و حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّهُ قَالَ
سُئِلَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ عَنْ رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً ثُمَّ فَارَقَهَا قَبْلَ أَنْ يُصِيبَهَا هَلْ تَحِلُّ لَهُ أُمُّهَا فَقَالَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ لَا الْأُمُّ مُبْهَمَةٌ لَيْسَ فِيهَا شَرْطٌ وَإِنَّمَا الشَّرْطُ فِي الرَّبَائِبِ
“Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari Yahya bin Sa’id berkata;
” Zaid bin Tsabit ditanya tentang seseorang yang menikahi wanita kemudian menceraikannya sebelum menyetubuhinya, apakah ibunya halal untuk dinikahi? ” Zaid bin Tsabit menjawab; “Tidak boleh. Karena setatus ibu tidak dirinci, dan tidak ada syarat padanya. Adapun yang disebutkan syaratnya adalah pada anak tiri.“
(HR.Imam Malik : 979)
Yahya bin Sa'id bin Qais (Tabi'in Biasa), Kuniyah Abu Sa'id, Madinah, (w.144 H).
komentar ulama : Ibnu Hajar Al-Asqalani (Tsiqah Tsabat).
Rawi terputus (Tabi'ut tabi'in kalangan tua).
Zaid bin Tsabit bin Adl Diahhak (Sahabat), kuniyah Abu Sa'id, Madinah, (w.45 H)