu memang terdapat komoditas tumbuhan aromatik yang dihasilkan di daerah Barus.

Saat sampai di pelabuhan, masyarakat setempat menyambut Batutah dan rombongan dengan ramah. Rakyat di sana datang dengan membawa kelapa pisang, mangga, dan ikan, untuk ditukarkan dengan barang lain yang dibawa pedagang yang singgah.

Menurut Batutah, perwakilan dari panglima kesultanan juga mendatangi rombongannya. Pejabat itu menanyakan maksud kedatangan mereka. Setelah itu, rombongan Ibnu Batutah diizinkan mendarat di pantai. “ Lantas kami menuju ke daratan ke pelabuhan, sebuah kampung besar di pantai dengan sejumlah rumah, yang disebut Sarha.” Menurut catatan Batutah, perkampungan itu berjarak sekitar empat mil dari kota raja.

Batutah juga mencatat bahwa Sultan Pasai, al-Malik az-Zahir, sangat ramah. Rombongan itu diterima dengan tangan terbuka. Bahkan, sang sultan meminjamkan salah satu kudanya dan kuda lainnya untuk rombongan Batutah yang singgah itu. “ Saya dan teman-teman saya berkuda, dan kami menunggang kuda ke kota raja, kota Sumatra, sebuah kota yang besar dan indah dilengkapi dengan dinding kayu dan menara kayu.”

Dalam catatan itu, Batutah juga terkesan dengan keyakinan Sultan al-Malik az-Zahir. Selain terbuka, Sultan juga pecinta teologi. Sultan merupakan penganut Islam yang taat dan memerangi segala perompakan. Sultan juga memberikan perlindungan kepada kaum non-muslim yang membayar pajak kepada kesultanan.

Selain tegas, Sultan al-Malik juga digambarkan sebagai orang yang rendah hati, “ yang berjalan kaki saat menuju tempat salat Jumat.” Saat menuju istana, Batutah melihat sejumlah tombak tertancap di kanan-kiri jalan, di dekat gerbang. Itu tandanya, siapapun tak boleh lewat. Siapa saja yang menunggang kuda juga harus turun. Sehingga Batutah dan rombongannya harus turun dari kuda mereka.

Saat di pendapa istana, rombongan Batutah disambut salah satu letnan kesultanan yang ramah. Sang letnan menyambut mereka dengan berjabat tangan.

“ Kami duduk bersama dia dan dia menulis surat kepada Sultan untuk menginformasikan kedatangan kami.”

Setelah jamuan makan, sang letnan mengajak rombongan Batutah berjalan-jalan di taman berpagar kayu. Di bagian tengah dibangun sebuah rumah kayu dan berkarpet. “ Kami duduk di sini bersama letnan.”

Setelah itu, datanglah pejabat kesultanan, amir Dawlasa, dengan membawa dua pelayan perempuan dan dua laki-laki dan berkata, “ Sultan mengatakan kepadamu bahwa persembahan ini sebanding dengan hartanya, tidak seperti Sultan Muhammad [Sultan India]”. Setelah itu, sang letnan meninggalkan mereka, rombongan mereka beralih menjadi tanggung jawab amir Dawlasa.

Kebetulan, Ibnu Batutah sudah kenal dengan amir Dawlasa, sebab pernah menghadap Sultan Delhi bersama-sama. Ibnu Batutah pun bertanya, kapan Sultan Pasai bisa menemui rombongannya. Dan amir Dawlasa pun menjawab, “ Ini adat negeri kami bahwa pendatang baru menungu tiga malam sebelum menghadap ke Sultan, mungkin dia [tamu] sudah pulih dari kelelahan selama dalam perjalanan.”

Batutah dan rombongan pun akhirnya bertemu dengan Sultan al-Malik az-Zahir pada hari Jumat. Mereka bertemu dan berbincang di sebuah masjid setelah salat Jumat. Sultan meminta Batutah menceritakan kabar Sultan Muhammad di India.

Setelah pertemuan itu, Sultan al-Malik pun meninggalkan masjid. “ Saat meninggalkan masjid, dia [Sultan] disediakan gajah dan sederetan kuda. Adat mereka, Sultan menunggang gajah, pengiring dan wakil menunggang kuda.” Namun saat kunjungan Batutah itu, Sultan lebih memilih menunggang kuda bersama tamunya ini.

Batutah berada di Pasai selama 15 hari. Tibalah saatnya mereka berpamitan. Rombongan ini tak bisa meneruskan perjalanan ke China karena kondisi cuaca yang buruk. Batutah dan rombongan pun berpamitan kepada Sultan.

“ Dia [Sultan] menyediakan perahu untuk kami, mengantar kami, dan memberi bekal banyak kepada kami. Semoga Tuhan membalas dia!”

Setelah kunjungannya di Aceh, ia meneruskan perjalanan ke Kanton lewat jalur Malaysia dan Kamboja. Setibanya di Cina, Ibnu Batutah terus berpetualang ke Peking. Lalu ia menuju Calicut dan meneruskan perjalanannya ke Iran, Irak, Suriah, Mesir, kemudian menunaikan haji di Mekah. Setelah ibadah hajinya yang terakhir, Ibnu Batutah kembali ke kampung halamannya. Pada tahun 1369, di usia 65 tahun, Ibnu Batutah meninggal dunia, setelah 12 tahun menyelesaikan tulisannya, Rihlah.


Scroll Stop Menu

Ibnu Battuta Petualang Hebat

Penjelajah Muslim dengan Petualangan Hebat Sepanjang Masa


Jika kita sering mendengar nama Columbus, Marcopolo atau James Cook yang tersohor sebagai penjelajah dunia, maka Islam pun mempunyai tokoh yang tidak kalah hebat dari ketiganya. Dia adalah Sang Pengembara Islam yang sangat menginspirasi sekaligus penjelajah yang tak tertandingi pada abad pertengahan. Namanya Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim at-Tanji dan bergelar Syamsudin bin Batutah atau lebih dikenal sebagai Ibnu Batutah.

Ia adalah seorang pengembara (jawwalah) dari bangsa Arab yang terkenal karena hasil pengamatan dan penulisan atas perjalanan (rihlah) yang dilakukannya ke berbagai penjuru dunia selama hampir tiga dasawarsa. Lahir di kota Tangier (Thanjah), Maroko pada 25 Februari 1304 M, Ibnu Batutah telah menghabiskan setengah hidupnya menjelajahi dunia yang meliputi seluruh dunia Islam.

Ibnu Batutah telah menempuh lebih dari seratus tujuh puluh lima mil atau 120.000 kilometer, sekitar 44 negara modern. Penjelajahannya untuk pertama kali diawali dengan menunaikan ibadah haji. Saat itu, ia masih sangat muda dan berusia 21 tahun. Hobinya mengunjungi negara di dunia tiada lain untuk saling mengenal manusia dengan berbagai latar belakang dan budaya.

Pengembaraannya meliputi kota-kota besar di Afrika Utara, Iskandariyah, Dimyath, Kairo, Aswan di Mesir, Palestina, Syam, Mekah, Madinah, Najaf, Basrah, Syiraz di Iran. Moshul, Diyarbakr, Kufah, Bagdad, Jeddah, Yaman, Oman, Hormuz, dan Bahrain.

Kemudian berlanjut ke Asia kecil, anak benua Kaaram, Rusia Selatan, Bulgaria, Polandia, Istirkhan, Konstantinopel, Sarayevo, Bukhara, Afghanistan, Delhi, India (tempat dia menjadi hakim di sana selama lima tahun), Maladewa, Cina, Ceylon, Bengali, Indonesia, kemudian Irak, Iran dan kembali lagi ke Afrika, Mali, kemudian Fez, di mana ia menghabiskan tahun-tahun terakhir kehidupannya di sana di bawah kekuasaan Sultan Abu Inan.

Anehnya, Ibnu Bathuthah tidak meninggalkan karya sastra apa pun bahkan tidak menulis catatan perjalanannya secara teratur. Dia hanya menceritakan kisah perjalanannya kepada orang lain, berupa peristiwa-peristiwa tertentu, dan informasi-informasi yang sepenggal-sepenggal.

Sultan Abu Inan justru orang yang memiliki inisiatif penerbitan buku kisah perjalanan Ibnu Bathuthah. Atas permintaan sultan tersebut, Ibnu Bathuthah mendiktekan cerita perjalanannya kepada juru tulis sultan, Ibnu Jauzi, seorang teolog Andalusia. Catatannya penuh hal-hal yang menakjubkan dan menyentuh. Ceritanya yang berjudul “Tuhfat al-Nazzar fi Ghara’ib al-Amsar wa al-Aja’in al-Asfar” (Hadiah buat Para Pengamat yang Meneliti Keajaiban-Keajaiban Kota dan Kanehan-Keanehan Perjalanan), selanjutnya dikenal umum dengan Rihlah Ibnu Bathutah atau Rihla.

Ibnu Jauzi kemudian menuangkannya dalam tulisan dan memperbaiki bahasa Ibnu Bathutah, dan akhirnya menyusunnnya menjadi sebuah buku perjalanan yang lengkap dari segala seginya, dengan mempertahankan urutan waktu pengembaraan, dan menyambungkan antara satu kisah dengan kisah lain.

Hampir semua yang diketahui tentang kehidupan Ibnu Batutah datang dari dirinya sendiri. Meskipun dia mengklaim bahwa hal-hal yang diceritakannya adalah apa yang dia lihat atau dia alami, kita tak bisa tahu kebenaran dari cerita tersebut. Perjalanannya ke Mekah melalui jalur darat, menyusuri pantai Afrika Utara hingga tiba di Kairo. Pada titik ini ia masih berada dalam wilayah Mamluk, yang relatif aman. Jalur yang umum digunakan menuju Mekah ada tiga, dan Ibnu Batutah memilih jalur yang paling jarang ditempuh. Pengembaraan menuju sungai Nil, dilanjutkan ke arah timur melalui jalur darat menuju dermaga Laut Merah di ‘Aydhad. Tetapi, ketika mendekati kota tersebut, ia dipaksa untuk kembali dengan alasan pertikaian lokal.

Kembail ke Kairo, ia menggunakan jalur kedua, ke Damaskus (yang selanjutnya dikuasai Mamluk), dengan alasan anjuran seseorang yang ditemuinya di perjalanan pertama, bahwa ia hanya akan sampai di Mekah jika telah melalui Suriah. Keuntungan lain ketika memakai jalur pinggiran adalah ditemuinya tempat-tempat suci sepanjang jalur tersebut, Hebron, Yerusalem, dan Betlehem, misalnya, dan bahwa penguasa Mamluk memberikan perhatian khusus untuk mengamankan para peziarah.

Setelah menjalani Ramadhan di Damaskus, Ibnu Batutah bergabung dengan suatu rombongan yang menempuh jarak 800 mil dari Damaskus ke Madinah, tempat dimakamkannya Muhammad. Empat hari kemudian, dia melanjutkan perjalanannya ke Mekah. Setelah melaksanakan rangkaian ritual haji, sebagai hasil renungannya, dia kemudian memutuskan untuk melanjutkan mengembara. Tujuan selanjutnya adalah Il-Khanate (sekarang Iraq dan Iran).

Dengan cara bergabung pada suatu rombongan, dia melintasi perbatasan menuju Mesopotamia dan mengunjungi Najaf, tempat dimakamkannya khalifah keempat Ali. Dari sana, dia melanjutkan ke Basrah, lalu Isfahan, yang hanya beberapa dekade jaraknya dengan penghancuran oleh Timur. Kemudian Shiraz dan Baghdad (Baghdad belum lama diserang habis-habisan oleh Hulagu Khan).

Di negara tersebut, ia bertemu Abu Sa’id, pemimpin terakhir Il-Khanate. Ibnu Batutah untuk sementara mengembara bersama rombongan penguasa, kemudian berbelok ke utara menuju Tabriz di Jalur Sutra. Kota ini merupakan gerbang menuju Mongol, yang merupakan pusat perdagangan penting.

Setelah perjalanan ini, Ibnu Batutah kembali ke Mekah untuk haji kedua, dan tinggal selama setahun sebelum kemudian menjalani pengembaraan kedua melalui Laut Merah dan pantai Afrika Timur. Persinggahan pertamanya adalah Aden, dengan tujuan untuk berniaga menuju Semenanjung Arab dari sekitar Samudera Indonesia. Akan tetapi, sebelum itu, ia memutuskan untuk melakukan petualangan terakhir dan mempersiapkan suatu perjalanan sepanjang pantai Afrika.

Menghabiskan sekitar sepekan di setiap daerah tujuannya, Ibnu Batutah berkunjung ke Ethiopia, Mogadishu, Mombasa, Zanzibar, Kilwa, dan beberapa daerah lainnya. Mengikuti perubahan arah angin, dia bersama kapal yang ditumpanginya kembali ke Arab selatan. Setelah menyelesaikan petualangannya, sebelum menetap, ia berkunjung ke Oman dan Selat Hormuz. Setelah selesai, ia berziarah ke Mekah lagi. Setelah setahun di sana, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan di kesultanan Delhi. Untuk keperluan bahasa, dia mencari penterjemah di Anatolia.

Kemudian di bawah kendali Turki Saljuk, ia bergabung dengan sebuah rombongan menuju India. Pelayaran laut dari Damaskus mendaratkannya di Alanya di pantai selatan Turki sekarang. Dari sini ia berkelana ke Konya dan Sinope di pantai Laut Hitam. Setelah menyeberangi Laut Hitam, ia tiba di Kaffa, di Crimea, dan memasuki tanah Golden Horde. Dari sana ia membeli kereta dan bergabung dengan rombongan Ozbeg, Khan dari Golden Horde, dalam suatu perjalanan menuju Astrakhan di Sungai Volga.


Scroll Stop Menu

Jauh Perjalanan Ibnu Battutah

Penjelajah Muslim yang Mengitari Bumi 3 Kali


Peradaban Islam bisa dikatakan peradaban besar dan berkembang sebelum berkembangnya peradaban Barat dan Eropa. Salah satunya adalah bukti banyaknya filusuf atau yang dikenal dengan ilmuwan Islam yang tercatat dalam sejarah. Tak hanya banyaknya ilmuwan yang ada di atas kertas, ada pula sejumlah ilmuwan yang melakukan ekspolrasi alam secara langsung.

Salah satu yang paling dikenal dalam melakukan ekspolrasi dan penjelajahan adalah Ibnu Batutah. Demi ilmu pengetahuan, Ia rela menjelajahi dunia tanpa batas.

Nama lengkap Ibnu Batutah adalah Muhammad bin Abdullah bin Mohammed bin Ibrahim bin Abdulrahman bin Yusuf. Dikutip dari berbagai sumber, dinamai Battuta karena nama ibunya Battuta yang bernama asli Fatima. Ia juga berasal dari suku Berber yang disebut, lahir pada 24 Februari tahun 1304 Masehi (17 Rajab 703 H), pada masa pemerintahan Banu Marin di Maroko.

Ia mulai belajar dan menyelesaikan studinya pada usia 22 tahun. Ibnu Batutah juga dijuluki penjelajah Muslim yang paling penting dan dikenal sepanjang sejarah.

Tercatat dalam sejarah, di abad ke 14 Ia melakukan penjelajahan negara Maroko, Mesir, Sudan, dan Suriah, dan Hijaz dan Tehama, Irak, Persia, Yaman, Oman, Bahrain, dan Turkistan, Transoxiana, beberapa daerah India dan China Gaoh, negara Tatar, dan Afrika Tengah.

Sejarah mencatat, ia mengembara selama 27 tahun dimulai pada tahun 1325 dan berakhir pada tahun 1352. Menurut sumber ia menjelajahi belahan bumi lebih dari 121 000 km, sementara lingkar bumi jika diukur pada bagian garis khatulistiwa hanya sepanjang 40 ribu kilometer lebih.

Penjelajahan itu akhirnya dibukukan dan diberi judul Rihlah Ibnu Battuta (Perjalanan Ibnu Batutah). Banyak kisah menarik yang diceritakan dalam buku catatan perjalanan Ibnu Bathuthah ini, terutama cerita-cerita tentang para sultan, para syaikh, sejarah sebuah negeri.

Selain itu, ia juga mengulas falsafah kehidupan masyarakat setempat dan lain sebagainya yang ia tulis berdasarkan pengamatan langsung dari negeri-negeri yang ia kunjungi.

Dalam buku itu Ibnu Bathuthah menceritakan perjalanannya secara apik dan mengesankan. Bahkan Ia menceritakan kunjungannya bertemu dengan Sultan Jawa (Sultan Nusantara) dari Kerajaan Samudera Pasai, Sultan Malik Az-Zhahir. Dalam buku Rihlah Ibnu Batutah diceritakan bertemu dengan Sultan al-Malik az-Zahir pada hari Jumat dan berbincang di sebuah masjid setelah salat Jumat.

Setelah pertemuan itu, Sultan al-Malik pun meninggalkan masjid. dalam buku itu diceritakan tentang Sultan Malik.

“Saat meninggalkan masjid, dia [Sultan] disediakan gajah dan sederetan kuda. Adat mereka, Sultan menunggang gajah, pengiring dan wakil menunggang kuda”

Namun saat kunjungan Batutah itu, Sultan lebih memilih menunggang kuda bersamanya. Batutah berada di Pasai selama 15 hari. Ibnu Batutah dan rombongan ini tak bisa meneruskan perjalanan ke China karena kondisi cuaca yang buruk. Batutah dan rombongan pun berpamitan kepada Sultan.

“Dia [Sultan] menyediakan perahu untuk kami, mengantar kami, dan memberi bekal banyak kepada kami. Semoga Tuhan membalas dia!” tulis Ibnu Batuah. Ibn Battuta meninggal di kota Tangier, Maroko pada 1377 Masehi.


Scroll Stop Menu

Sang Penemu Benua Amerika

Ibnu Battutah sang Penemu Benua Amerika


Di buku sejarah sudah harus mulai dipersiapkan, khususnya yang terkait dengan penjelajah dan ilmuwan muslim. Seperti fakta benua Amerika yang ternyata sudah ditemukan lebih dulu sebelum Christoper Columbus tersasar di benua Amerika sana, ya dia adalah Ibn Batutah Ibnu batutah adalah seorang pengembara Berber Maroko yang bernama lengkap Abu abdullah Muhammad bin Battutah.

Beliau lahir di Tangier, Maroko pada tahun 1304. Perjalanan pertamanya Beliau menunaikan Haji ke Mekkah pada umur 20 tahun.

Menurut penelitian terbaru Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan Sabtu mengatakan bahwa Amerika ditemukan oleh para pelaut Muslim di abad ke-12 Masehi. Tentunya ini membuat Dunia semakin yakin bahwa Amerika dulunya Dihuni Oleh penduduk Islam yang ditemukan oleh Ibn Batutah.

Dan bukti lainnya ialah Abad ke-12 tepatnya tida abad sebelum Christoper Columbus, pada 1178 terjadi kontak antara Amerika Latin dan Islam lewat pelaut muslim. Ditandai pengakuan Columbus tentang keberadaan masjid di satu bukit di pantai kuba.


Scroll Stop Menu

Petualang Legendaris

Ibnu Battutah Petualang Legendaris asal Maroko


Ketika disebut nama Maroko, maka yang paling terlintas di benak orang Indonesia adalah Ibnu Batutah, Sang petualang legendaris dari Negeri Matahari Terbenam ini. Ia dianggap sebagai pelopor penjelajah abad 13 M yang belum tertandingi, sekalipun ada Marcopolo yang juga melakukan penjelajahan dunia.

Namun Marcopolo masih tidak sebanding dengan Ibnu Batutah terutama dalam kuantitas perjalanan. Karenanya, ia dijuluki dengan sebutan “Pengembara muslim Arab”.

Perjalanan panjang dan pengembaraannya mengelilingi dunia itu mampu melampaui sejumlah penjelajah Eropa yang diagung-agungkan Barat seperti Christopher Columbus, Vasco de Gama, dan Magellan yang mulai setelah Ibnu Batutah. Sejarawan Barat, George Sarton, mencatat jarak perjalanan yang ditempuh Ibnu Batutah melebihi capaian Marcopolo. Tak heran, bila Sarton geleng-geleng kepala dan mengagumi ketangguhan seorang Ibnu Batutah yang mampu mengarungi lautan dan menjelajahi daratan sepanjang 120.000 kilometer itu. Sebuah pencapaian yang tak ada duanya di masa itu.

Lalu siapa nama lengkap Ibnu Batutah itu? Ia adalah Muhammad Abu Abdullah bin Muhammad Al Lawati Al Tanjawi yang kemudian dikenal dengan Ibnu Batutoh. Lahir di Tanger (kota di sebelah utara Maroko) 24 Februari 1304 M/ 703 H dan wafat di kota kelahirannya pada tahun 1377 M/ 779 H. Versi lain mengatakan, ia wafat di kota Fez atau Casablanca. Namun pendapat yang rajih (benar) ia dimakamkan di tanah kelahirannya, sebagaimana makamnya terdapat di kota wisata Tanger-Maroko.

Ibnu Batutah berasal dari keturunan bangsa Barbar. Besar dalam keluarga yang taat memelihara tradisi Islam. Saat itu, Maroko sedang dikuasai Dinasti Mariniah. Ia dikenal sangat giat mempelajari fiqh dari para ahli yang sebagian besarnya menduduki jabatan Qadhi (hakim). Beliau juga mempelajari sastra dan syair Arab.

Pada usia sekitar 21 tahun 4 bulan, ia menunaikan rukun iman kelima. Perjalananya menuju ke Baitullah telah membawanya berpetualang dan menjelajahi dunia. Ia mengarungi samudera dan menjelajah daratan demi sebuah tujuan mulia. Sampai kemudian Ia melanjutkan perjalanannya hingga melintasi sekitar 44 negara selama 30 tahun.

Rihlah Ibnu Batutoh, inilah salah satu buku legendaris yang mengisahkan perjalanan seorang petualang agung itu pada 1325 hingga 1354 M. Sejatinya, Rihlah bukanlah judul buku, tetapi hanya menggambarkan sebuah genre (gaya sastra). Judul asli dari buku yang ditulis Ibnu Batutah itu adalah Tuhfat al-Nuzzhar fi Ghara’ib al-Amshar wa ’Aja’ib al-Asfar (Persembahan Seorang Pengamat tentang Kota-kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumkan) ditulis oleh Ibnu Juzay, juru tulis Sultan Maroko, Abu ‘Inan. Karya ini telah menjadi perhatian berbagai kalangan di Eropa sejak diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Perancis, Inggris dan Jerman.

Buku itu disusun menjadi sebuah perjalanan dunia yang mengagumkan dengan mengaitkan berbagai peristiwa, waktu pengembaraan serta catatan-catatan penting yang berisi berita dan peristiwa yang dialami Ibnu Batutah selama pengembaraanya. Dalam karyanya tersebut, Ibnu Batutah tidak mengumpulkan rujukan atau bahan-bahan dalam menunjang tulisannya hanya mengisahkan pengalaman atau sejarah empiris negara atau kota-kota yang pernah disinggahinya terutama yang menyangkut kultur setempat. Pencapaian Ibnu Batutah yang luar biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah benua Afrika, termasuk Maroko.


Kisah Petualangan Ibnu Battutah

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:

“Tuntutlah ilmu walaupun hingga ke negeri Cina”.

Islam memerintahkan umatnya untuk mencari ilmu pengetahuan, hingga ke tempat yang jauh sekalipun. Terinspirasi hadits itu, Ibnu Batutah pun melakukan perjalanan untuk mencari pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan membentuk konsep Al-Rihlah fi talab al-’ilmi (Perjalanan untuk Mendapatkan Ilmu Pengetahuan).

Ibnu Batutah menghabiskan umurnya hingga 30 tahun untuk berpetualang dari satu negeri ke negeri lainnya. Hampir seluruh dunia telah dijelajahinya, mulai dari Afrika Utara ke Timur Tengah, dari Persia ke India terus ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan India. Kemudian dilanjutkan ke arah Timur Laut menuju daratan China dan ke arah Barat hingga sampai ke Spanyol.

Pengembaraannya itu ia lakukan antara musim haji yang satu ke musim haji berikutnya. Ia menjadikan Makkah Al Mukaramah sebagai awal berlayar dan sebagai tempat kembali berlabuh. Sungguh suatu pengembaraan yang penuh kejadian penting dalam sejarah, sarat dengan makna dan hikmah. Pengembaraan perdananya dimulai ketika menunaikan ibadah haji yang pertama, tepat pada tanggal 14 Juni 1325. Ia bersama jamaah Tanger lainnya menempuh keringnya hawa laut Mediterania di tengah teriknya daratan berpasir Afrika Utara. Semuanya dilakukan hanya dengan berjalan kaki.

Dalam perjumpaannya dengan banyak orang, Ibnu Batutah senantiasa berusaha meningkatkan kualitas silaturahim dengan mendekati orang-orang yang bisa diajak ber-mudzakarah serta berbagi ilmu dan pengalaman.

Ia sangat terinspirasi dengan hadits Nabi Saw:

“Perumpamaan teman yang saleh dan teman yang jahat adalah seperti orang yang membawa minyak misik (harum) dan orang yang meniup bara api pandai besi. Orang yang membawa minyak misik mungkin akan memberikannya kepadamu, atau engkau akan membelinya atau engkau merasakan bau harum daripadanya. Adapun peniup bara api pandai besi, mungkin akan membakar pakaianmu, atau engkau akan merasakan bau yang busuk daripadanya”.
(HR. Bukhari dan Muslim).

Tempat-tempat yang disinggahi diceriterakannya secara lengkap dengan bahasa yang indah, sehingga siapa yang membaca tulisan Ibnu Batutah atau mendengarkannya berhasrat untuk mengunjunginya. Kemauannya yang kuat untuk mengunjungi wilayah-wilayah Islam saat itu membawanya mengembara.


Tiba di Samudera Pasai (Aceh)

Petualangan dan perjalanan panjang yang ditempuh Ibnu Batutah sempat membuatnya terdampar di Samudera Pasai (kini Aceh). Tepatnya di sebuah Kerajaan Islam pertama di Nusantara yang terletak di utara pantai Aceh antara abad ke-13 hingga 15 M. dengan Raja pertamanya Sultan Malikussalih (W 1297), yang sekaligus sebagai sultan (pemimpin) pertama negeri itu. Ia menginjakkan kakinya di Aceh pada tahun 1345. Sang pengembara itu singgah di bumi Serambi Makkah selama 15 hari.

Catatan Ibnu Batutah dalam perjalanan laut menuju Cina menyebutkan, Ia pernah mampir di wilayah Samudera Pasai. Dalam catatan perjalanannya itu, Ibnu Batutah melukiskan Samudera Pasai dengan begitu indah. ”Negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah,” tutur sang pengembara berdecak kagum. Kedatangan penjelajah kondang asal Maroko itu mendapat sambutan hangat dari para ulama dan pejabat Samudera Pasai.

Kedatangan Ibnu Batutah disambut Amir (panglima) Daulasah, Qadi Syarif Amir Sayyir Al-Syirazi, Tajuddin Al-Asbahani dan beberapa ahli fiqh atas perintah Sultan Mahmud Malik Zahir (1326-1345). Menurut pengamatan Ibnu Batutah, Sultan Mahmud merupakan penganut Mazhab Syafi’i yang giat menyelenggarakan pengajian dan mudzakarah tentang Islam.

Penjelajah termasyhur asal Maghrib (sebutan Maroko dalam Bahasa Arab) itu sangat mengagumi Sultan Mahmud Malik Al-Zahir penguasa Samudera Pasai saat itu. ”Sultan Mahmud Malik Al-Zahir adalah seorang pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. Pribadinya sangat rendah hati. Ia berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, sultan dan rombongan biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya,” kisah Ibnu Batutah.

Ia juga melihat Samudera Pasai saat itu menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara. Menurut Ibnu Batutah, penguasa Samudera Pasai itu memiliki ghirah (semangat) belajar yang tinggi untuk menuntut ilmu-ilmu Islam kepada ulama. Dia juga mencatat, pusat studi Islam yang dibangun di lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama dan elit kerajaan. Selama berpetualang mengelilingi dunia dan menjejakkan kakinya di 44 negara, dalam kitabnya yang berjudul Tuhfat al-Nazhar itu, Ibnu Batutah menuturkan telah bertemu dengan tujuh raja yang memiliki kelebihan yang luar biasa.

Ketujuh raja yang dikagumi Ibnu Batutah itu antara lain: raja Iraq yang dinilainya berbudi bahasa, raja Hindustani yang disebutnya sangat ramah, raja Yaman yang dianggapnya berakhlak mulia, raja Turki dikaguminya karena gagah perkasa, raja Romawi yang sangat pemaaf, raja Melayu Malik Al-Zahir yang dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, serta raja Turkistan.

Ibnu Batutah sempat mengunjungi pedalaman Sumatra yang kala itu masih dihuni masyarakat non-Muslim. Di situ juga Ia menyaksikan beberapa perilaku masyarakat yang mengerikan, seperti bunuh diri massal yang dilakukan hamba ketika pemimpinnya mati.

Setelah berkelana dan mengembara di Samudera Pasai selama dua pekan, Ibnu Batutah akhirnya melanjutkan perjalannnya menuju Negeri Tirai Bambu Cina. Catatan perjalanan Ibnu Batutah itu menggambarkan pada abad pertengahan, peradaban telah tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara.

Berkat petualangan singkat Ibnu Batutah ini, kini Bangsa Indonesia sangat dikenal di mata masyarakat Maroko, sebagai bangsa yang ramah, santun, toleran dan cinta terhadap agama Islam yang moderat. Hal itu juga diakui oleh para ulama Maroko, “Masyarakat muslim Indonesia sangat terpuji akhlaknya, mereka memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap agama” pengakuan Dr Idris Hanafi, Dosen pakar Hadits beberapa waktu lalu saat menyampaikan kuliah studi Islam di Univ. Imam Nafie’, Tanger-Maroko.

Begitu juga tabiat masyarakat Maroko, yang terkenal dengan sikapnya yang sangat ramah dalam menghormati tamu, mereka menganggap tamu itu benar-benar seperti raja.

Hal ini tentunya merupakan ciri khas orang Maroko dan sebagai aplikasi dari sebuah Hadits Rasul Saw:

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah memuliakan tamunya, yaitu jaizahnya.” Para sahabat bertanya: “Apakah jaizahnya tamu itu, ya Rasulullah?” Beliau S.a.w. bersabda: “Yaitu pada siang hari dan malamnya. Menjamu tamu yang disunnahkan secara muakkad atau sungguh-sungguh ialah selama tiga hari. Apabila lebih dari waktu sekian lamanya itu, maka hal itu adalah sebagai sedekah padanya.”
(Muttafaqun ‘Alaih).


Diabadikan di Dunia

Nama besar dan kehebatan Ibnu Batutah dalam menjelajahi dunia di abad pertengahan itu, hingga kini tetap dikenang. Bukan hanya umat Islam saja yang mengakui kehebatannya, Barat pun mengagumi sosok Ibnu Battuta. Tak heran, karya-karyanya disimpan Barat.

Sebagai bentuk penghormatan atas dedikasinya, International Astronomy Union (IAU) Perancis mengabadikan Ibnu Batutah menjadi nama salah satu kawah bulan. Kawah Ibnu Batutah itu terletak di Barat daya kawah Lindenbergh dan Timur laut kawah bulan terkenal Goclenius. Di sekitar kawah Ibnu Batutah tersebar beberapa formasi kawah hantu.

Kawah Ibnu Batutah berbentuk bundar dan simetris. Dasar bagian dalam kawah Ibnu Battuta terbilang luas. Diameter kawah itu mencapai 11 kilometer. Dasar kawah bagian dalamnya terbilang gelap, segelap luarnya. Kawah Ibnu Batutah awalnya bernama Goclenius A. Namun, IAU kemudian memberinya nama Ibnu Batutah.

Selain dijadikan nama kawah di bulan, Ibnu Batutah juga diabadikan dan dikenang masyarakat Dubai lewat sebuah mall atau pusat perbelanjaan bernama Ibnu Batutah Mall. Di sepanjang koridor mall itu dipajangkan hasil penelitian dan penemuan Ibnu Batutah. Sementara di kampung halamannya sendiri, Tanger-Maroko Ibnu Batutah sangat terkenal. Di dekat Stadion Tanger terdapat bentuk Globe kecil yang menandai kediaman Ibnu Batutah yang kecil. Terdapat juga di Hotel Ibn Battouta di Jalan (Rue) Magellan, dibagian bawah perbukitan ada burger Ibn Battouta dan Cafè Ibn Battouta.

Ferry yang menghubungkan Spanyol dengan Maroko menyeberangi Selat Gibraltar juga bernama M.V. Ibn Battouta. Begitu juga bandara kota Tanger bernama Ibn Battouta. Meski petualangan dan pengembaraannya telah berlalu sembilan abad silam, namun kebesaran dan kehebatannya hingga kini tetap dikenang dunia. (Dikutip dari berbagi sumber, termasuk buku ”Rihlah Ibnu Batutoh”)


Scroll Stop Menu

Hikmah, Kisah & Khazanah

Hikmah, Kisah & Khazanah Dari Perjalanan Ibnu Battutah


Sepenggal Jejak dan Pemikiran Pada Sisa Hidup

Pencapaian Ibnu Battuta yang luar biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah benua Afrika.

”Aku tinggalkan Tangier, kampung halamanku, pada Kamis 2 Rajab 725 H/ 14 Juni 1325 M. Saat itu usiaku baru 21 tahun empat bulan. Tujuanku adalah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci di Makkah dan berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah.

’‘ kisah Ibnu Battuta – pengembara dan penjelajah Muslim terhebat di dunia — membuka pengalaman perjalanan panjangnya dalam buku catatannya, Rihlah.

Dengan penuh kesedihan, ia meninggalkan orangtua serta sahabat sahabatnya di Tangier. Tekadnya sudah bulat untuk menunaikan rukun iman kelima. Perjalananya menuju ke Baitullah telah membawanya bertualang dan menjelajahi dunia. Seorang diri, dia mengarungi samudera dan menjelajah daratan demi sebuah tujuan mulia.

”Kehebatan Ibnu Battuta hanya dapat dibandingkan dengan pelancong terkemuka Eropa, Marcopolo (1254 M -1324 M),” ujar Sejarawan Brockelmann mengagumi ketangguhan sang pengembara Muslim itu. Selama hampir 30 tahun, dia telah mengunjungi tiga benua mulai dari Afrika Utara, Afrika Barat, Eropa Selatan, Eropa Timur, Timur Tengah, India, Asia engah, Asia Tenggara, dan Cina.

Perjalanan panjang dan pengembaraannya mengelilingi dunia itu mencapai 73 ribu mil atau sejauh 117 ribu kilometer. Tak heran, bila kehebatannya mampu melampaui sejumlah penjelajah Eropa yang diagung-agungkan Barat seperti Christopher Columbus, Vasco de Gama, dan Magellan yang mulai berlayar 125 setelah Ibnu Battuta.

Sejarawan Barat, George Sarton, mencatat jarak perjalanan yang ditempuh Ibnu Battuta melebihi capaian Marco Polo. Tak heran, bila Sarton geleng-geleng kepala dan mengagumi ketangguhan seorang Ibnu Battuta yang mampu mengarungi lauatan dan menjelajahi daratan sepanjang 73 ribu mil itu. Sebuah pencapaian yang tak ada duanya di masa itu.

Lalu siapakah sebenarnya pengembara tangguh bernama Ibnu Battuta itu? Pria kelahiran Tangier 17 Rajab 703 H/ 25 Februari 1304 itu bernama lengkap Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim At-Tanji, bergelar Syamsuddin bin Battutah. Sejak kecil, Ibnu Battuta dibesarkan dalam keluarga yang taat menjaga tradisi Islam. Ibnu Battuta begitu tertarik untuk mendalami ilmu-ilmu fikih dan sastra dan syair Arab.

Kelak, ilmu yang dipelajarinya semasa kecil hingga dewasa itu banyak membantunya dalam melalui perjalanan panjangnya. Ketika Ibnu Battuta tumbuh menjadi seorang pemuda, dunia Islam terbagi-bagi atas kerajaan-kerajaan dan dinasti. Ia sempat mengalami kejayaan Bani Marrin yang berkuasa di Maroko pada abad ke-13 dan 14 M.

Latar belakang Ibnu Battuta begitu jauh berbeda bila dibandingkan Marco Polo yang seorang pedagang dan Columbus yang benar-benar seorang petualang sejati. Meski Ibnu Battuta adalah seorang teologis, sastrawan puis,i dan cendekiawan, serta humanis, namun ketangguhannya mampu mengalahkan keduanya.

Meski hatinya berat untuk meninggalkan orang-orang yang dicintainya, Ibnu Battuta tetap meninggalkan kampung halamannya untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah yang berjarak 3.000 mil ke arah Timur. Dari Tangier, Afrika Utara dia menuju Iskandariah. Lalu kembali bergerak ke Dimyath dan Kaherah.

Setelah itu, dia menginjakkan kakinya di Palestina dan selanjutnya menuju Damaskus. Ia lalu berjalan kaki ke Ladzikiyah hingga sampai di Allepo. Pintu menuju Makkah terbuka dihadapannya setelah dia melihat satu kafilah sedang bergerak untuk menunaikan ibadat haji ke Tanah Suci. Ia pun bergabung dengan rombongan itu. Beliau menetap di Makkah selama dua tahun.

Setelah cita-citanya tercapai, Ibnu Battuta, ternyata tak langsung pulang ke Tangier, Maroko. Ia lebih memilih untuk meneruskan pengembaraannya ke Yaman melalui jalan laut dan melawat ke Aden, Mombosa, Timur Afrika dan menuju ke Kulwa. Ia kembali ke Oman dan kembali lagi ke Makkah untuk menunaikan Haji pada tahun 1332 M, melaui Hormuz, Siraf, Bahrin dan Yamama.

Itulah putaran pertama perjalanan yang tempuh Ibnu Battuta. Pengembaraan putara kedua, dilalu Ibnu Battuta dengan menjelajahi Syam dan Laut Hitam. I lalumeneruskan pengembaraannya ke Bulgaria, Roma, Rusia, Turki serta pelabuhan terpenting di Laut Hitam yaitu Odesia, kemudian menyusuri sepanjang Sungai Danube.

Ia lalu berlayar menyeberangi Laut Hitam ke Semenanjung Crimea dan mengunjungi Rusia Selatan dan seterusnya ke India. Di India, ia pernah diangkat menjadi kadi. Dia lalu bergerak lagi ke Sri Langka, Indonesia, dan Canton. Kemudian Ibnu Battuta mengembara pula ke Sumatera, Indonesia dan melanjutkan perjalanan melalui laut Amman dan akhirnya eneruskan perjalanan darat ke Iran, Irak, Palestina, dan Mesir.

Beliau lalu kembali ke Makkah untuk menunaikan ibadah hajinya yang ke tujuh pada bulan November 1348 M. Perjalanan putaran ketiga kembali dimulai pada 753 H. Ia terdampar di Mali di tengah Afrika Barat dan akhirnya kembali ke Fez, Maroko pada 1355 M.

Ia mengakhiri cerita perjalannya dengan sebuah kalimat, ”Akhirnya aku sampai juga di kota Fez.” Di situ dia menuliskan hasil pengembaraannya. Salah seorang penulis bernama Mohad Ibnu Juza menuliskan kisah perjalanannya dengan gaya bahasa yang renyah. Dalam waktu tiga bulan, buku berjudul Persembahan Seorang pengamat tentang Kota-Kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumka, diselesaikannya pada 9 Desember 1355 M.

Secara detail, setiap kali mengunjungi sebuah negeri atau negara, Ibnu Battuta mencatat mengenai penduduk, pemerintah, dan ulama. Ia juga mengisahkan kedukaan yang pernah dialaminya seperti ketika berhadapa dengan penjahat, hampir pingsan bersama kapal yang karam dan nyaris dihukum penggal oleh pemerintah yang zalim.

Ia meninggal dunia di Maroko pada pada tahun 1377 M. Kisah pencapaian Ibnu Battuta yang luar biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah benua Afrika. Buktinya, Barat baru mengetahui kehebatannya setelah tiga abad meninggalnya sang pengembara.


Dari Tangier ke Samudera Pasai

Petualangan dan perjalanan panjang yang ditempuh Ibnu Battuta sempat membuatnya terdampar di Samudera Pasai – kerajaan Islam pertama di Nusantara pada abad ke-13 M. Ia menginjakkan kakinya di Aceh pada tahun 1345. Sang pengembara itu singgah di bumi Serambi Makkah selama 15 hari.

Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battuta melukiskan Samudera Pasai dengan begitu indah. ”Negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah,” tutur sang pengembara berdecak kagum. Kedatangan penjelajah kondang asal Maroko itu mendapat sambutan hangat dari para ulama dan pejabat Samudera Pasai.

Ia disambut oleh pemimpin Daulasah, Qadi Syarif Amir Sayyir al-Syirazi, Tajudin al-Ashbahani dan ahli fiqih kesultanan. Menurut Ibnu Battuta, kala itu Samudera Pasai telah menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara. Penjelajah termasyhur itu juga mengagumi Sultan Mahmud Malik Al-Zahir penguasa Samudera Pasai.

”Sultan Mahmud Malik Al-Zahir adalah seorang pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. Pribadinya sangat rendah hati. Ia berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, sultan dan rombongan biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya,” kisah Ibnu Battuta.

Menurut Ibnu Battuta, penguasa Samudera Pasai itu memiliki ghirah belajar yang tinggi untuk menuntut ilmu-ilmu Islam kepada ulama. Dia juga mencatat, pusat studi Islam yang dibangun dii lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama dan elit kerajaan. Selama berpetualang mengelilingi dunia dan menjejakkan kakinya di 44 negara, dalam kitab yang berjudul Tuhfat al-Nazhar, Ibnu Battuta menuturkan telah bertemu dengan tujuh raja yang memiliki kelebihan yang luar biasa.

Setelah berkelana dan mengembara di Samudera Pasai selama dua pekan, Ibnu Battuta akhirnya melanjutkan perjalannnya menuju Negeri Tirai Bambu Cina. Catatan perjalanan Ibnu Battuta itu menggambarkan pada abad pertengahan, peradaban telah tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara.


Abadi di Kawah Bulan

Nama besar dan kehebatan Ibnu Battuta dalam menjelajahi dunia di abad pertengahan hingga kini tetap dikenang. Bukan hanya umat Islam saja yang mengakui kehebatannya, Barat pun mengagumi sosok Ibnu Battuta. Tak heran, karya-karyanya disimpan Barat.

Sebagai bentuk penghormatan atas dedikasinya, International Astronomy Union (IAU) mengabadikan Ibnu Battuta menjadi nama salah satu kawah bulan. Bagi orang Astronomi, Ibnu Battuta bukan hanya seorang pengembara dan penjelajah paling termasyhur, namun juga sebuah kawah kecil di bulan yang berada di Mare Fecunditas.

Kawah Ibnu Battuta terletak di Baratdaya kawah Lindenbergh dan Timurlaut kawah bulan terkenal Goclenius. Di sekitar kawah Ibnu Battuta tersebar beberapa formasi kawah hantu. Kawah Ibnu Battuta berbentuk bundar dan simetris. Dasar bagian dalam kawah Ibnu Battuta terbilang luas. Diameter kawah itu mencapai 11 kilometer. Dasar kawah bagian dalamnya terbilang gelap, segelap luarnya. Kawah Ibnu Battuta awalnya bernama Goclenius A. Namun, IAU kemudian memberinya nama Ibnu Battuta.

Selain dijadikan nama kawah di bulan, Ibnu Battuta juga diabadikan dan dikenang masyarakat Dubai lewat sebuah mal atau pusat perbelanjaan bernama Ibnu Battuta Mall. Di sepanjang koridor mal itu dipajangkan hasil penelitian dan penemuan Ibnu Battuta. Meski petualangan dan pengembaraannya telah berlalu enam abad silam, namun kebesaran dan kehebatannya hingga kini tetap dikenang.


Scroll Stop Menu