Dikutip melalui Marwan Hadidi bin Musa dalam Tafsir Alquran Hidayatul Insan Jilid 1 h. 113-114.
Dengan begitu, kita memiliki kecakapan dalam menjalani hidup di dunia dan mengetahui hakikat hidup
hidup di dunia, dan kita pun mengenal tentang kehidupan akhirat, di mana ia merupakan kehidupan yang
kekal dan tempat pembalasan sehingga kita lebih mengutamakannya.
Yakni bagaimana seharusnya sikap kamu terhadap mereka dan harta mereka. Ketika turun ayat ancaman
memakan harta anak yatim secara zalim, yaitu pada surat An Nisaa’: 10, maka kaum muslimin memisahkan
makanan mereka dengan makanan anak yatim karena khawatir memakan harta anak yatim, sampai dalam hal
seperti ini, yakni dalam hal yang biasanya harta anak yatim bercampur dengan harta mereka, mereka pun
bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masalah tersebut, maka turunlah ayat di atas
menerangkan bahwa tujuan utamanya adalah memperbaiki harta anak yatim, memelihara dan
mengembangkannya dan bahwa mencampurkan harta mereka dengan harta anak yatim adalah boleh selama
tidak memadharatkan anak yatim, karena mereka adalah saudara kita, di mana saudara biasanya
mencampurkan harta dengan saudaranya. Oleh karena itu, yang perlu dijaga adalah niat dan amal, barang
siapa berniat baik dan bermaksud memperbaiki harta anak yatim serta tidak berharap apa-apa terhadap
hartanya, maka jika terjadi sedikit percampuran tanpa disengaja, ia tidaklah berdosa. Sebaliknya, barang
siapa yang berniat buruk, missalnya percampuran yang dilakukannya agar dapat memakan harta anak yatim,
maka seperti itulah yang berdosa, sebagaimana ka’idah “Al Wasaa’il lahaa ahkaamul maqaashid” (wasilah
tergantung tujuan). Dalam ayat ini terdapat dalil bolehnya mencampurkan harta kita dengan anak yatim
ketika makan, minum, mengadakan ‘akad dsb. Hal ini merupakan rukhshah (keringanan) dari Allah
Subhaanahu wa Ta’aala.
Dalam mengurus anak yatim prinsip kita berdasarkan ayat ini adalah “melakukan yang terbaik atau yang
lebih bermaslahat bagi mereka”.
Ada yang mengartikan “jika kamu mencampurkan nafkah belanja kamu dengan nafkah belanja mereka”,
maka mereka (anak yatim) tersebut adalah saudara kita, yakni tidak mengapa karena mereka adalah saudara
kita, di mana saudara itu biasanya mencampurkan harta dengan saudaranya.
Orang yang mengadakan kerusakan adalah orang yang menyia-nyiakan harta anak yatim ketika dirinya
diserahi untuk mengurus harta mereka, sedangkan orang yang mengadakan kebaikan adalah orang yang
mengurus harta mereka dengan kepengurusan yang bermaslahat bagi mereka.
Allah memiliki kekuatan yang sempurna dan kekuasaan terhadap segala sesuatu, namun Dia Maha
Bijaksana, yakni tidak bertindak kecuali sesuai hikmah-Nya yang sempurna. Oleh karena itu, Dia tidaklah
menciptakan sesuatu main-main, dan tidaklah menetapkan syari’at yang kosong dari hikmah. Dia tidaklah
memerintah kecuali jika di sana terdapat maslahat yang murni atau lebih besar maslahatnya, dan tidaklah
melarang kecuali karena di dalamnya terdapat mafsadat murni atau lebih besar mafsadatnya.