Bismillahirrahmanirrahim
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta, dalam rapatnya yang berlangsung pada hari Sabtu tanggal 11 November 2017 M/22 Shafar 1439 H yang membahas tentang Hukum Pengenaan Sanksi Materi Berupa Denda, Penyitaan, Pemusnahan, Dan Penjualan Aset Milik Pelanggar Hukum, setelah:
MEMBACA:
Pertanyaan dari masyarakat tentang hukum menyita aset kekayaan milik pelanggar hukum,
MENIMBANG:
- Bahwa Keadilan adalah pilar utama dalam sistim peradilan.
- Bahwa tujuan penerapan sanksi bukanlah didasari oleh keinginan menghukum itu sendiri, tetapi dalam rangka penegakan hukum untuk menciptakan ketertiban, dan ketentraman, dan keadilan bagi sesama.
- Bahwa pertimbangan nurani harus diabaikan saat nurani bertentangan al-maqaashid asy syar’iyyah.
- Bahwa semua tindakan warga negara Indonesia akan dipertanggungjawabkan setidaknya dari dua perspektif; perspektif hukum Islam (syari’at) sebagai tanggung jawab pribadi hubungannya dengan Allah SWT dan perspektif hukum positif (UU) sebagai tanggung jawab negara hubungannya dengan ulil amri (pemerintah). Sebagai warga negara yang baik, apa yang menjadi ketentuan hukum positif, wajib ditaati sepanjang masih sejalan dengan ketentuan dan norma hukum Allah.
- Bahwa kepentingan masyarakat luas harus diutamakan daripada kepentingan individu saat terjadi benturan kepentingan.
- Bahwa kebebasan mendapatkan kekayaan tidak bersifat bebas mutlak, tetapi terikat oleh prinsip lain yaitu tidak boleh mengganggu kepentingan orang lain.
- Bahwa seluruh harta setiap muslim adalah haram bagi muslim lain kecuali diambil atau diperoleh dengan cara-cara yang dibenarkan Syariat.
MENGINGAT:
1. Firman Allah SWT, antara lain:
a. Q.S. Al-Baqarah/2: 179
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (179)
Dan dalam qishaash itu ada (jaminan) kehidupan bagi kalian, wahai orang-orang yang berakal agar kalian bertakwa.
b. Q.S. Al-Nur/24: 2
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
c. Q.S. Al-Nisa`/4: 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.
d. Q.S. Al-Baqarah/2: 188
وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kalian dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (cara) dosa, padahal kalian mengetahui.
e. Q.S. Al-Nisa`/4: 29
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ …
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil, kecuali melalui perniagaan yang didasari oleh saling ridha di antara kalian …
f. Q.S. Al-Tawbah/9: 107-108
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِداً ضِرَاراً وَكُفْراً وَتَفْرِيقاً بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَاداً لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلاَّ الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ (107) لا تَقُمْ فِيهِ أَبَداً لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ (108)
107. Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan bencana (pada orang-orang yang beriman), untuk kekafiran, dan untuk memecah belah di antara orang-orang yang beriman, serta untuk menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka dengan pasti bersumpah, “Kami hanya menghendaki kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa mereka itu pendusta (dalam sumpahnya).
108. Janganlah kamu melaksanakan shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih pantas kamu melaksanakan shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Allah menyukai orang-orang yang bersih.
2. Hadis Nabi Muhammad SAW, antara lain:
a. Hadis riwayat Ahmad
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ… الحديثَ
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas −semoga Allah meridhainya. Dia berkata, Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− bersabda, “Tidak (boleh) ada bahaya atau kerugian bagi diri sendiri dan tidak (boleh) membahayakan orang lain”
b. Hadis riwayat Ahmad
عَنْ أَبِي الشَّمَّاخِ الْأَزْدِيِّ عَنِ ابْنِ عَمٍّ لَهُ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , أَتَى مُعَاوِيَةَ ، فَدَخَلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : مَنْ وَلِيَ أَمْرًا مِنْ أَمْرِ النَّاسِ ، ثُمَّ أَغْلَقَ بَابَهُ دُونَ الْمِسْكِينِ وَالْمَظْلُومِ أَوْ ذِي الْحَاجَةِ ، أَغْلَقَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى دُونَهُ أَبْوَابَ رَحْمَتِهِ عِنْدَ حَاجَتِهِ وَفَقْرُهُ أَفْقَرُ مَا يَكُونُ إِلَيْهَا .
Diriwayatkan dari Abi Syammakh Al-Azdi, dari keponakannya (seorang sahabat Rasulullah −shalawat dan salam untuknya−). Ia mendatangi Mua’wiyah lalu masuk kepadanya. Lalu Mu’awiyah berkata, Aku mendengar Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− bersabda, “Siapa yang mengatur salah satu urusan manusia kemudian ia menutup pintunya bagi orang miskin atau orang yang dizhalimi atau orang yang mempunyai keperluan, maka Allah akan menutup untuknya pintu kasih sayangNya saat ia membutuhkannya. (Sehingga) kebutuhannya (terhadap kasih sayangNya) akan menjadi lebih mendesak.”
c. Hadis riwayat Abu Dawud
عَنْ بَهْزٍ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : وَمَنْ مَنَعَهَا فَأَنَا آخُذُهَا وَشَطْرَ مَالِهِ عَزْمَةً مِنْ عَزَمَاتِ رَبِّنَا ، لَيْسَ لِآلِ مُحَمَّدٍ فِيهَا شَيْءٌ .
Diriwayatkan dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya (Mu’awiyah), dari Rasulullah −shalawat dan salam untuknya. Beliau bersabda, “Siapa yang enggan membayar zakat (untanya) maka aku akan mengambilnya (secara paksa) dan setengah dari hartanya sebagai salah satu hak Tuhan kami. Tidak ada sedikit pun dari itu (zakat) untuk keluarga Muhammad SAW.”
d. Hadis riwayat Abu Dawud
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الثَّمَرِ الْمُعَلَّقِ فَقَالَ : مَنْ أَصَابَ بِفِيهِ مِنْ ذِى حَاجَةٍ غَيْرَ مُتَّخِذٍ خُبْنَةً فَلاَ شَىْءَ عَلَيْهِ وَمَنْ خَرَجَ بِشَىْءٍ مِنْهُ فَعَلَيْهِ غَرَامَةُ مِثْلَيْهِ وَالْعُقُوبَةُ وَمَنْ سَرَقَ مِنْهُ شَيْئًا بَعْدَ أَنْ يُئْوِيَهُ الْجَرِينُ فَبَلَغَ ثَمَنَ الْمِجَنِّ فَعَلَيْهِ الْقَطْعُ
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, dari Rasulullah −shalawat dan salam untuknya. Beliau ditanya tentang (sanksi mencuri) buah (kurma) yang masih tergantung (di pohonnya). Beliau menjawab, “Siapa yang memakannya dari orang yang membutuhkan tanpa menyimpannya di lipatan (pakaiannya) maka tidak ada (sanksi) apapun untuknya. Siapa yang meninggalkannya dengan membawa sesuatu dari buah itu maka ia dibebani penggantian dua kali ganda dan sanksi ta’zir. Siapa yang mencurinya setelah dibentangkan di lokasi pengeringan kurma sehingga nilainya setara nilai perisai/pelindung maka (sanksi) potong tangan untuknya.”
3. Atsar Sa’d bin Abi Waqqash riwayat Muslim
عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ، أَنَّ سَعْدًا رَكِبَ إِلَى قَصْرِهِ بِالْعَقِيقِ، فَوَجَدَ عَبْدًا يَقْطَعُ شَجَرًا، أَوْ يَخْبِطُهُ، فَسَلَبَهُ، فَلَمَّا رَجَعَ سَعْدٌ، جَاءَهُ أَهْلُ الْعَبْدِ فَكَلَّمُوهُ أَنْ يَرُدَّ عَلَى غُلَامِهِمْ – أَوْ عَلَيْهِمْ – مَا أَخَذَ مِنْ غُلَامِهِمْ، فَقَالَ: «مَعَاذَ اللهِ أَنْ أَرُدَّ شَيْئًا نَفَّلَنِيهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبَى أَنْ يَرُدَّ عَلَيْهِمْ
Amir bin Sa’d menceritakan bahwa Sa’d (ayahnya, 23 SH/55 H) berkendara (dari Madinah) menuju tempat tinggalnya di al ‘Aqiq (sebuah daerah dekat Madinah) lalu mendapati seorang budak sedang menebang pohon (Madinah) atau menggugurkan daunnya. Sa’d pun mengambil salab-nya (melucutinya).
Ketika kembali ke Madinah, keluarga si budak mendatanginya, mereka berbicara kepada Sa’;d agar mengembalikan apa yang diambilnya kepada budaknya atau kepada mereka. Sa’d menjawab, “Aku berlindung kepada Allah dari mengembalikan apa yang aku diberi hak merampasnya oleh Rasulullah −shalawat dan salam untuknya. Beliau menolak mengembalikannya kepada mereka.”
4. Kaidah fiqh
يُتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الْخَاصُّ لِأَجْلِ دَفْعِ ضَرَرِ الْعَامِّ (الأشباه لابن النجيم: 87)
Kerugian yang bersifat khusus dapat diemban untuk menghindari kerugian yang bersifat umum. 1]
MEMPERHATIKAN:
Pendapat para ulama, antara lain:
a. Abu Yusuf (dari kalangan Hanafiyyah) sebagai dikutip oleh Al-Babarti (714 – 786 H).
وَقَدْ قِيلَ رُوِيَ عَنْ أَبِي يُوسُفَ أَنَّ التَّعْزِيرَ مِنْ السُّلْطَانِ بِأَخْذِ الْمَالِ جَائِزٌ
Dikatakan, diriwayatkan dari Abu Yusuf bahwa dia berpendapat ta’zir oleh penguasa dengan cara menyita harta adalah boleh. 2]
b. Ibn Al-Humam
وَمِنْ جُمْلَةِ ذَلِكَ رَجُلٌ لَا يَحْضُرُ الْجَمَاعَةَ يَجُوزُ تَعْزِيرُهُ بِأَخْذِ الْمَالِ مَبْنِيٌّ عَلَى اخْتِيَارِ مَنْ قَالَ بِذَلِكَ مِنْ الْمَشَايِخِ كَقَوْلِ أَبِي يُوسُفَ.
Di antara itu (maksudnya, ta’zir dengan mengambil aset pelaku) adalah seorang lelaki yang tidak hadir mengikuti shalat berjamaah di masjid dapat dita’zir dengan cara menyita kekayaannya. Pendapat ini dibangun berdasarkan pertimbangan pendapat masyayikh (Hanafiyyah) yang mengizinkan hal itu, sama halnya dengan pendapat Abu Yusuf. 3]
c. Al-imam Al-Syafi’i (dalam al-qawl al-qadim) −tentang wajib zakat yang enggan/pelit membayar zakat− sebagai dikutip oleh Al-Syirazi (393 – 476 H).
وَقَالَ فِي الْقَدِيمِ تُؤْخَذُ الزَّكَاةُ وَشَطْرُ مَالِهِ عُقُوبَةً (لَهُ).
Al-Syafi’i dalam qawl qadim berpendapat, zakatnya diambil (paksa) ditambah setengah dari apa yang dimilikinya sebagai bentuk sanksi (ta’zir) untuknya. 4]
d. Al-imam Al-Syafi’i (dalam al-qawl al-qadim), sebagai dikutip oleh Al-Nawawi, berpendapat bahwa orang yang membunuh hewan buruan di tanah suci Madinah atau menebang pohonnya maka dikenai sanksi dengan menyita salab-nya.
وَفِي هَذَا الْحَدِيث دَلَالَة لِقَوْلِ الشَّافِعِيّ الْقَدِيم: إِنَّ مَنْ صَادَ فِي حَرَم الْمَدِينَة أَوْ قَطَعَ مِنْ شَجَرهَا أُخِذَ سَلَبُهُ، وَبِهَذَا قَالَ سَعْد بْن أَبِي وَقَّاصٍ وَجَمَاعَة مِنْ الصَّحَابَة، قَالَ الْقَاضِي عِيَاض: وَلَمْ يَقُلْ بِهِ أَحَد بَعْد الصَّحَابَة إِلَّا الشَّافِعِيّ فِي قَوْله الْقَدِيم، وَخَالَفَهُ أَئِمَّة الْأَمْصَار.
قُلْت: وَلَا تَضُرّ مُخَالَفَتهمْ إِذَا كَانَتْ السُّنَّة مَعَهُ، وَهَذَا الْقَوْل الْقَدِيم هُوَ الْمُخْتَار لِثُبُوتِ الْحَدِيث فِيهِ وَعَمَل الصَّحَابَة عَلَى وَفْقِهِ، وَلَمْ يَثْبُت لَهُ دَافِع
Dalam hadis ini terdapat petunjuk yang mendukung pendapat Al-Syafi’i (dalam qawl qadim) bahwa orang yang membunuh hewan buruan di Madinah atau menebang salah satu pohonnya maka salab-nya disita. Pendapat ini merupakan pendapat Sa’d bin Abi Waqqash dan sekelompok sahabat lainnya. Al Qadhi ‘Iyyadh mengatakan, tidak ada seorang pun setelah shahabat Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− yang berpendapat seperti ini kecuali Al-Syafi’i dalam qawl qadim. Sedangkan para ulama lain berbeda dengan beliau.
Saya (Al-Nawawi) mengatakan, tidak masalah bila ulama lain berbeda pendapat dengan beliau jika Sunnah berada di pihaknya. Dalam hal ini, al-qawl al-qadim ini adalah pendapat yang dipilih berdasarkan kesahihan hadis dan praktek shahabat yang sesuai dengannya. Di samping itu, tidak ada dalil lain yang menolaknya. 5]
Lalu Al-Nawawi mengemukakan tentang yang dimaksud dengan salab dalam hal ini.
فَالْمُرَاد بِالسَّلَبِ وَجْهَانِ: أَحَدهمَا: أَنَّهُ ثِيَابه فَقَطْ، وَأَصَحّهمَا وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُور أَنَّهُ كَسَلَبِ الْقَتِيل مِنْ الْكُفَّار، فَيَدْخُل فِيهِ فَرَسه وَسِلَاحه وَنَفَقَته وَغَيْر ذَلِكَ مِمَّا يَدْخُل فِي سَلَبِ الْقَتِيل
Terdapat 2 (dua) pendapat di kalangan murid al-Imam Al- Syafi’i mengenai apa yang dimaksud dengan salab di sini. Pendapat pertama, salab adalah pakaian-pakaiannya saja. Sedangkan pendapat shahih yang dipastikan oleh mayoritas, salab di sini adalah layaknya salab kafir yang terbunuh (saat berperang melawan muslim). Dengan demikian termasuk kuda, senjata, bekal, dan lain-lainnya yang menjadi bagian dalam salab kafir yang terbunuh. 6]
e. Ibnu Taymiyyah Al-Harani (661 – 728H)
فَصْلٌ وَالتَّعْزِيرُ بِالْعُقُوبَاتِ الْمَالِيَّةِ “مَشْرُوعٌ أَيْضًا فِي مَوَاضِعَ مَخْصُوصَةٍ فِي مَذْهَبِ مَالِكٍ فِي الْمَشْهُورِ عَنْهُ; وَمَذْهَبِ أَحْمَد فِي مَوَاضِعَ بِلَا نِزَاعٍ عَنْهُ، وَفِي مَوَاضِعَ فِيهَا نِزَاعٌ عَنْهُ، وَالشَّافِعِيُّ فِي قَوْلٍ، وَإِنْ تَنَازَعُوا فِي تَفْصِيلِ ذَلِكَ كَمَا دَلَّتْ عَلَيْهِ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مِثْلِ إبَاحَتِهِ سَلَبَ الَّذِي يَصْطَادُ فِي حَرَمِ الْمَدِينَةِ لِمَنْ وَجَدَهُ، وَمِثْلِ أَمْرِهِ بِكَسْرِ دِنَانِ الْخَمْرِ وَشَقِّ ظُرُوفِهِ، وَمِثْلِ أَمْرِهِ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ بِحَرْقِ الثَّوْبَيْنِ الْمُعَصْفَرَيْنِ; وَقَالَ لَهُ: أَغْسِلُهُمَا؟ قَالَ: لَا بَلْ احْرِقْهُمَا، وَأَمْرِهِ لَهُمْ يَوْمَ خَيْبَرَ بِكَسْرِ الْأَوْعِيَةِ الَّتِي فِيهَا لُحُومُ الْحُمُرِ. ثُمَّ لَمَّا اسْتَأْذَنُوهُ فِي الْإِرَاقَةِ أَذِنَ; فَإِنَّهُ لَمَّا رَأَى الْقُدُورَ تَفُورُ بِلَحْمِ الْحُمُرِ أَمَرَ بِكَسْرِهَا وَإِرَاقَةِ مَا فِيهَا ، فَقَالُوا: أَفَلَا نُرِيقُهَا وَنَغْسِلُهَا؟ فَقَالَ: افْعَلُوا، فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى جَوَازِ الْأَمْرَيْنِ; لِأَنَّ الْعُقُوبَةَ بِذَلِكَ لَمْ يَكُنْ وَاجِبَةً.
وَمِثْلِ هَدْمِهِ لِمَسْجِدِ الضِّرَارِ، وَمِثْلِ تَحْرِيقِ مُوسَى لِلْعِجْلِ الْمُتَّخَذِ إلَهًا، وَمِثْلَ تَضْعِيفِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْغُرْمَ عَلَى مَنْ سَرَقَ مِنْ غَيْرِ حِرْزٍ، وَمِثْلَ مَا رُوِيَ مِنْ إحْرَاقِ مَتَاعِ الْغَالِّ، وَمِنْ حِرْمَانِ الْقَاتِلِ سَلَبَهُ لَمَّا اعْتَدَى عَلَى الْأَمِيرِ، وَمِثْل أَمْرِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ بِتَحْرِيقِ الْمَكَانِ الَّذِي يُبَاعُ فِيهِ الْخَمْرُ، وَمِثْل أَخْذِ شَطْرِ مَالِ مَانِعِ الزَّكَاةِ، وَمِثْلِ تَحْرِيقِ عُثْمَانَ بْنِ عفان الْمَصَاحِفَ الْمُخَالِفَةَ لِلْإِمَامِ، وَتَحْرِيقِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لِكُتُبِ الْأَوَائِلِ وَأَمْرِهِ بِتَحْرِيقِ قَصْرِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ الَّذِي بَنَاهُ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَحْتَجِبَ عَنْ النَّاسِ فَأَرْسَلَ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمة وَأَمَرَهُ أَنْ يُحَرِّقَهُ عَلَيْهِ فَذَهَبَ فَحَرَّقَهُ عَلَيْهِ.
وَهَذِهِ الْقَضَايَا كُلُّهَا صَحِيحَةٌ مَعْرُوفَةٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ بِذَلِكَ وَنَظَائِرُهَا مُتَعَدِّدَةٌ.
وَمَنْ قَالَ: إنَّ الْعُقُوبَاتِ الْمَالِيَّةَ مَنْسُوخَةٌ وَأَطْلَقَ ذَلِكَ عَنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَأَحْمَد فَقَدْ غَلِطَ عَلَى مَذْهَبِهِمَا. وَمَنْ قَالَهُ مُطْلَقًا مِنْ أَيِّ مَذْهَبٍ كَانَ: فَقَدْ قَالَ قَوْلًا بِلَا دَلِيلٍ. وَلَمْ يَجِئْ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْءٌ قَطُّ يَقْتَضِي أَنَّهُ حَرَّمَ جَمِيعَ الْعُقُوبَاتِ الْمَالِيَّةِ بَلْ أَخْذُ الْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ وَأَكَابِرُ أَصْحَابِهِ بِذَلِكَ بَعْدَ مَوْتِهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ ذَلِكَ مُحْكَمٌ غَيْرُ مَنْسُوخٍ.
Fashl: Ta’zir berupa sanksi atas aset juga dilegalkan (baca: dibolehkan) dalam madzhab Malik untuk beberapa kasus tertentu berdasarkan riwayat yang masyhur, dalam madzhab Ahmad di mana untuk beberapa kasus (tanpa perbedaan pendapat di kalangan mereka) dan beberapa kasus lain masih menjadi perdebatan di antara mereka, dan dalam madzhab Al-Syafi’i mengikut salah satu qawl-nya. Demikian, meskipun mereka berbeda pendapat dalam detailnya.
(Sanksi dalam bentuk aset ini) sebagai ditunjukkan oleh Sunnah Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− seperti:
- mengizinkan penyitaan salab milik mereka yang berburu di wilayah Haram Madinah untuk diambil oleh orang yang nenangkap mereka,
- perintah beliau −shalawat dan salam untuknya− memecahkan kendi khamr dan merobek/membelah wadahnya,
- perintah beliau −shalawat dan salam untuknya− kepada Abdullah bin ‘Amr untuk membakar baju yang diwarnai pewarna dari tumbuhan kesumba (mu’ashfar). Saat itu Abdullah meminta izin untuk mencucinya (agar warnanya hilang), tetapi beliau bersabda, “Tidak! Bakarlah!”,
- perintah beliau −shalawat dan salam untuknya− kepada para shahabat di saat perang Khaybar agar memecahkan wadah-wadah yang di dalamnya terdapat daging himar. Namun ketika mereka meminta izin agar membuang isinya saja, beliau −shalawat dan salam untuknya− mengizinkannya. Pada waktu itu beliau melihat wadah masak (seperti panci bertutup yang terbuat dari tembaga atau tanah. Penj) dengan isinya berupa daging himar yang sednag mendidih, beliau menyuruh memecahkannya dan membuang isinya. Para shahabat bertanya “Apakah kami dapat membuangnya, lalu mencucinya (tanpa memecahkannya).” Beliau menjawab, “Lakukanlah!”. Hal ini menunjukkan bahwa kedua hal tersebut (memecah dan membuang isinya atau membuang isinya saja) adalah boleh karena sanksi dengan cara tersebut memang tidak mengikat.
- pengambrukkan majid Dhirar,
- pembakar sapi yang dijadikan sesembahan sebagaimana di era nabi Musa −salam untuknya,
- penggandaan pembayaran kerugian kepada pencuri yang mencuri barang yang diletakkan tidak pada tempat penyimpanannya yang selayaknya,
- kasus yang diriwayatkan berupa pembakaran aset pengkhianat (al-ghall),
- tidak memberi hak mengambil salab kepada pembunuh yang menyerang pemimpinnya,
- perintah Umar bin Al-Khaththab dan Ali bin Abi Thalib untuk membakar tempat juga untuk menjual khamr,
- mengambil (tambahan) setengah aset dari aset wajib zakat yang enggan membayar zakat,
- pembakaran mushaf yang berbeda dengan mushaf imam (Ustman) oleh Ustman bin ‘Affan,
- pembakaran buku-buku kuno oleh Umar bin Al-Khaththab,
- perintah Umar bin Al-Khaththab untuk memakar kediaman Sa’d bin Abi Waqqash yang dibangunnya saat ingin menghindari (keluhan) masyarakat. Umar mengirim Muhammad bin Maslamah dan memerintahkannya untuk membakarnya. Muhammad pun membakarnya,
- Semua kasus di atas adalah valid (shahih) dan para ulama mengetahui hal itu. Kasus-kasus lainnya yang senada beragam.
- Siapa yang berpendapat bahwa sanksi aset sudah di-naskh, atau (mengatakan) madzhab Malik dan Ahmad mengizinkannya secara mutlak maka ia telah salah (memahami) madzhab keduanya. Dan siapa yang mengatakan bahwa madzhab apa pun mengizinkannya secara mutlak maka dia mengatakan sesuatu tanpa bukti. Tidak satu pun dalil satu dari Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− yang menyatakan bahwa seluruh bentuk sanksi aset pelakunya diharamkan. Praktek para khalifah al-rasyidin dan tokoh-tokoh besar para shahabat yang mengenakan sanksi atas aset pelakunya adalah dalil bahwa sanksi model ini masih berlaku (muhkam), tidak di-naskh. 7]
MEMUTUSKAN:
MENETAPKAN:
HUKUM PENGENAAN SANKSI MATERI BERUPA DENDA, PENYITAAN, PEMUSNAHAN, DAN PENJUALAN BARANG SITAAN
Pertama : Ketentuan Umum
Yang dimaksud dengan:
- Ta’zir (sanksi) adalah segala bentuk hukuman badan atau material atas pelanggar hukum yang bentuknya tidak diatur secara spesifik oleh Al Qur`an atau Sunnah. Bentuk dan jenis ta’zir diputuskan dan diatur berdasarkan pertimbangan hakim atau undang-undang yang berlaku.
- Ta’zir maliy atau sanksi material adalah hukuman yang ditetapkan oleh hakim atau undang-undang yang berlaku kepada pelanggar hukum dalam bentuk menyita sebagian asetnya, menjualnya, dan/atau memusnahkannya.
- Pelanggaran imaterial adalah pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelakunya tanpa merugikan orang lain secara materi, seperti (contoh) mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan, pelanggaran lalu lintas, dan pelanggaran administrasi.
- Pelanggaran material adalah pelanggaran hukum yang mengakibatkan kerugian orang lain, seperti (contoh) korupsi, lari dari pemenuhan kewajiban materi, atau pelanggaran perjanjian bisnis.
Kedua : Ketentuan Hukum
- Dalam kasus pelanggaran atau kejahatan bersifat imaterial, penguasa atau pihak yang ditunjuk, boleh menjatuhkan sanksi atau hukuman yang bersifat material kepada pelakunya −namun tidak terbatas− berupa denda dan penyitaan aset pelakunya;
- Aset sitaan sebagaimana dimaksud di poin 1 selanjutnya boleh dimusnahkan, dihibahkan, atau dijual lalu hasil penjualannya dihibahkan kepada negara atau disalurkan untuk kepentingan sosial (kepentingan umum)
- Ketentuan sebagaimana dimaksud di poin 2 di atas menjadi hak hakim (qadhi) sesuai kebijakan dan keputusannya jika peraturan atau undang-undang belum mengatur secara spesifik;
- Dalam kasus pelanggaran atau kejahatan bersifat material, penguasa atau pihak yang ditunjuk boleh menjatuhkan sanksi atau hukuman yang bersifat material atas pelakunya untuk diberikan kepada pihak yang dirugikan yang nilainya lebih besar dari nilai kewajiban;
- Poin 1 dan 4 di atas harus dilakukan dengan mempertimbangkan kebijakan, keadilan, kondisi pelaku, dan penyebab yang menimbulkan pelanggarannya.
Ketiga : Rekomendasi
- Mengajak seluruh muslim untuk taat dan patuh kepada aturan pemerintah yang tidak bertentangan secara meyakinkan dengan syariat Islam;
- Mengajak seluruh pihak yang terkait dengan sistem peradilan untuk tidak memanfaatkan fatwa ini sebagai legalitas pembuatan aturan sanksi material secara semena-mena tanpa mempertimbangkan sisi kebijakan dan kepatutan;
- tidak memanfaatkan denda dan aset sitaan sanksi yang bersifat material yang diserahkan kepada negara untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya secara zhalim;
- tidak melakukan tawar menawar dalam penerapan sanksi yang sudah ditetapkan untuk meraih keuntungan pribadi atau kelompoknya;
Keempat : Ketentuan Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari membutuhkan penyempurnaan maka akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 November 2017
KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA PROVINSI DKI JAKARTA
Ketua, | Sekretaris, |
ttd | ttd |
Dr. K.H. A. Lutfi Fathullah, M.A. | Dr. K.H. Fuad Thohari, M.A. |
Mengetahui,
DEWAN PIMPINAN
MAJELIS ULAMA INDONESIA PROVINSI DKI JAKARTA
Ketua Umum, | Sekretaris Umum, |
ttd | ttd |
KH. A. Syarifuddin A. Gani, MA | KH. Zulfa Mustofa MY |
- Ibnu Nujaym, Al-Asybah wa Al-Nazha`ir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1419/1999), h. 74.
- Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud al-Babrti, al-‘Inayah Syarh al-Hidayah, Juz 5 (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 345.
- Ibn al-Humam, Fath al-Qadir, Juz 5 (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 345.
- Ibrahim ibn ‘Ali Al-Syirazi, Al-Muhadzdzab, Juz 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), h. 261.
- Yahya ibn Syaraf Al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘alaa Muslim, Juz 9 (Cet II; Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1392), h. 139.
- Ibid.
- Taqiyy al-din Ahmad bin Abd al-Halim, Majmu’ al-Fatawa, Juz 28 (Cet. III; Mesir: Dar al-Wafa`, 1426/2005), h. 109-111.