Hukum Nikah Siri


Bismillahirrahmanirrahim

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta, dalam rapatnya yang berlangsung pada hari Rabu tanggal 18 Oktober 2017 M/28 Muharram 1439 H yang membahas tentang HUKUM NIKAH SIRI, setelah:

MEMBACA:

  1. Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI di Gontor, Ponorogo tanggal 25-28 Mei 2006 tentang nikah siri.
  2. Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta, hari Kamis, 09 Oktober 2014, dengan tema “Implikasi Nikah Siri Terhadap Hukum Positif dan Solusinya”.

MENIMBANG:

  1. Semua tindakan warga negara Indonesia akan dipertanggungjawabkan setidaknya dari dua perspektif; perspektif hukum Islam (syari’ah) sebagai tanggung jawab pribadi hubungannya dengan Allah SWT dan perspektif hukum positif (UU) sebagai tanggung jawab pribadi hubungannya dengan ulil amri (pemerintah). Sebagai warga negara yang baik, apa yang menjadi ketentuan hukum positif, wajib ditaati sepanjang masih sejalan dengan ketentuan dan norma hukum Allah;
  2. Salah satu perilaku warga Indonesia yang tidak bisa dilepaskan dari perspektif hukum agama dan hukum positif adalah perkawinan. Legalitas suatu perkawinan ditinjau dari sudut keperdataan (hukum positif) adalah ketika perkawinan tersebut sudah dicatat atau didaftarkan pada kantor administrasi resmi negara, meskipun ditinjau dari perspektif agama Islam, pencatatan perkawinan sekedar untuk memenuhi administrasi perkawinan dan tidak menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan;
  3. Menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku;
  4. Pada Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan tahun 1974, memuat ketentuan bahwa nikah yang dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang diangkat Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk. Pegawai Pencatat Nikah (PPN) berkedudukan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan dan dalam pelaksanaanya, tugas PPN dibantu oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk (P3NTR) yang terdiri dari pemegang urusan keagamaan di desa, misalnya Imam Mesjid. PPN atau P3NTR di samping menyelenggarakan administrasi pencatatan, juga bertindak sebagai wakil wali dalam pelaksanaan akad nikah;
  5. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) UU No.1 tahun 1974 merupakan syarat kumulatif, bukan alternative. Sehingga ketentuan dalam UU itu dipahami bahwa pernikahan yang dilakukan menurut agama tanpa pencatatan PPN belum dianggap sah menurut hukum negara;
  6. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan perkawinannya antara lain: (a) biaya dianggap terlalu mahal, tidak mampu membayar administrasi pencatatan; (b) khawatir ketahuan melanggar aturan akibat larangan poligami di institusinya; dan sebagainya;
  7. Pelaksanaan perkawinan dalam pelbagai lingkungan masyarakat beragama Islam di Indonesia, umumnya mengikuti hukum Islam menurut Madzhab Syafi’i, sejak dari peminangan (khitbah), akad nikah, sampai kepada tatacara pelaksanaan perkawinan, dengan tambahan variasi adat kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakat masing-masing;
  8. Dalam Islam khususnya mazhab al-Syafi’i disebutkan, perkawinan dikatakan sah jika ada mempelai pria, mempelai wanita, wali, 2 orang saksi, dan akad nikah (ijab-qabul), walaupun perkawinannya dilakukan secara siri. Meskipun demikian, ulama umumnya melarang perkawinan yang dirahasiakan, berdasarkan perintah Nabi Muhammad SAW untuk mengadakan walimah al-urs dan menyebarluaskan berita perkawinan kepada publik;
  9. Pada dasarnya, fungsi pencatatan perkawinan pada lembaga resmi negara agar pasangan kawin memiliki alat bukti (watsiqah) bahwa dirinya benar-benar melakukan perkawinan dengan orang lain secara legal. Sebab, salah satu bukti yang dianggap sah sebagai bukti hukum agama adalah dokumen resmi yang dikeluarkan negara. Ketika perkawinan dicatatkan, seseorang telah memiliki dokumen resmi yang bisa dijadikan alat bukti dalam proses peradilan ketika terjadi sengketa perkawinan, misalnya sengketa waris, hak asuh anak, nafkah, harta gono-gini, dan sebagainya;
  10. Peserta ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI di Gontor, Ponorogo sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negative atau al-mudharat (saddan li al-dzari’ah);
  11. Untuk merespons fakta memprihatinkan atas masih adanya laporan praktek nikah siri di tengah masyarakat DKI Jakarta, khususnya di kota Administrasi Kepulaun Seribu, MUI DKI Jakarta menetapkan fatwa “HUKUM NIKAH SIRI”.

MENGINGAT:

1. Firman Allah SWT, antara lain:

a. Q.S. Al-Nisa`/4: 59

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

b. Q.S. Al-Baqarah/2: 282

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ …

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kalian melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian mencatatnya …

c. Q.S. Al-Rum/30: 21

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.

2. Hadis Nabi Muhammad SAW, antara lain:

a. Hadis riwayat Al-Bukhari

عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ قَالَتْ أَوْلَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى بَعْضِ نِسَائِهِ بِمُدَّيْنِ مِنْ شَعِيرٍ

Diceritakan dari Shafiyyah binti Syaibah, dia berkata Nabi SAW mengadakan walimah pernikahan sebagian istri-istrinya dengan dua mudd gandum.

b. Hadis riwayat Al-Bukhari

عَنْ أَبِي عُثْمَانَ واسْمُهُ الْجَعْدُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ مَرَّ بِنَا فِي مَسْجِدِ بَنِي رِفَاعَةَ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرَّ بِجَنَبَاتِ أُمِّ سُلَيْمٍ دَخَلَ عَلَيْهَا فَسَلَّمَ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَرُوسًا بِزَيْنَبَ فَقَالَتْ لِي أُمُّ سُلَيْمٍ لَوْ أَهْدَيْنَا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَدِيَّةً فَقُلْتُ لَهَا افْعَلِي فَعَمَدَتْ إِلَى تَمْرٍ وَسَمْنٍ وَأَقِطٍ فَاتَّخَذَتْ حَيْسَةً فِي بُرْمَةٍ فَأَرْسَلَتْ بِهَا مَعِي إِلَيْهِ فَانْطَلَقْتُ بِهَا إِلَيْهِ فَقَالَ لِي ضَعْهَا ثُمَّ أَمَرَنِي فَقَالَ ادْعُ لِي رِجَالًا سَمَّاهُمْ وَادْعُ لِي مَنْ لَقِيتَ قَالَ فَفَعَلْتُ الَّذِي أَمَرَنِي فَرَجَعْتُ فَإِذَا الْبَيْتُ غَاصٌّ بِأَهْلِهِ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى تِلْكَ الْحَيْسَةِ وَتَكَلَّمَ بِهَا مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ جَعَلَ يَدْعُو عَشَرَةً عَشَرَةً يَأْكُلُونَ مِنْهُ وَيَقُولُ لَهُمْ اذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ وَلْيَأْكُلْ كُلُّ رَجُلٍ مِمَّا يَلِيهِ قَالَ حَتَّى تَصَدَّعُوا كُلُّهُمْ عَنْهَا فَخَرَجَ مِنْهُمْ مَنْ خَرَجَ وَبَقِيَ نَفَرٌ يَتَحَدَّثُونَ قَالَ وَجَعَلْتُ أَغْتَمُّ ثُمَّ خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَ الْحُجُرَاتِ وَخَرَجْتُ فِي إِثْرِهِ فَقُلْتُ إِنَّهُمْ قَدْ ذَهَبُوا فَرَجَعَ فَدَخَلَ الْبَيْتَ وَأَرْخَى السِّتْرَ وَإِنِّي لَفِي الْحُجْرَةِ وَهُوَ يَقُولُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنْ الْحَقِّ

Diceritakan dari Abu Utsman (al-Ja’d) dari Anas bin Malik. Al Ja’d berkata, Anas melewati kami di masjid Bani Rifa’ah (Basra). Aku (al-Ja’d) mendengarnya berkata, “Dulu Nabi SAW jika beliau melewati lingkungan (janabaat) rumah Ummu Sulaim selalu mampir dan mengucpkan salam kepadanya.”

Kemudian Anas berkata, “Dulu (saat) Nabi SAW menikahi Zainab (binti Jahsy), Ummu Sulaim berkata kepadaku, “Sebaiknya kita beri hadiah kepada Rasulullah −shalawat dan salam untuknya.” Aku berkata,”Lakukanlah.” Lalu dia mengambil kurma (tamr), minyak samin, dan keju. Dia membuat haysah (nama makanan) dan (diletakkan) di dalam wadah tembikar. Lalu mengutus saya untuk mengantarkannya kepada beliau SAW. Aku pun pergi membawanya kepada Nabi SAW. (Sesampainya di rumah beliau SAW), beliau berkata, “Letakkanlah!” Lalu beliau SAW menyuruhku. Beliau berkata, “Undanglah beberapa laki-laki (beliau menyebut nama mereka) dan undang juga orang yang kamu jumpai.”

Anas berkata, “Aku pun melakukan apa yang diperintahkannya. Lalu aku kembali. Saat itu, rumah beliau sudah penuh dengan orang-orang. Aku melihat beliau meletakkan kedua tangannya di atas haysah tersebut dan berbicara dengannya (haysah) dengan pembicaraan yang dikehendaki oleh Allah. Lalu beliau mulai memanggil per sepuluh orang untuk memakannya. Beliau berkata kepada mereka, “Sebutlah nama Allah dan setiap orang memakan apa yang di sampingnya.”

Anas berkata, “hingga (akhirnya) usai dan berpencar. Yang keluar pergi meninggalkan rumah beliau. Sementara itu beberapa orang masih berbincang-bincang.”

Anas berkata, “Aku mulai tidak nyaman (aghtamm) (karena mereka masih berada di rumah Rasulullah −shalawat dan salam untuknya). Kemudian beliau SAW keluar menuju hujuraat (rumah-rumah isteri beliau). (Setelah mereka pergi) aku keluar menyusul beliau SAW. Aku berkata bahwa mereka semua sudah pergi. Lalu beliau SAW pulang dan masuk ke rumah dan menggelar alasnya sementara aku masih berada di kamar saat beliau membaca (ayat): “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kalian diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kalian diundang maka masuklah dan bila kalian selesai makan, keluarlah tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepada kalian (untuk menyuruh kalian keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. …” (al-Ahzab/33:53)

c. Hadis Riwayat Muslim

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ تَزَوَّجَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

Diceritakan oleh Anas bin Malik bahwa Abdurrahman bin ‘Auf menikah di era Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− dengan mahar berupa emas seberat biji kurma. Lalu Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− bersabda kepadanya, “Buatlah walimah meskipun dengan seekor kambing!”

d. Hadis Riwayat Al-Tirmidzi

إنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ

Diriwayatkan dari Ummul Mu’minin Aisyah RA berkata, Nabi SAW bersabda, “Umumkan pernikahan ini, laksanakanlah akad nikah di masjid-masjid, dan tabuhlah rebana-rebana sehubungan dengannya.”

e. Hadis riwayat Al-Bukhari

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ

Diriwayatkan dari Abdullah (bin Umar) dari Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− bersabda, “Mendengar dan patuh (kepada pemimpin) adalah wajib bagi muslim dalam hal yang ia sukai atau tidak ia sukai selama ia tidak diperintahkan melakukan kemaksiatan. Jika ia disuruh melakukan kemaksiatan maka tidak (boleh) mendengarkan(nya) sama sekali dan tidak (boleh) mematuhinya sama sekali.”

f. Hadis riwayat Muslim

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن مَسْعُوْدٍ، قَالَ قَالَ صلَّى الله عليهِ وسلَّمَ: سَتَكُونُ أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا قالوا يا رسولَ الله، كَيْفَ تَأمُرُ مَن أدْرَكَ مِنَّا ذَلِك؟ قال: تُؤَدُّونَ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud. Dia berkata, Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− bersabda, “Akan ada (nanti) penguasaan harta negara oleh para penguasa (atsarah) dan hal-hal yang kalian tolak. Mereka (para shahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah −shalawat dan salam untuknya−, apa yang engkau perintahkan kepada di antara kami yang mengalami hal itu?” Beliau SAW menjawab, “Kalian tunaikan kewajiban kalian, dan kalian meminta hak kalian kepada Allah.”

MEMPERHATIKAN:

Pendapat para ulama, antara lain:

a. Al-Suyuthi

إنَّ حُكْمَ الْحَاكِمِ إلْزَامٌ وَيَرْفَعُ الْخِلَافَ (الأشباه والنظائر , ج 2 , ص 479)

Keputusan hakim/pemerintah mengikat dan menghapus konflik. 1]

b. Al-Amidi dalam al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam

اتَّفَقَ أَصْحَابُنَا وَالْمُعْتَزِلَةُ عَلَى أَنَّ مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ (وَهُوَ مَقْدُورٌ لِلْمُكَلَّفِ) فَهُوَ وَاجِب، خِلَافًا لِبَعْضِ الْأُصُولِيِّينَ. (الإحكام في أصول الأحكام، أبو الحسن الآمِدِيُّ، المكتب الإسلامي، بيروت، ج 1، ص 111)

Para ulama Syafi’iyyah dan kalangan Mu’tazilah sepakat bahwa sesuatu yang wajib yang tidak dapat sempurna kecuali dengan (melibatkan) sesuatu yang lain (dan ia mampu dilakukan oleh manusia) maka sesuatu yang lain tersebut menjadi wajib. Prinsip ini berbeda dengan prinsip sebagian ulama ushul fiqh lain. 2]

c. Sebagian ulama yang dikutip oleh al-Syirbini al-Khathib dalam al-Iqna’

تجب طَاعَة الإِمَام فِي أمْرِهِ وَنَهْيِهِ مَا لم يُخَالْفْ حُكمَ الشَّرْعِ (الإقناع في حل ألفاظ أبي شجاع، الخطيب الشربيني، دار الفكر، بيروت، ج 1، ص 192)

Mematuhi Pemimpin (al-imam) dalam perintah dan larangannya adalah wajib selama tidak bertentangan dengan Syariat. 3]

d. Zakariya al-Anshari dalam al-Ghurar al-Bahiyyah Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah

(وَنُدِبْ وَلِيمَةٌ ) مِنْ الْوَلْمِ وَهُوَ الِاجْتِمَاعُ وَهِيَ تَقَعُ عَلَى كُلِّ طَعَامٍ يُتَّخَذُ لِسُرُورِ حَادِثٍ، مِنْ عُرْسٍ وَأَمْلَاكٍ وَغَيْرِهِمَا، لَكِنَّ اسْتِعْمَالَهَا مُطْلَقَةً فِي الْعُرْسِ أَشْهَرُ وَنَدْبُهَا فِيهِ آكَدُ. (الغُرَر البهيّة في شرح البهجة الوردية، زكريا الأنصاري، المطبعة الميمنية، ج 4، ص 209)

Walimah disunnahkan. Ia adalah ungkapan untuk setiap makanan yang dibuat/disediakan untuk (mengungkapkan) suka cita atas sesuatu yang (baru) terjadi seperti pernikahan, kepemilikan, dan lainnya. Penggunaan istilah ini untuk pernikahan lebih dominan dan kesunnahannya lebih kuat. 4]

e. Al-Nawawi dalam Syarh Muslim

وَفِيهِ الْحَثُّ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ كَانَ الْمُتَوَلِّي ظَالِمًا عَسُوفًا، فَيُعْطَى حَقَّهُ مِنَ الطَّاعَةِ، وَلَا يُخْرَجُ عَلَيْهِ وَلَا يُخْلَعُ بَلْ يُتَضَرَّعُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى فِي كَشْفِ أَذَاهُ، وَدَفْعِ شَرِّهِ وَإِصْلَاحِهِ (شرح صحيح مسلم، أبو زكريا النووي، دار إحياء التراث العربي، بيروت، الطبعة الثانية، 1392، ج 12، ص 232)

Dalam hadis ini (hadis sebagaimana disebut di huruf f di atas) terdapat anjuran untuk patuh kepada pemimpin meskipun orang yang menjabat menjadi pemimpin adalah orang yang sangat zalim (‘asuf). Haknya untuk dipatuhi tetap harus diberikan. Tidak menghindarinya dan (mencoba) menjatuhkannya, tetapi tetap tunduk kepada Allah dalam (menyikapi) kezalimannya, menghindarinya, dan memperbaikinya. 5]

f. Malik bin Anas dalam al-Mudawanah al-Kubra

يُونُسُ أَنَّهُ سَأَلَ ابْنَ شِهَابٍ عَنْ رَجُلٍ نَكَحَ سِرًّا وَأَشْهَدَ رَجُلَيْنِ قَالَ: إنْ مَسَّهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا وَاعْتَدَّتْ حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا وَعُوقِبَ الشَّاهِدَانِ بِمَا كَتَمَا مِنْ ذَلِكَ وَلِلْمَرْأَةِ مَهْرُهَا ثُمَّ إنْ شَاءَتْ نَكَحَتْهُ حِينَ تَنْقَضِي عِدَّتُهَا نِكَاحَ عَلَانِيَةٍ قَالَ يُونُسُ وَقَالَ ابْنُ وَهْبٍ مِثْلَهُ قَالَ يُونُسُ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَسَّهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا وَلَا صَدَاقَ لَهَا وَنَرَى أَنْ يُنَكِّلَهُمَا الْإِمَامُ بِعُقُوبَةٍ وَالشَّاهِدَيْنِ بِعُقُوبَةٍ فَإِنَّهُ لَا يَصْلُحُ نِكَاحُ السِّرِّ وَقَالَ يَحْيَى بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَالِمٍ مِثْلَهُ ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ يَعْقُوبَ بْنِ إبْرَاهِيمَ الْمَدَنِيِّ عَنْ الضَّحَّاكِ بْنِ عُثْمَانَ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ قَالَ: لَا يَجُوزُ نِكَاحُ السِّرِّ حَتَّى يُعْلَنَ بِهِ وَيُشْهَدَ عَلَيْهِ ابْنُ وَهْبٍ عَنْ شِمْرِ بْنِ نُمَيْرٍ الْأُمَوِيِّ عَنْ حُسَيْنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مَرَّ هُوَ وَأَصْحَابُهُ بِبَنِي زُرَيْقٍ فَسَمِعُوا غِنَاءً وَلَعِبًا فَقَالُوا: مَا هَذَا فَقَالُوا نِكَاحُ فُلَانٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ: كَمَّلَ دِينَهُ هَذَا النِّكَاحُ لَا السِّفَاحُ وَلَا نِكَاحُ السِّرِّ حَتَّى يُسْمَعَ دُفٌّ أَوْ يُرَى دُخَانٌ.

قَالَ حُسَيْنٌ: وَحَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ يَحْيَى الْمَازِنِيُّ عَنْ جَدِّهِ أَبِي حُسَيْنٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَرِهَ نِكَاحَ السِّرِّ حَتَّى يُضْرَبَ بِالدُّفِّ. (المدونة، مالك بن أنس بن مالك بن عامر الأصبحي المدني، دار الكتب العلمية، الطبعة الأولى، 1415هـ – 1994م، ج 2، ص 129)

Diceritakan oleh Yunus. Dia bertanya kepada Ibnu Syihab mengenai hukum seseorang lelaki yang menikha secara diam-diam (tidak i’lan). Ibnu syihab menjawab, jika ia sudah mengumpulinya maka keduanya diceraikan. Wanitanya ber-iddah hingga ‘iddahnya selesai. Kedua saksi diberi sanksi karena keduanya menyembunyikan informasi pernikahan tersebut. Wanitanya mendapatkan mahar. Kemudian jika dia mau, dia dapat menikah (lagi) dengan lelaki tersebut saat ‘iddahnya usai dalam bentuk pernikahan terbuka.

Yunus mengatakan bahwa Ibnu Wahb juga berpendapat sama dengan pendapat Ibnu Syihab.

Yunus berkata, Ibnu Syihab berpendapat, jika lelaki itu belum “mengumpulinya” maka kedua diceraikan dan wanitanya tidak mendapat mahar. Imam (pemimpin negara) dapat menghukum lekaki dan wanita tersebut dengan sanksi, begitu juga kedua saksi pernikahannya. Permikahan sirr (tanpa i’lan) adalah tidak sah (laa yasluh).

Yahya bin Abdullah bin Salim juga berpendapat demikian.

Ibnu Lahi’ah meriwayatkan dari Ya’qub, dari Ibrahim al-Madani, dari al-Dhahhak bin Utsman, bahwa Abu Bakr al-Shiddiq −semoga Allah meridhainya− berkata, “Pernikahan sirr tidak sah sampai ia diumumkan dan disaksikan.”

Ibnu Wahb meriwayatkan dari Syimr bin Numair al-Umawi dari Husain bin Abdullah dari ayahnya, dari kakeknya, dari Ali bin Abu Thalib bahwa Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− dan beberapa shahabatnya pernah melewati perkampungan Bani Zuraiq (di Madinah) lalu mendengar nyanyian dan permainan. Mereka bertanya, “Ada apa ini?” Mereka menjawab, “Ada pernikahan si fulan, wahai Rasulullah.” Beliau pun bersabda, “Pernikahan ini telah menyempurnakan agamanya. (Pernikahan ini) bukan zina, dan bukan juga pernikahan sirr (karena) ada rebana ditabuh dan ada asap terlihat.”

Husain berkata, ‘Amr bin Yahya al-Mazini bercerita kepadaku dari kakeknya (Abu Husain) bahwa Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− membenci pernikahan sirr hingga rebana ditabuh.” 6]

MEMUTUSKAN:
MENETAPKAN:
FATWA HUKUM NIKAH SIRI

Pertama : Ketentuan Umum

Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan NIKAH SIRI adalah pernikahan yang tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).

Kedua : Ketentuan Hukum

Hukum nikah siri adalah sah apabila telah memenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat madharat.

Ketiga : Rekomendasi

  1. Mendorong kepada semua umat Islam agar pernikahannya dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menghindari dampak negatif atau madharat.
  2. Mendorong Pemerintah melakukan sosialisasi UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan untuk membendung praktik nikah siri yang masih banyak terjadi.
  3. Menghimbau Pemerintah, lembaga nonpemerintah, dan masyarakat untuk mengadakan kegiatan nikah massal bagi yang tidak mampu.
  4. Menghimbau Pemerintah untuk membantu memfasilitasi dan mempermudah permohonan itsbat nikah pelaku nikah siri (penetapan dan pengesahan nikah) melalui Pengadilan Agama dan menyelenggarakan itsbat nikah secara massal secara gratis untu melindungi hak-hak anak hasil nikah siri.
  5. Menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini, agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya

Keempat : Ketentuan Penutup

Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari membutuhkan penyempurnaan maka akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2017

KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA PROVINSI DKI JAKARTA

Ketua, Sekretaris,
ttd ttd
Dr. K.H. A. Lutfi Fathullah, M.A. Dr. K.H. Fuad Thohari, M.A.

Mengetahui,
DEWAN PIMPINAN
MAJELIS ULAMA INDONESIA PROVINSI DKI JAKARTA

Ketua Umum, Sekretaris Umum,
ttd ttd
KH. A. Syarifuddin A. Gani, MA KH. Zulfa Mustofa MY

 

  1. Jalal al-din al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha`ir (Cet I; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411/1990), h. 497.
  2. Abu al-Hasan al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Juz 1 (Cet I; Beirut: al-Maktab al-Islami, t.th.), h. 111.
  3. Al-Khathib al-Syirbini, Al-Iqna’ fi hall alfazh Abi Syuja’, Juz 1 (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 192.
  4. Zakariya al-Anshari, al-Ghurar al-Bahiyyah fi Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah, Juz 4 (Mesir: al-Mathba’ah al-Maymaniyyah, t.th.), h. 209.
  5. Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘alaa Muslim, Juz 12 (Cet II; Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1392), h. 232.
  6. Malik ibn Anas, al-Mudawwanah, Juz 2 (Cet I; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415/1994), h. 129