Bulan ramadhan sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw disebut sebagai syahrul adzim mubarak yaitu bulan yang sangat agung dan berlimpah keberkahan serta kebaikan, sehingga dalam penggalan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dikatakan bahwa pada sepuluh malam pertama bulan ramadhan tercurah rahmat kemudian pada sepuluh malam kedua berlimpah maghfirah ( ampunan ) serta pada sepuluh malam yang ketiga atau terakhir adalah itqun minannar ( pembebasan dari api neraka ). Hadist ini memang cukup populer dikalangan para da'i dan bahkan pada setiap bulan ramadhan penggalan hadist ini seringkali dijadikan sebagai hujjah atau sandaran oleh para da'i untuk memotivasi para shoimin dan shoimat agar lebih memaksimalkan amal ibadah mereka terutama dibulan ramadhan. Adapun lafazd hadist tersebut selengkapnya berbunyi :
يا أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم ، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر ، جعل الله صيامه فريضة ، و قيام ليله تطوعا ، و من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ، و من أدى فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه ، و هو شهر الصبر و الصبر ثوابه الجنة ، و شهر المواساة ، و شهر يزاد فيه رزق المؤمن ، و من فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه ، و عتق رقبته من النار ، و كان له مثل أجره من غير أن ينتقص من أجره شيء قالوا : يا رسول الله ليس كلنا يجد ما يفطر الصائم ، قال : يعطي الله هذا الثواب من فطر صائما على مذقة لبن ، أو تمرة ، أو شربة من ماء ، و من أشبع صائما سقاه الله من الحوض شربة لايظمأ حتى يدخل الجنة ، و هو شهر أوله رحمة و وسطه مغفرة و آخره عتق من النار ،
“Wahai manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1. 000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa pada bulan itu mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan, ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa pada bulan Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan hidangan berbuka berupa sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (6/512), Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib (2/115)
Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/115), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110), bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (871) bahwa hadits ini Munkar.
Tentang derajat dari hadist ini memang sebagaimana disebutkan dari beberapa kalangan ahli hadist dianggap sebagai hadist yang dho'if ( lemah ) karena seolah-olah rahmat dan ampunan Allah itu hanya berlaku untuk bahagian-bahagian malam tertentu dibulan ramadhan, akan tetapi yang benar menurut para ulama adalah bahwa diseluruh waktu pada bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya pada sepertiganya saja, dan ini sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam sebuah hadist beliau yang berbunyi :
من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه
“ Barang siapa yang berpuasa dibulan ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)
Dalam hadits ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan Ramadhan saja akan tetapi selama bulan ramadhan. Lebih jelas lagi pada hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Rasulullah bersabda:
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ، وَمَرَدَةُ الجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُالنَّارِ،فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ
“Pada awal malam bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin jahat dibelenggu, pintu neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Pintu surga dibuka, tidak ada satu pintu pun yang ditutup. Kemudian Allah menyeru: ‘wahai penggemar kebaikan, rauplah sebanyak mungkin, wahai penggemar keburukan, tahanlah dirimu’. Allah pun memberikan pembebasan dari neraka bagi hamba-Nya. Dan itu terjadi setiap malam” (HR. Tirmidzi 682, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)
Walaupun derajat hadist ( nomer 1887 ) diatas oleh kalangan para ahli hadist dianggap lemah, paling tidak dapat dijadikan sebagai penggerak atau penggugah minat serta semangat dari ummat islam umumnya dan orang-orang beriman khususnya untuk lebih meningkatkan amal ibadah mereka terutama dibulan ramadhan.
Terkadang pada umumnya kita sebagai kita sebagai ummat islam yang mengaku diri beriman seringkali terlena didalam menyikapi bulan ramadhan, dan terkadang pula kita seringkali keliru dalam menafsirkan makna dari sebuah firman Allah atau hadist-hadist rasulullah saw, sehingga didalam bermu'amalah kita sering keliru. Salah satu contoh hadist yang seringkali kita keliru dalam memahaminya yaitu sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan lafaz :
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi.
Hadits ini oleh beberapa ahli hadist dianggap sebagai hadist yang dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).
Terdapat juga riwayat yang lain:
الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه
“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).
Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.
Sebaliknya, tidak setiap tidur orang yang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah berbuka puasa atau setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang sia-sia atau tercela. Oleh karena itu, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan untuk melakukan perbuatan yang sia-sia ( lughah ) seperti main kartu, nongkrong-nongkrong dipinggir jalan, nonton televisi, tidur yang berlebihan, lalu lalang dijalanan, dan lain sebagainya.
Dengan dasar hadist ini kaum muslimin dibulan ramadhan seringkali bermalas-malasan, waktu-waktu yang seharusnya dimanfaatkan untuk bertaqarrub kepada Allah digunakan untuk tidur sepanjang hari, karena dianggapnya bahwa tidur yang dia lakukan tersebut merupakan bahagian dari ibadah dibulan ramadhan, padahal tidur yang dimaksudkan dalam hadist tersebut adalah tidur yang sekedar untuk memulihkan tenaga atau untuk melepas rasa lelah, untuk menghilangkan penat yang setelah seharian bekerja dikantor, dipasar, dipabrik, ataupun setelah melakukan aktifitas lainnya dan waktunya pun berkisar antara 10 sampai dengan 30 menit, akan tetapi kalau tidurnya berjam-jam bahkan sampai hampir seharian sehingga waktu shalat seringkali terabaikan bukan itu yang bernilai ibadah malahan akan mengundang murka Allah sehingga tidak dapat merasakan bagaimana nikmatnya rasa lapar atau berpuasa.
Dengan demikian apa yang diharapkan dari tujuan disyariatkannya puasa tersebut tidak akan bisa tercapai. Oleh sebab itu sebelum kita memasuki ramadhan sebaiknya kita perlu membekali diri dengan persiapan-persiapan yang optimal terutama yang berkaitan dengan ibadah ramadhan baik yang berupa ilmu maupun kesehatan fisik agar secara internal kita siap untuk memasuki bulan ramadhan sehingga apa yang diharapkan dari tujuan disyari'atkannya ibadah puasa tersebut ( La'allakum tattaquun ) paling tidak dapat kita raih.
Ada dua persiapan penting yang harus kita lakukan dalam rangka tau'iyah ramadhan, yakni :
Selain daripada persiapan-persiapan individu sebagaimana yang kami uraikan diatas, persiapan-persiapan sosialpun juga sangat diperlukan dalam rangka mewujudkan ramadhan yang sukses, karena bagaimanapun semangatnya kita didalam menyambut ramadhan, akan tetapi kalau lingkungan sekitar kita kurang mendukung, maka hasilnya pun tentu tidak bisa maksimal. Dan satu hal yang tak kalah pentingnya adalah dukungan sarana dan prasarana seperti tempat-tempat peribadatan, misalnya mesjid, mushalla, serta tempat-tempat peribadatan lainnya yang perlu ditata dan dibersihkan dengan sebaik-baiknya agar didalam kita beribadah kepada Allah trasa lebih nyaman, lebih tentram, lebih khusyuk, serta lebih nikmat sehingga orang juga merasa lebih betah untuk bertaqarrub kepada Allah swt.
Begitu juga dengan kegiatan ibadah lainnya perlu dikembangkan supaya didalam suatu masjid atau mushalla tidak hanya kegiatan tarawih atau tadarrus Al-Qur'an saja yang dilaksanakan akan tetapi kegiatan-kegiatan lainnya juga perlu dikembangkan seperti : Muzakkarah, tadabbur Al-Qur'an ( memahami dan mendalami isi kandungan ayat-ayat Al-Qur'an ), Tausyiah Ramadhan sebelum atau sesudah shalat Tarawih dilaksanakan, Acara buka puasa bersama, dan lain sebagainya. Apabila semua itu dapat terlaksana dengan baik, maka kita akan dapat melaksanakan ibadah ramadhan dengan lebih sempurna sehingga rahmat dan maghfirah Allah pun akan dapat kita raih, karena rahmat Allah akan dicurahkan kepada hamba-hambanya yang melaksanakan ibadah shaum dengan sempurna dibulan ramadhan dan siangnya diisi dengan shiyam serta malamnya diisi dengan memperbanyak qiyam, tadarrus Al-Qur'an, Zikir, memperbanyak taubat, tidak bermaksiat dan tidak melanggar aturan dan larangan-larangan Allah.
Karena mustahil rahmat Allah itu akan diturunkan kepada orang-orang yang tidak berpuasa ( dalam arti bahwa mereka berpuasa tapi tidak bisa menjaga mulut, menjaga telinga, menjaga pandangan dari hal-hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul Nya ) dan bahkan mereka mengotori bulan ramadhan dengan perbuatan-perbuatan ma'siat, inilah yang disebutkan orang-oarng yang disebutkan oleh Rasulullah saw dalam sebuah hadist yang artinya " Betapa banyak orang yang berpuasa akan tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan haus saja." Jadi apabila Allah sudah menurunkan rahmatNya kepada seorang hamba, maka Allah akan limpahkan maghfirah ( ampunan ) Nya, dan jika Allah sudah mecurahkan rahmat dan maghfirah Nya kepada seorang hamba, maka Allah akan bebaskan hamba-hambanya dari siksa atau azab neraka ( itqun minannaar ). Jadi karena rahmat dan maghfirah Allah seorang hamba dapat terbebas dari siksa neraka dan masuk syurga.
Selanjutnya Ibadah ramadhan yang sukses adalah ibadah yang didirikan oleh seorang hamba atas dasar iman dan taqwa, inilah ibadah yang dapat meraih ketaqwaan serta rutinitas ibadah tersebut bisa dipertahankannya pada sebelas bulan berikutnya, dan untuk mencapai kesuksesan tersebut perlu dilakukan dengan upaya-upaya :