Bismillahirrahmanirrahim
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta, dalam rapatnya yang berlangsung pada hari Sabtu tanggal 11 November 2017 M/22 Shafar 1439 H yang membahas tentang HUKUM NIKAH MISYAR, setelah:
MEMBACA:
Pertanyaan masyarakat tentang hukum pernikahan misyar
MENIMBANG:
- Bahwa ndang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) Pasal 34 ayat (1), bahwa suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan bahwa bila suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
- Bahwa kompilasi Hukum Islam Pasal 80 ayat (2) dan ayat (4) bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:
a. Nafkah, kiswah (pakaian) dan kediaman bagi istri,
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak,
c. Biaya pendidikan bagi anak. - Banyak faktor yang menyebabkan seseorang laki-laki belum menikah meskipun sudah cukup umur antara lain: (a) biaya pernikahan dianggap terlalu mahal, (b) tidak yakin penghasilannya cukup untuk memberikan nafkah.
- Bahwa fakta adanya wanita yang belum menikah yang mapan secara ekonomi dan membutuhkan status sosial, serta perlindungan dari suami khususnya di kota metropolitan seperti Jakarta tanpa mempertimbangkan kemampuan finansial calon suami dalam memberikan nafkah kepadanya.
MENGINGAT:
1. Firman Allah SWT, antara lain:
a. Q.S. Al-Rum/30: 21
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
b. Q.S. Al-Nisa`/4: 4
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
c. Q.S. Al-Nisa`/4: 128
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik
2. Hadis Nabi Muhammad SAW, antara lain:
a. Hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ … الحديثَ
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud −semoga Allah meridhainya. Dia berkata, Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− bersabda, “Wahai para pemuda. Siapa di antara kalian yang sudah mampu menikah, maka menikahlah. Sesungguhnya menikah akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. …
b. Hadis riwayat Al-Bukhari
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا مَعَهُ وَكَانَ يَقْسِمُ لِكُلِّ امْرَأَةٍ مِنْهُنَّ يَوْمَهَا وَلَيْلَتَهَا غَيْرَ أَنَّ سَوْدَةَ بِنْتَ زَمْعَةَ وَهَبَتْ يَوْمَهَا وَلَيْلَتَهَا لِعَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبْتَغِي بِذَلِكَ رِضَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Diriwayatkan dari A’isyah −semoga Allah meridhainya. Dia berkata, “Dahulu setiap kali Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− hendak berpergian, beiau mengundi di antara istri-istrinya. Siapa yang undiannya keluar, maka beliau mengajaknya pergi bersamanya. Beliau membagi giliran kepada setiap istrinya sehari semalam hanya saja Sawdah binti Zam’ah menyerahkan giliran hari dan malamnya kepada A’isyah istri Nabi −shalawat dan salam untuknya− untuk mendapatkan ridha Rasulullah −shalawat dan salam untuknya.
c. Hadis riwayat Muslim
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ … وَفِي بضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ يَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي الْحَرَامِ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلالِ كَانَ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ
Diriwayatkan dari Abu Dzarr −semoga Allah meridhainya. Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− bersabda, “ … dan dalam kemaluan salah seorang kalian ada sedekah.” Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah. Apakah salah satu kita melampiaskan syahwatnya (secara halal) lalu di dia memperoleh pahala karenanya?” Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− menjawab, “Apakah kalian tahu. Kalau saja dia meletakkannya secara haram maka dia mendapat dosa. Demikian juga jika dia melatakkannya secara halal maka ia memperoleh pahala.”
d. Hadis riwayat Al-Daraquthni
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ فَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
Diriwayatkan dari A’isyah. Dia berkata, Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− bersabda, “Tidak ada (yang sah) nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil. Jika ada bentuk pernikahan selain itu maka batal, jika mereka (para wali) berselisih (yang mengakibatkan mereka enggan menikahkan) maka penguasa adalah wali bagi perempuan yang tidak memiliki wali.
e. Hadis riwayat Al-Tirmidzi
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا المَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
Diriwayatkan dari A’isyah −semoga Allah meridhainya− bahwa Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− bersabda, “Siapapun perempuan yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal. Jika suaminya telah menggaulinya maka wanita itu berhak mendapatkan mahar atas kemaluannya yang suaminya telah memanfaatkannya. Dan jika mereka (para wali) berselisih (yang mengakibatkan mereka enggan menikahkan maka mereka dinilai tidak ada), maka penguasa adalah wali bagi perempuan yang tidak memiliki wali.
MEMPERHATIKAN:
Pendapat para ulama, antara lain:
a. Imam Al-Nawawi Al-Dimasyqi
وَأَمَّا شَرْطٌ يُخَالِفُ مُقْتَضَاهُ كَشَرْطِ أنْ لَا يَقْسِمَ لَهَا وَلَا يَتَسَرَّى عَلَيْهَا وَلَا يُنْفِقُ عَلَيْهَا وَلَا يُسَافِرُ بِهَا وَنَحْوِ ذَلِكَ فَلَا يَجِبُ الْوَفَاءُ بِهِ بَلْ يَلْغُو الشَّرْطُ وَيَصِحُّ النِّكَاحُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ
Adapun syarat yang bertentangan dengan konsekuensi akad seperti syarat tidak memberikan jatah pembagian malam bagi istri, tidak mengunjungi pada waktu malam, tidak memberikan nafkah, tidak mengajaknya berpergian jauh, dan sejenisnya maka tidak wajib memenuhinya, bahkan syarat tersebut menjadi sia-sia (tidak berlaku) sementara itu pernikahannya sah dengan mahar mitsl (mahar wajar). (Keputusan ini) karena sabda Nabi −shalawat dan salam untuknya, “Setiap syarat yang tidak ada dalam kitab Allah, maka ia batal.” 1]
b. Al-Syirazi
وان شرط أن لا يتسرى عليها أو لا ينقلها من بلدها بطل الشرط لانه يخالف مقتضى العقد ولا يبطل العقد لانه لا يمنع مقصود العقد وهو الاستمتاع، فإن شرط أن لا يطأها ليلا بطل الشرط لقوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (الْمُؤْمِنُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إلَّا شَرْطًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حلالا) فإن كان الشرط من جهة المرأة بطل العقد، وان كان من جهة الزوج لم يبطل، لان الزوج يملك الوطئ ليلا ونهارا وله أن يترك، فإذا شرط أن لا يطأها فقد شرط ترك ماله تركه والمرأة يستحق عليها الوطئ ليلا ونهارا، فإذا شرطت أن لا يطأها فقد شرطت منع الزوج من حقه، وذلك ينافى مقصود العقد فبطل.
Jika disyaratkan (dalam akad nikah) tidak mengunjungi isterinya pada waktu malam hari atau tidak memindahkan isterinya dari negerinya, maka syaratnya itu batal, karena syarat tersebut menyalahi konsekuensi akad dan akad pernikahannya tidak batal, karena tidak mencegah tujuan dari akad nikah, yaitu bermesraan dengan isteri (istimta’). Karena itu, jika disyaratkan “tidak menyetubuhinya pada waktu malam” maka syarat tersebut batal. Hukum ini (ditetapkan) berdasarkan sabda Nabi −shalawat dan salam untuknya, “Orang-orang yang beriman wajib memenuhi syarat mereka kecuali syarat yang menghalalkan yang haram dan yang mengharamkan yang halal.”
Jika syarat (tidak menyetubuhi di malam hari) berasal dari dari tuntutan istri maka akad batal. Sedangkan jika syarat tersebut atas tunutan suami, maka akad pernikahan tidak batal karena suami memiliki hak bersetubuh di malam dan siang hari dan ia juga boleh tidak melakukannya. Ketika dia mensyaratkan tidak menyetubuhinya maka ia telah membuat syarat meninggalkan sesuatu yang boleh ia tinggalkan. Sedangkan wanita berkewajiban (siap) disetubuhi di malam dan siang hari. Ketika dia membuat syarat melarang hak suaminya maka syarat ini menafikan tujuan akad (nikah), sehingga pernikahannya menjadi batal. 2]
c. Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi
(مسألة : ش) : تزوّج امرأةً بشرطِ أن لا يُخْرِجَها من بيت أبيها ، فإن لم يكن في صُلْب العقد فلا أثَر لَه تقدّم أو تأخّرَ فلا يلزم به شيءٌ ، أو في صلبِه : كزوّجتك ابنتي بشرطِ أن لا تُخرجَها من بيتِي صحّ النكاح ولغَا الشرطُ وفسد المسمَّى ولزم مهرُ المِثل ككلِّ شرطٍ لا يُخِلُّ بمقصودِ النّكاح ، ولهما أو لأحدهما به غرض ، والقديم كمذهب أحمد صحة الشرط النافع لها فتخير عند فقده ، وقال شريح : يلزمه الوفاء به.
Masalah ش : Seseorang menikahi wanita dengan syarat dia tidak mengeluarkannya dari rumah ayahnya, jika syarat tersebut bukan di tengah akad, maka tidak ada pengaruh apapun, baik syaratnya itu dinyatakan sebelum atau sesudah akad. Tidak ada apapun yang mengikat dengan syarat itu. Taua (jika syarat itu) di tengah akad, seperti “Aku kawinkan anak gadisku kepadamu dengan syarat tidak kamu mengeluarkannya dari rumahku, maka akad nikah sah, syarat tidak berlaku, dan mahar yang disebutkan menjadi rusak, (sehingga) wajib mahar mitsl (mahar wajar). (Hukum ini) seperti (halnya) setiap syarat yang tidak merusak tujuan akad nikah itu sendiri, sementara keduanya atau salah satunya memang memiliki keinginan dengan pernikahan sementara keduanya atau salah satunya memang ada keinginan pada pernikahan itu. Sedangkan dalam qawl qadim dan madzhab Ahmad, syarat tersebut sah sehingga istri memiliki hak khiyar jika syarat tidak terpenuhi. Syurayh mengatakan, “Suami wajib mematuhi syarat tersebut.” 3]
d. Al-Qadhi ‘Iyadh, sebagaiman dikutip imam Al-Nawawi
قَالَ الْقَاضِي وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ نَكَحَ نِكَاحًا مُطْلَقًا وَنِيَّتُهُ أَنْ لَا يَمْكُثَ مَعَهَا إِلَّا مُدَّةً نَوَاهَا فَنِكَاحُهُ صَحِيحٌ حَلَالٌ وَلَيْسَ نِكَاحُ مُتْعَةٍ وَإِنَّمَا نِكَاحُ الْمُتْعَةِ مَا وَقَعَ بِالشَّرْطِ الْمَذْكُورِ وَلَكِنْ قَالَ مَالِكٌ لَيْسَ هَذَا مِنْ أَخْلَاقِ النَّاسِ وَشَذَّ الْأَوْزَاعِيُّ فَقَالَ هُوَ نِكَاحُ مُتْعَةٍ وَلَا خَيْرَ فِيهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Al-Qadhi mengatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa orang yang melakukan pernikahan secara muthlaq (tidak ada pembatasan waktu di tengah akad) dengan niat (dalam hati) hanya akan bersamanya dalam waktu terbatas, maka nikahnya sah dan halal. Ini bukan nikah mut’ah. Nikah mut’ah adalah nikah yang dilaksanakan disertai syarat yang disebutkan. Akan tetapi Malik mengatakan, “Ini tidak termasuk akhlak manusia (generasi salaf).”. Sedangkan Al-Awza’i mempunyai pendapat yang sadzdz (keluar dari pakem fikih). Dia mengatakan, “Itu adalah nikah mut’ah dan tidak ada kebaikan di dalamnya.” Wallaahu a’lam.” 4]
e. Yusuf Al-Qardhawi, sebagaimana dikutip oleh Irfan bin Salim al-‘Asya Hasunah
ولا يملك الفقيه أن يُبطِل مثل هذا العقد المُستوفِي لأركانه وشروطه ويَعتبِرَ هذا الارتباط لونًا من الزِّنى لمجرَّدِ تنازُل المرأة فيه عن بعض حُقوقها، فهي إنسان مكلَّف، وهي أدرى بمصلحتها، وقد ترى – في ضوء الفقه الموازنات بين المصالح والمفاسد – أن زواجَها من رجل يأتي اليها في بعض الأوقات من ليل أو نهار اولى وأفضل من بقاءها وحيدة محرومة أبدَ الدَّهرِ
Seorang pakar fiqh tidak memiliki hak membatalkan akad (nikha misyar) ini yang sudah memenuhi rukun dan syaratnya dan menilai hubungan (nikah) ini sebagai salah satu bentuk zina hanya karena istri tidak menuntut sebagian haknya. Dia adalah pribadi mukallaf dan lebih mengetahui kemaslahatan dirinya. Bisa jadi dia menyadari −dengan pertimbangan untung dan ruginya− bahwa pernikahannya dengan seorang lelaki yang hanya mengunjungi di di malam atau hari-hari tertentu lebih baik dari dia tetap sendiri tanpa seorang pendamping selamanya. 5]
f. Pendapat Syekh Al-Thanthawi
إذا كان قد تمَّ الإتِّفاق على عدم الوفاءِ ببعض حقوق الزوجة وهي رضِيتْ بذلك فلا بأسَ لأنّ الزواج الشرعيَّ الصحيحَ قام على المودَّة والرَّحمة وعلى ما يتراضَيَانِ عليه ما دام حلالاً طيبا بعيدًا عن الحرام.
Jika sudah disepakati untuk tidak memenuhi sebagian hak-hak perempuan dalam rumah tangga dan dia ridha dengan hal itu maka tidak ada masalah (secara hukum) karena pernikahan yang syar’i dan sah adalah pernikahan yang dilandasi oleh rasa sayang, kasih, dan berdasarkan kesepakatan yang mereka ridhai sepanjang (kesepakatan ridha itu) halal, baik, dan jauh dari keharaman. 6]
MEMUTUSKAN:
MENETAPKAN:
FATWA HUKUM NIKAH MISYAR
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan NIKAH MISYAR adalah nikah yang telah memenuhi syarat dan rukunnya sebagaimana pernikahan yang biasa hanya saja istri tanazul (tidak menuntut sebagian hak-haknya), misalnya nafkah lahir, tempat tinggal, atau lainnya yang menjadi kewajiban suami dan menjadi hak istri.
Kedua : Ketentuan Hukum
- Hukum nikah misyar adalah sah apabila telah memenuhi syarat dan rukun nikah menurut ketentuan syar’i dan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
- Apabila dikhawatirkan menimbulkan madharat maka hukum nikah misyar adalah sah tetapi haram.
Ketiga : Rekomendasi
- Mendorong kepada semua umat Islam agar semua tujuan pernikahan benar benar terwujud, hendaknya pernikahan dilakukan dengan tanpa syarat tanazul dari pihak perempuan/istri untuk menghindari dampak negatif atau (madharat).
- Menghimbau kepada masyarakat khususnya kaum perempuan agar perkawinan dilakukan di usia ideal untuk membangun keluarga yang sehat, sakinah, mawaddah wa rahmah tanpa harus tanazul terhdap hak-haknya.
- Mendorong Pemerintah melakukan sosialisasi UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan menekankan terpenuhinya hak-hak suami istri.
- Menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini, agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya.
Keempat : Ketentuan Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari membutuhkan penyempurnaan maka akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 November 2017
KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA PROVINSI DKI JAKARTA
Ketua, | Sekretaris, |
ttd | ttd |
Dr. K.H. A. Lutfi Fathullah, M.A. | Dr. K.H. Fuad Thohari, M.A. |
Mengetahui,
DEWAN PIMPINAN
MAJELIS ULAMA INDONESIA PROVINSI DKI JAKARTA
Ketua Umum, | Sekretaris Umum, |
ttd | ttd |
KH. A. Syarifuddin A. Gani, MA | KH. Zulfa Mustofa MY |
- Yahya ibn Syaraf Al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘alaa Muslim, Juz 9 (Cet II; Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1392), h. 202.
- Ibrahim ibn ‘Aliy Asy Syiraziy, Al Muhadzdzab, Juz 2 (Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah, t.th.), h. 447.
- ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin (Beirut: Dar al-Fikr, 1414/1994), h. 327.
- Yahya ibn Syaraf Al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘alaa Muslim, Juz 9 (Cet II; Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1392), h. 182.
- Irfan bin Salim al-‘Asya Hasunah al-Dimasqi, Nikah al-Misyar wa Ahkam al-Ankihah al-Muharramah (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, 2002), h. 11-12.
- Ibid., h. 14.