Fatwa dan Taushiyah keagamaan harus dilakukan seorang mufti yang alim dan kredible, baik ketika memberikan penjelasan atau memberikan jawaban atas persoalan yang diajukan 1]. Hal ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat al-Nisa’ ayat 127 sebagai berikut:
وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ ۖ قُلِ اللَّـهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ (سورة النساء: 4/127)
Artinya: “Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka…” (QS. al-Nisa’/4:127).
Tujuan memberikan fatwa adalah menjelaskan hukum Allah dan Rasul-Nya kepada masyarakat yang akan mempedomani dan mengamalkannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika hampir seluruh kitab Ushul Fiqh membicarakan masalah ifta’ dan menetapkan sejumlah prinsip, adab (kode etik), dan persyaratan ketat yang harus dipenuhi setiap orang yang akan memberikan fatwa. Di antara prinsip dan persyaratan tersebut ialah, seorang mufti harus mengetahui hukum Islam secara mendalam berikut dalil-dalilnya. Seorang mufti tidak dibenarkan berfatwa hanya didasarkan keinginan dan kepentingan tertentu atau dugaan-dugaan semata tanpa didasarkan pada argument (dalil) yang bisa dipertanggung- jawabkan secara ilmiah 2].
Menurut imam al-Nawawi al-Dimasyqi 3], di antara prinsip dan persyaratan memberikan fatwa, mufti harus: mengetahui ilmu-ilmu al-Qur’an dan hadits, mengetahui hukum Islam secara mendalam berikut dalil-dalilnya, baik dari al-Qur’an maupun hadits, memahami cara menggali (istinbat) hukum dan solusinya 4].
Ketika mengeluarkan fatwa, seorang mufti menerangkan hukum agama dari suatu persoalan sebagai respon atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan peminta fatwa (mustafti), baik perseorangan maupun kolektif, baik dikenal ataupun tidak, berdasarkan jawaban yang ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan, baik di dunia maupun di akhirat kelak 5].
Di zaman modern ini, permasalahan umat, baik masalah sosial-keagamaan, politik-ketatanegaraan, maupun sosial-kemasyarakatan berkembang dengan pesat. Permasalahan-permasalahan yang muncul ini kadang-kadang tidak ditemukan jawabannya secara literal, baik dalam al- Qur’an maupun al-Sunnah. Di sinilah para ulama dituntut untuk berijtihad dalam memberikan jawaban dan bimbingan kepada umat melalui fatwa atau nasehat keagamaan sesuai etika dan syarat-syarat yang telah dirumuskan para ulama.
Realitasnya, tidak semua orang memiliki kualifikasi sebagai mufti, terlebih di zaman sekarang ketika penguasaan terhadap ilmu-ilmu agama semakin terpisah-pisah (spesifik). Jarang sekali ada ulama yang menguasai pelbagai cabang ilmu agama sekaligus. Karena keterbatasan ini, tugas memberikan fatwa pada perkembangannya dilakukan secara kolektif oleh ulama yang terhimpun dalam sebuah lembaga keagamaan, misalnya: MUI, NU, Muhammadiyah, Persis, dan sebagainya.
Pada sisi yang lain, para ulama sekarang ini merasa miris dan prihatin, di mana memberikan fatwa, bimbingan, dan nasehat kepada umat, nampaknya sekarang ini ”boleh” dilakukan siapa saja, baik pada waktu ta’lim (memberikan pengajaran) di majlis ta’lim atau di masjid, pada waktu talkshow di radio, on air di televisi, internet, dan media lainnya. Otoritas memberikan fatwa yang dahulu hanya dilakukan para mufti (mujtahid) atau lembaga fatwa yang sudah teruji, belakangan telah ”diambil alih” para da’i, mubaligh, dan artis yang secara kualitatif di antara mereka sebenarnya jauh dari cukup layak dan tidak capable untuk menjadi ”mufti dadakan” karena belum terpenuhinya syarat- syarat menjadi mufti sebagaimana dirumuskan para ulama.
Pernah, misalnya seorang ”ustadzah” ketika siaran di radio ternama di Jakarta, ditanya pendengar, ”Bagaimana hukum perempuan yang lagi haidh ikut pengajian di dalam masjid?” Dengan enteng si ”ustadzah” menjawab, ”Tidak apa- apa. Di zaman modern ini wanita boleh ikut pengajian di dalam masjid. Kan sekarang sudah ada teknologi (pembalut) yang bisa mengatasi saat mestruasi sehingga tidak mengotori masjid?”. Demikian si ustadzah menjawab.
Dari ilustrasi jawaban ”ustadzah” tersebut, ada beberapa catatan. Pertama, dari cara menjawab persoalan, jelas tidak mengikuti standar atau metode yang dirumuskan ulama dalam menetapkan fatwa. Setidaknya, kekeliruan (baca: kecerobohan) si ustadzah dalam menjawab persoalan ini, terlihat dari: (1) si ustadzah dalam menjawab pertanyaan tidak menyebut dalil al-Qur’an maupun hadits; (2) si ustadzah tidak menyebut maraji’ (referensi) jawaban; ada di kitab apa, siapa pengarangnya, (3) persoalan al-muktsu fi al-masjid bagi perempuan yang lagi menstruasi ada khilafiah atau tidak di antara ulama, dan sebagainya. Kedua, dari segi metode, si ustadzah sama sekali tidak mengikuti metode penetapan fatwa sebagaimana dilakukan ulama atau ormas Islam yang sudah teruji diterima masyarakat sebagai representasi salah satu pemegang otoritas dalam menetapkan fatwa.
Pernah juga di salah satu acara talkshow di TV yang disiarkan secara on air (live), si ustadz dengan penuh percaya diri siap menjawab pertanyaan yang diajukan para pemirsa. Host sebagai moderator acara talkshow membuka pertanyaan kepada pemirsa. Tidak lama kemudian, banyak telpon dari pemirsa yang masuk. Si pemirsa lalu bertanya, ”Bagaimana cara shalat fardlu bagi orang yang berada di mobil (musafir)?” Dengan agak grogi si ustadz menjawab, ”Ya Shalat aja, seperti biasanya. Itu kan dlarurat. Jadi kiblat nya kemana aja”, sambil mengutip ayat al-Qur’an:
Artinya: “Ke manapun kamu menghadap, di situlah wajah Allah”
Ilustrasi contoh seperti ini sekarang sering kita saksikan di acara talkshow di TV-TV atau kita dengarkan on air dari stasiun radio, dan disiarkan secara live terutama di bulan Ramadhan.
Buku Fatwa dan Taushiyah MUI DKI Jakarta ini diharapkan bisa membantu menyelesaikan problem keagamaan dan kemasyarakatam yang lebih mashlahat bagi kepentingan umat, agama, nusa, dan bangsa.
Dalam buku ini, para pembaca akan mendapatkan informasi tentang: (1) Pedoman Dan Tata Cara Perumusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Provinsi DKI Jakarta (2) Fatwa MUI (3) Taushiyah MUI, dan (5) Kriteria Halal dan Haram Perspektif Islam.
- Amir Sa’îd, Mabâhits fi Ahkâm al-Fatwâ, (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1995), h. 31.
- Fuad Thohari, Pedoman Penetapan Fatwa Bagi Da’I, (Jakarta: MUI DKI Jakarta, 2013), h. 1-8
- Yahya bin Syaraf bin Mura bin Hasan bin Husain bin Hazam.
Dilahirkan di Nawa pada bulan Muharram 631 H./1233 M. Al-Nawawi tidak hanya dikenal sebagai pengarang produktif, tetapi dikenal sebagai ulama yang zuhud. Ulama menggelari al-Nawawi sebagai penghidup agama (muhyi al-dîn). Begitu luasnya ilmu yang dimiliki, beliau juga digelari syaikh al-islâm dan ilmunya para wali. Al-Nawawi merupakan nisbat bagi tempat kelahiran dan wafatnya, Nawa; negeri di Hawran, Syam (Siria). Karya al-Nawawi ada yang selesai dan banyak juga yang belum selesai penulisannya. Karya yang diselesaikan antara lain: Syarh Shahîh Muslim, Riyâdh al-Shâlihîn, al-Adzkâr, al-Irsyâd fî ‘Ulûm al-Hadîts, al-Minhâj, Daqâiq al-Minhâj, Tahdzîb al-Asmâ’ wa al-Lughât, dan lain-lain. Sedangkan karya tulis yang belum diselesaikan antara lain: al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Syarh Shahîh al-Bukhârî, al- Tanqîh, dan sebagainya. al-Nawawi sempat berkunjung ke Bait al-Maqdis, kemudian kembali ke kampung halamannya. Di tempat kelahirannya beliau menderita sakit dan akhirnya meninggal di pangkuan orang tuanya pada malam Rabu, 24 Rajab 676 H /21 Desember 1277, dalam usia 45 tahun. Lihat, Yahya bin Syaraf bin Mura, Riyâdh al-Shâlihîn, (Makkah: Dâr al-Qiblat li Al-Tsaqâfât al-Islâmiyyah, 1990), h. 11-21. - Pernyataan Imam Nawawi sebagai berikut: Syarat mufti: orang yang mukallaf dan muslim, adil dan terpercaya, terjaga dari sebab fasik dan menjaga kehormatan, mendalam ilmunya, bersih hatinya, jernih pikrannya, serta mengetahui cara istinbat hukum serta solusinya”. Lihat, al-Nawawi al-Dimasyqi, Adab al-Fatwa wa al-Muftî wa al- Mustafti, (Tt.: Mauqi’ul Islam, tth.), h. 6-8. Lihat juga, http://www.al- Islam.com.
- Yûsuf al-Qardlâwi, al-Fatwâ Bain al-Indhibath wa al-Tasayyub, (Mesir: Dâr al-Qalam, tt.), h. 5.