Hukum Memasang Foto Perempuan Di Media Sosial


Bismillahirrahmanirrahim

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta, dalam rapatnya yang berlangsung pada hari Ahad 12 November 2017 M / 23 Shafar 1439 H. yang membahas tentang HUKUM MEMASANG FOTO PEREMPUAN DI MEDIA SOSIAL, setelah:

MEMBACA:

  1. Fatwa MUI Pusat nomor 24 tahun 2017 tentang pedoman bermuamalah melalui media sosial;
  2. Hasil keputusan Bahtsul Masail Muktamar NU ke-32 di Makasar Tahun 2010 tentang Hukum akad (transaksi) jual beli melalui alat elektronik;
  3. Pertanyaan masyarakat tentang Hukum Memasang Foto di Media Sosial;
  4. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) No 11 Tahun 2008.

MENIMBANG:

  1. Bahwa Penggunaan media sosial seringkali tidak disertai dengan rasa tanggung jawab sehingga sering menjadi sarana untuk penyebaran informasi yang tidak benar, hoax¸ fitnah, ghibah, namimah, gosip, pemutarbalikan fakta, ujaran kebencian, permusuhan, kesimpangsiuran, informasi palsu, dan hal terlarang lainnya yang menyebabkan disharmoni sosial.
  2. Bahwa sering kali terjadinya penyalahgunaan poto perempuan dengan mengedit dan menyebarkannya ke media sosial

MENGINGAT:

1.    Firman Allah SWT, antara lain:

a.    Q.S. Al-Ahzab/33: 53

 وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.”

b.    Q.S. Al-Ahzab/33: 59

 يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

c.    Q.S. Al-Ahzab/33: 32

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

Wahai isteri-isteri Nabi, kalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kalian bertakwa. Maka janganlah kalian tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.

d.    Q.S. Al-Nur/24: 30-31

 قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ . وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا …

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya dan menjaga kemaluanya. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.

Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman agar mereka menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluanya dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali yang nampak darinya …

2.    Hadis Nabi Muhammad SAW:

Hadis riwayat Al-Hakim

ﺃَﻳُّﻤَﺎ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٍ ﺍﺳْﺘَﻌْﻄَﺮَﺕْ ﻓَﻤَﺮَّﺕْ ﻋَﻠَﻰ ﻗَﻮْﻡٍ ﻟِﻴَﺠِﺪُﻭﺍ ﻣِﻦْ ﺭِﻳﺤِﻬَﺎ ﻓَﻬِﻲَ ﺯَﺍﻧِﻴَﺔٌ

Siapa saja perempuan yang memakai wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harumnya maka dia adalah seorang pezina.

MEMPERHATIKAN:

Pendapat para ulama, antara lain:

a.    Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H)

لَمْ يَزَلِ الرِّجَالُ عَلَى مَمَرِّ الزَّمَانِ مَكْشُوفِي الْوُجُوهِ ، وَالنِّسَاءُ يَخْرُجْنَ مُتَنَقِّبَاتٍ

Sepanjang masa berjalan selama ini laki-laki terbuka wajahnya dan wanita keluar dengan niqab. 1]

b.    Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H)

وَلَمْ تَزَلْ عَادَةُ النِّسَاءِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا يَسْتُرْنَ وُجُوهَهَنَّ عَنِ الْأَجَانِبِ

Tradisi wanita (muslimah) dulu dan sekarang adalah menutup wajah mereka dari laki-laki lain. 2]

c.    Fatawi Darul Ifta’ Al-Mishriyah (Fatwa nomor 2475)

وإذا صورت المرأة نفسها من غير حجاب شرعي كامل فلتحرص على أن لا يرى هذه الصورةَ غيرُ محارمها؛ لأن أمر النساء مبنيٌّ على التصوُّن والتستُّر والعفاف، فإذا اطلع أجنبي بعد ذلك عليها مع حرصها على صَوْنِها عن من لا يحل له الاطلاع على عورتها –فلا إثم عليها ولا ذنب لها، ولا يُعتبر ذلك سيئةً جاريةً لها في حياتها ولا بعد وفاتها –كما يُقال–، ولكن ينبغي أن لا توضع في مكان يراه كل أحد بل تُصان وتُحفظ كما سبق بيانه

Jika seorang wanita memfoto dirinya sendiri tanpa hijab syar’i yang sempurna maka hendaklah dia menjaganya sehingga tidak terlihat oleh yang bukan mahramnya mengingat masalah kewanitaan (dalam Islam) dibangun di atas prinsip “menutup” dan “menjaga kesucian diri”. Jika seseorang yang bukan mahram melihtanya setelah itu, sementara dia sudah berusaha menyimpannya dari orang yang tidak halal melihat auratnya maka dia (wanita tersebut) tidak berdos dan apa yang dilakukannya bukan merupakan keburukan yang jariyah yang dosanya mengalir terus sepanjang hidup dan setelah kematiannya. Namun selayaknya tidak tidak meletakkan foto itu di tempat yang bisa dilihat oleh setiap orang. Sebaiknya ia menyimpan dan menjaganya sebagaimana sudah dijelaskan.

d.    Fatawi Al-Azhar, Juz : 7 Hal : 220

الفوائد وتعليق الصور فى المنازل
اختلف الفقهاء فى حكم الرسم الضوئى بين التحريم والكراهة، والذى تدل عليه الأحاديث النبوية الشريفة التى رواها البخارى وغيره من أصحاب السنن وترددت فى كتب الفقه، أن التصوير الضوئى للإنسان والحيوان المعروف الآن والرسم كذلك لا بأس به، إذا خلت الصور والرسوم من مظاهر التعظيم ومظنة التكريم والعبادة وخلت كلذلك عن دوافع تحريك غريزة الجنس وإشاعة الفحشاء والتحريض على ارتكاب المحرمات.
ومن هذا يعلم أن تعليق الصور فى المنازل لا بأس به متى خلت عن مظنة التعظيم والعبادة، ولم تكن من الصور أو الرسوم التى تحرض على الفسق والفجور وارتكاب المحرمات

Para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai hukum pengambilan gambar dengan alat fotografi antara haram dan makruh. Kesimpulan yang ditunjukkan oleh hadis-hadis Nabi −shalawat dan salam untuknya− yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, para penyusun kitab Sunan dan apa yang dibahas dalam buku-buku fiqh adalah bahwa pengambilan gambar dengan alat fotografi berupa foto manusia dan hewan yang dikenal sekarang dan juga melukisnya adalah tidak apa-apa jika foto dan lukisan tersebut bebas dari unsur pengagungan dan ibadah. Juga bebas dari hal-hal yang dapat mebangkitkan keinginan seksual, penyebaran keburukan dan dorongan atau ajakan melakukan perbuatan yang haram.

Dari sini dapat diketahui bahwa menggantung foto di rumah adalah tidak apa-apa selama (foto) itu bebas tujuan penagungan dan ibadah dan foto atau lukisan itu juga tindak mendorong kefasikan dan tidak memotivasi berbuat haram. 3]

MEMUTUSKAN:
MENETAPKAN:
FATWA HUKUM MEMASANG FOTO PEREMPUAN DI MEDIA SOSIAL

Pertama : Ketentuan Umum

Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan memasang foto Perempuan di media sosial adalah kegiatan pemasangan foto perempuan baik oleh dirinya atau orang lain untuk konsumsi publik, bukan khusus pada lingkungan mahramnya.

Kedua : Ketentuan Hukum

Hukum memasang foto perempuan di media sosial untuk konsumsi publik yang dapat menimbulkan syahwat dan keburukan (mafsadah) adalah haram.

Ketiga : Rekomendasi

  1. Kepada masyarakat muslim, khususnya para muslimah agar dapat menahan diri untuk tidak memasang foto dirinya di media sosial agar terhindar dari fitnah dan tidak menimbulkan hal buruk lainnya yang berhubungan dengan kesucian diri sebagai muslimah.
  2. Menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini, agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya.

Keempat : Ketentuan Penutup

Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari membutuhkan penyempurnaan maka akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

 

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 November 2017

KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA PROVINSI DKI JAKARTA

Ketua, Sekretaris,
ttd ttd
Dr. K.H. A. Lutfi Fathullah, M.A. Dr. K.H. Fuad Thohari, M.A.

Mengetahui,
DEWAN PIMPINAN
MAJELIS ULAMA INDONESIA PROVINSI DKI JAKARTA

Ketua, Sekretaris,
ttd ttd
Dr. K.H. A. Lutfi Fathullah, M.A. Dr. K.H. Fuad Thohari, M.A.

  1. Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya` Uulum al-Din, Juz 2 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th.), h. 47.
  2. Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Juz 9 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379), h. 324.
  3. Jad al-Haqq ‘Ali Jad al-Haqq, Fatawa Al-Azhar, 25 Ramadhan 1400/06 Agustus 1980, nomor fatwa 1303.