Bismillahirrahmanirrahim
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta, dalam rapatnya yang berlangsung pada hari Sabtu tanggal 11 November 2017 M/22 Shafar 1439 H yang membahas tentang HUKUM PEMANFAATAN ULAT JERMAN UNTUK MAKANAN, setelah:
MEMBACA:
Pertanyaan dari masyarakat tentang hukum memanfaatkan ulat jerman untuk konsumsi.
MENIMBANG:
- Bahwa Ada jenis serangga tertentu yang bisa dijadikan bahan untuk membuat minyak goreng dan bisa dikonsumsi secara langsung.
- Bahwa Minyak goreng yang selama ini kita kenal terbuat dari berbagai macam bahan dasar seperti buah sawit, bunga canola, tanaman zaitun, atau biji jagung. Namun, kini dikembangkan bahan dasar tersebut terbuat dari binatang ulat.
- Bahwa Proses pembuatan minyak goreng tersebut dimulai dari larva (ulat) yang dijemur dan dipanaskan sampai kering hingga digiling, lalu di press untuk mengambil kandungan lemak yang terdapat di tubuh larva tersebut.
- Bahwa Minyak goreng yang terbuat dari ulat jerman memiliki kandungan tinggi asam lemak/ Polyunsaturated Fatty sehingga cocok untuk konsumsi minyak.
MENGINGAT:
1. Firman Allah SWT, antara lain:
a. Q.S. Al-Ma`idah/5: 88
وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ ٱللَّهُ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَٱتَّقُوا ٱللَّهَ ٱلَّذِى أَنتُم بِهِۦ مُؤْمِنُونَ
Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.
b. Q.S. Al-Baqarah/2: 168
يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّـبًا
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.
c. Q.S. Al-An’am/6: 145
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
d. Q.S. Al-Baqarah/2: 172
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَارَزَقْنَاكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik dari yang telah Kami rizkikan kepadamu.
e. Q.S. Al-A’raf/7: 157
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.
2. Hadis Nabi Muhammad SAW, antara lain:
a. Hadis riwayat Al-Bukhari
عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ قَالَ : أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِضَبٍّ مَشْوِيٍّ فَأَهْوَى إِلَيْهِ لِيَأْكُلَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّهُ ضَبٌّ فَأَمْسَكَ يَدَهُ فَقَالَ خَالِدٌ أَحَرَامٌ هُوَ قَالَ لَا وَلَكِنَّهُ لَا يَكُونُ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ فَأَكَلَ خَالِدٌ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ
Diceritakan oleh Khalid bin Al-Walid. Dia berkata, Nabi −shalawat dan salam untuknya− pernah diberi daging biawak yang terpanggang. Beliau pun berselera hendak memakannya, lalu dikatakanlah kepada beliau, “Itu adalah daging biawak.” Dengan segera beliau menahan tangannya kembali. Khalid bertanya, “Apakah daging itu adalah haram?” beliau bersabda, “Tidak, akan tetapi daging itu tidak ada di wilayah masyarakatku. Aku mendapati diriku tidak berselera terhadapnya.” Khalid pun memakannya sementara Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− melihat.
b. Hadis riwayat Abu Dawud
عن مِلْقَامُ بْنُ تَلِبٍّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ صَحِبْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم فَلَمْ أَسْمَعْ لِحَشَرَةِ الأَرْضِ تَحْرِيمًا
Diceritakan oleh Milqam bin Talib dari ayahnya. Dia (ayahnya) berkata, Aku bersahabat dengan Nabi −shalawat dan salam untuknya− dan aku tidak pernah mendengar pengharaman serangga bumi (hasyarat al-ardh).
MEMPERHATIKAN:
Pendapat para ulama, antara lain:
1. Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi (w. 476 H)
وَلَا يَحِلُّ أَكْلُ حَشَرَاتِ الْأَرْضِ كَالْحَيَّاتِ وَالْعَقَارِبِ وَالْفَأْرِ وَالْخَنَافِسِ وَالْعَظَاءِ وَالصَّرَاصِيرِ وَالْعَنَاكِبِ وَالْوَزَغِ وَسَامَّ أَبْرَصَ وَالْجِعْلَانِ وَالدِّيدَانِ وَبَنَاتِ وَرْدَانَ وَحِمَارِ قَبَّانَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمْ الْخَبَائِثَ (الأعراف 157)
Dan tidak dihalalkan memakan hasyaraat (binatang tanah yang kecil) seperti ular, kalajengking, tikus, kumbang, kadal, jangkrik, laba-laba, cicak, tokek, kumbang kotoran, cacing, kecoa, dan kutu kayu, sebagaimana firman Allah ta’ala “diharamkan atas mereka segala yang buruk (Al-A’raf, 157)”. 1]
2. Ibnu Hazm Al-Zhahiri
وَلَا يَحِلُّ أَكْلُ الْحَلَزُونِ الْبَرِّيِّ، وَلَا شَيْءٍ مِنْ الْحَشَرَاتِ كُلِّهَا كَالْوَزَغِ وَالْخَنَافِسِ، وَالنَّمْلِ، وَالنَّحْلِ، وَالذُّبَابِ، وَالدُّبْرِ، وَالدُّودِ كُلِّهِ – طَيَّارَةٍ وَغَيْرِ طَيَّارَةٍ
Tidak halal memakan bekicot, dan tidak halal satu pun hasyarat (binatang tanah yang kecil) seluruhnya seperti cicak, kumbang, semut, lebah, lalat, dan seluruh jenis ulat, baik yang terbang maupun yang tidak terbang. 2]
3. Ad-Damiriy (w. 808 H)
الأساريع بفتح الهمزة، دود أحمر يكون في البقل ينسلخ فيصير فراشا قال ابن مالك قال ابن السكيت: والأصل يسروع بالفتح إلا أنه ليس في الكلام يفعول. وقال قوم: الأساريع دود حمر الرؤوس، بيض الأجساد، تكون في الرمل يشبه بها أصابع النساء. اهـ. … الحكم : يحرم أكلها لأنها من الحشرات.
Al-asari’ (larva) adalah ulat merah yang berada di sayur-sayuran yang akan bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Ibnu Malik berkata, Ibnu al-Sikkit berkata, “Asal katanya adalah yasru’ dengan fathan hanya saja tidak ada pola yaf’ul dalam bahasa arab.” Sekelompok orang berkata, “Al-asari’ adalah ulat yang merah kepalanya dan putih badannya, hidup di pasir dan bentuknya menyerupai jari-jari wanita. … Hukumnya haram memakannya karena termasuk jenis serangga. 3]
4. Utsman ibn Muhammad Syatha (w. 1310 H)
(قوله: ودود ميتَتِهِما) أي الكلبِ والخنزيرِ (وقوله: طاهرٌ) لا يشكل بما مر من أن المتولد منهما نجِسٌ ، لأناّ نمنع أنه متولد من ميتتهما وإنما تولد فيهما، كدود الخل لا يتولد من نفس الخل وإنما يتولد فيه. وفرق بين المتولد منهما والمتولد فيهما.
Dan belatung dari bangkai anjing dan babi, Hukumnya suci tanpa dipungkiri lagi seperti perkara yang telah lalu, bahwa sesuatu yang dilahirkan dari keduanya hukumnya adalah najis. Akan tetapi aku menyangkal bahwa hal tersebut dilahirkan dari bangkai keduanya, akan tetapi hanya muncul didalam bangkai keduanya, seperti belatung cuka, ia tidak dilahirkan dari dirinya akan tetapi muncul didalamnya. Dan hukumnya berbeda sesuatu yang lahir darinya, dan sesuatu yang muncul didalamnya. 4]
5. Zain al-din al-Malibari (w. 987 H)
(وَكَكَلْبٍ وَخِنْزِيْرٍ) وَفَرْعِ كُلٍّ مِنْهُمَا مَعَ الآَخَرِ أَوْ مَعَ غَيْرِهِ، وَدُوْدُ مَيْتَتِهِمَا طَاهِرٌ، وَكَذَا نَسْجُ عَنْكَبُوْتِ عَلَى المَشْهُوْرِ :كَماَ قاَلَهُ السُّبْكِي وَالاَذْرَعِي، وَجَزَمَ صَاحِبُ العِدَّةِ وَالحَاوِيْ بِنَجَاسَتِهِ , وَمَا يَخْرُجُ مِنْ جِلْدِ نَحْوِ حَيَةٍ فيِ حَيَاتِهَا كَالعِرْقِ عَلَى مَا أَفْتَى بِهِ بَعْضُهُمْ , لَكِنْ قاَلَ شَيْخُنَا فِيْهِ نَظْرٌ، بَلْ الاَقْرَبُ أَنَّهُ نَجْسٌ ِلاَنَّهُ جُزْءٌ مُتَجَسِدٌ مُنْفَصِلٌ مِنْ حَيٍّ ، فَهُوَ كَمَيْتَتِهِ
Di antara yang termasuk najis dan tentunya haram dikonsumsi ialah anjing dan babi, termasuk anak dari salah satu keduanya yang kawin dengan salah satunya atau dengan hewan selain keduanya. Namun ulat bangkai dari anjing dan babi adalah suci (namun tidak boleh di konsumsi). Demikian juga suci ialah sarang laba-laba berdasarkan pendapat masyhur sebagaimana diungkapkan oleh al-Subki dan al-Adzra’i. Namun penyusun kitab al-‘Iddah dan al-Hawi menilainya najis (sarang laba-laba, penj). Dan (termasuk suci) apa yang keluar dari kulit seperti ular di saat hidupnya seperti keringat sebagaimana fatwa sebagian Ulama. Akan tetapi guru kami (Ibnu Hajar al-Haitami) menyatakan perlu dikaji ulang. Bahkan pendapat yang paling dekat (dengan kebenaran) adalah najis, karena ia merupakan bagian terbentuk yang terpisah dari sesuatu yang hidup. Dengan begitu ia seperti bangkainya. 5]
MEMUTUSKAN:
MENETAPKAN:
FATWA HUKUM PEMANFAATAN ULAT JERMAN UNTUK MAKANAN
Pertama : Ketentuan Umum
- Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan ulat Jerman atau zophobas mario/superworm adalah ulat yang proses kehidupannya melalui 4 tahapan, yaitu 1) telur, 2) larva (ulat), 3) kepompong, dan 4) kumbang;
- Ulat Jerman termasuk serangga jenis kumbang, dan tidak termasuk jenis hewan yang menjijikan (khaba`its) dan tidak memiliki darah mengalir.
Kedua : Ketentuan Hukum
Hukum memanfaatkan ulat jerman untuk konsumsi menurut mayoritas Ulama adalah mubah dan halal.
Ketiga : Rekomendasi
- Mendorong kepada pemerintah untuk membantu budidaya ulat Jerman sebagai upaya untuk meningkatkan taraf hidup ekonomi masyarakat;
- Perlu kiranya makanan dan minuman yang di konsumsi masyarakat mendapatkan legalitas kehalalan dari pihak yang berkompeten didalamnya.
- Menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini, agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya.
Keempat : Ketentuan Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari membutuhkan penyempurnaan maka akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 November 2017
KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA PROVINSI DKI JAKARTA
Ketua, | Sekretaris, |
ttd | ttd |
Dr. K.H. A. Lutfi Fathullah, M.A. | Dr. K.H. Fuad Thohari, M.A. |
Mengetahui,
DEWAN PIMPINAN
MAJELIS ULAMA INDONESIA PROVINSI DKI JAKARTA
Ketua Umum, | Sekretaris Umum, |
ttd | ttd |
KH. A. Syarifuddin A. Gani, MA | KH. Zulfa Mustofa MY |
- Ibrahim ibn ‘Ali Al-Syiraazi, Al-Muhadzdzab, Juz 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), h. 451.
- Ibn Hazm al-Qurthubi, al-Muhalla bi al-Atsar, Juz 6 (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 76.
- Al-Damiri, Hayah al-Hayawan al-Kubra, Juz 1 (Cet II; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424), h. 42-43.
- Al-Bakri Utsman ibn Muhammad Syatha, `I’anah al-Thalibin, Juz 1 (Cet I; Beirut: Dar al-Fikr, 1418 /1997), h. 112.
- Zain al-din al-Malibari al-Hindi, Fath al-Mu’in (Cet I; Beirut: Dar Ibn Hazm, t.th.), h. 77.