Menurut sebagian besar ulama tafsir, ayat ini diturunkan di Madinah. Adapun asbabun nuzul dari ayat ini, dikutip dari Imam Ibnu Katsir versi Terjemahan Jilid-1 h. 425-426.
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ, قَالَ: حَدَّثَنَا جَرِيْرٌ, عَنْ عَطَاءٍ, عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْرٍ, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ, قَالَ: لَمَّا أَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: (وَلَا تَقْرَبُوْا مَالَ الْيَتِيْمِ إِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ…, وَ (إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا…, الْآيَةَ. انْطَلَقَ مَنْ كَانَ عِنْدَهُ يَتِيْمٌ, فَعَزَلَ طَعَامَهُ مِنْ طَعَامِهِ, وَشَرَابَهُ مِنْ شَرَابِهِ. فَجَعَلَ يَفْضُلُ مِنْ طَعَامِهِ, فَيُحْبَسُ لَهُ حَتَّى يَأْكُلَهُ أَوْ يَفْسُدَ, فَاشْتَدَّ ذَالِكَ عَلَيْهِمْ. فَذَكَرُوْا ذَالِكَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: (…وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلَاحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوْهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ…). فَخَلَطُوْا طَعَامَهُمْ بِطَعَامِهِ, وَشَرَابَهُمْ بِشَرَابِهِ.
“‘Utsmân bin Abî Syaibah telah bercerita kepada kami (kepada Abû Dâwud), dia (‘Utsmân bin Abî Syaibah) berkata: “Jarîr bin ‘Abdul Hamîd telah bercerita kepada kami (kepada ‘Utsmân bin Abî Syaibah), dari ‘Athâ bin as-Sâib, dari Sa’îd bin Jubair, dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs, dia (‘Abdullâh bin ‘Abbâs) berkata: “Ketika Allâh SWT. menurunkan Surat al-Isrâ, Ayat: 34:
(…. وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ)
- Dan janganlah kalian mendekati harta Anak Yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) ………….”.
“(‘Abdullâh bin ‘Abbâs melanjutkan periwayatannya): “Dan Surat an-Nisâ, Ayat: 10:
(…. إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا )
- Sesungguhnya orang-orang yang memakan Harta Anak Yatim secara zalim…”.
“(‘Abdullâh bin ‘Abbâs melanjutkan periwayatannya): “Lalu pergilah orang yang memiliki Anak Yatim. Kemudian ia (orang yang memiliki Anak Yatim) memisahkan Makanannya dari Makanan Anak Yatim (yang ia asuh); dan juga memisahkan Minumannya dari Minuman Anak Yatim (yang ia asuh). Dan membiarkan saja sisa makanan Anak Yatim (yang ia asuh) hingga ia memakannya kembali, ataupun hingga (sisa makanan Anak Yatim tersebut menjadi) basi. Hal itu memberatkan mereka (memberatkan Kaum Muslimîn yang memiliki Anak Yatim). Lalu mereka (Kaum Muslimîn yang memiliki Anak Yatim) menceritakan (mengadukan) hal tersebut kepada Rasûllâh SAW. Maka Allâh SWT. menurunkan Surat al-Baqarah, Ayat: 220:
(….فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوْهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ )
- Tentang Dunia dan Akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu (wahai Nabi Muhammad) tentang Anak Yatim, katakalah (wahai Nabi Muhammad): “Mengasuh mereka (mengasuh Anak Yatim) secara patut adalah suatu kebaikan, dan jika kalian bergaul dengan mereka (dengan Anak Yatim), maka mereka (Anak Yatim) adalah saudara kalian…….………”.
“(‘Abdullâh bin ‘Abbâs melanjutkan periwayatannya): “Kemudian mereka (Kaum Muslimîn yang memiliki Anak Yatim) mencampurkan (menyatukan) Makanan mereka dengan Makanan Anak Yatim (yang mereka asuh); dan juga mencampurkan (menyatukan) Minuman mereka (Kaum Muslimîn yang memiliki Anak Yatim) dengan Minuman Anak Yatim (yang mereka asuh)”.