Bismillahirahmanirahim
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) DKI Jakarta dalam rapatnya yang berlangsung pada hari Ahad tanggal 12 November 2017 bertepatan dengan tanggal 23 Shafar 1439 H yang membahas tentang HUKUM WASIAT HARTA KEPADA AHLI WARIS, setelah :
MEMBACA:
Pertanyaan masyarakat tentang hukum berwasiat pada ahli waris.
MENIMBANG:
- Bahwa semua perbuatan yang dilakukan oleh seorang Muslim akan dimintakan pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT, baik dalam konteks hubungan vertikal kepada Allah SWT maupun dalam konteks hubungan horizontal kepada sesama manusia;
- Bahwa pasal 194 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa orang yang telah berumur sekurang kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga;
- Bahwa pasal 171 huruf c, Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia;
- Bahwa pasal 195 ayat (3), Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris;
- Bahwa pasal 201, Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujui, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya.
MENGINGAT:
1. Firman Allah SWT, antara lain:
a. Q.S. Al-Baqarah/2: 180
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (البقرة: 180)
Diwajibkan atas kalian, jika seseorang dari kalian kedatangan tanda-tanda kematian dan memiliki harta yang berlebih, (untuk) berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik. Ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.
b. Q.S. Al-Nisa`/4: 11-12
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (11) وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ (12)
11. Allah swt mewajibkan bagimu tentang (pembagian pusaka) untuk anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Jika semua anak adalah wanita (dan jumlahnya) lebih dari dua orang, maka bagi mereka 2/3 harta pusaka. Jika (hanya memiliki) 1 anak perempuan, maka ia memperoleh ½ harta pusaka. Bagian kedua orang tua masing-masing mendapatkan 1/6 harta pusaka jika memiliki anak. Tetapi kalau tidak memiliki anak, hanya orang tua saja yang mewarisi harta pusaka, maka bagian ibu adalah 1/3. Jika yang meninggal memiliki saudara, maka bagian ibu adalah 1/6. (Pembagian warisan di atas) adalah setelah memenuhi wasiat (yang dibuat oleh orang yang mau meninggal) dan (atau) membayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah swt. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
12. Dan bagianmu (suami) adalah ½ dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Tetapi jika istri-istrimu mempunyai anak, maka kamu mendapat ¼ dari harta yang ditinggalkannya setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau setelah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh ¼ harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh 1/8 dari harta yang kamu tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau setelah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau eorang saudara perempuan (seibu) maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu 1/6 harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang maka mereka bersama-sama dalam bagian yang 1/3 itu setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau setelah dibayar hutangnya, dengan tidak menyusahkan kepada ahli waris. Demikianlah ketentuan Allah, Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.
c. Q.S. Al-Nisa`/4: 176
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Mereka meminta fatwamu tentang Kalalah. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuan itu) ½ dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi seluruh harta saudara perempuan, jika dia tidak mempunyai anak. Tapai jika saudara perempuannya itu 2 orang, maka bagi keduanya 2/3 dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka ahli waris itu terdiri dari saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian 2 saudara perempuan. Allah menerangkan hukum ini kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
2. Hadis Nabi Muhammad SAW, antara lain:
a. Hadis riwayat Ibnu Majah, Ahmad, Al-Bayhaqi, dan Abu Dawud
عَنْ أبٍيْ أُمَامَةَ الْبَاهِلِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ عَامَ حِجَّةِ الْوَدَاعِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ ، فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ.
Diceritakan dari Abu Umamah −semoga Allah meridhainya. Dia berkata, aku mendengar Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− bersabda dalam khuthbathnya saat Haji Wada’, “Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan hak kepada setiap pemiliknya, maka tidak boleh ada wasiat kepada ahli waris.” (kutipan redaksi dari riwayat Ibnu Majah)
b. Hadis riwayat Al-Bayhaqi dan Al-Daraquthni
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَجُوزُ الْوَصِيَّةُ لِوَارِثٍ إِلاَّ أَنْ يَشَاءَ الْوَرَثَةُ
Diceritakan dari Ibnu Abbas −semoga Allah meridhai keduanya. Dia berkata, Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− bersabda, “Tidak boleh berwasiat kepada seorang ahli waris kecuali ahli waris yang lain menginginkannya.”
c. Hadis riwayat Al-Daraquthni
عَنْ عَمْرِو بْنِ خَارِجَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ إِلاَّ أَنْ يُجِيزَ الْوَرَثَةُ
Diceritakan dari ‘Amr bin Kharijah −semoga Allah meridhainya. Dia berkata, Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− bersabda, “Tidak ada wasiat untuk seorang ahli waris kecuali para ahli waris lain mengizinkannya.”
MEMPERHATIKAN:
Pendapat para ulama, antara lain:
a. Shahabat Ibnu ‘Abbas −semoga Allah meridhainya sebagaimana diinformasikan oleh Al-Bukhari
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ الْمَالُ لِلْوَلَدِ وَكَانَتْ الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ فَنَسَخَ اللَّهُ مِنْ ذَلِكَ مَا أَحَبَّ فَجَعَلَ لِلذَّكَرِ مِثْلَ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ وَجَعَلَ لِلْأَبَوَيْنِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسَ وَجَعَلَ لِلْمَرْأَةِ الثُّمُنَ وَالرُّبُعَ وَلِلزَّوْجِ الشَّطْرَ وَالرُّبُعَ
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas −semoga Allah meridhai keduanya. Dia berkata, Dulu harta (pusaka) hanyalah untuk anak-anak, sedangkan (harta) wasiat untuk kedua orang tua. Lalu Allah SWT menghapus aturan itu sesuai apa dikehendakiNya. Dia SWT menetapkan untuk satu bagian lelaki setara dua bagian perempuan, untuk masing-masing dua orang tua sebesar 1/6, untuk istri sebesar 1/8 atau 1/4, dan untuk suami sebesar 1/2 atau 1/4. 1]
b. Ibnu Katsir (w. 774 H)
اشْتَمَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ الْكَرِيمَةُ (البقرة: 180) عَلَى الْأَمْرِ بِالْوَصِيَّةِ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ. وَقَدْ كَانَ ذَلِكَ وَاجِبًا عَلَى أَصَحِّ الْقَوْلَيْنِ قَبْلَ نُزُولِ آيَةِ الْمَوَارِيثِ، فَلَمَّا نَزَلَتْ آيَةُ الْفَرَائِضِ نَسَخَتْ هَذِهِ، وَصَارَتِ الْمَوَارِيثُ الْمُقَدَّرَةُ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ، يَأْخُذُهَا أَهْلُوهَا حَتْمًا مِنْ غَيْرِ وَصِيَّةٍ وَلَا تَحْمِلُ منَّة الْمُوصِي.
Ayat ini (Al-Baqarah, 180) berisi perintah berwasiat (harta, pen) kepada kedua orang tua dan kerabat dekat. Hukum wasiat ini -sebelumnya- adalah wajib menurut dua pendapat yang paling shahih, tepatnya sebelum turun ayat waris (fara`idh). Ketika ayat waris (fara`idh) tutun maka ia menghapus kewajiban wasiat kepada orang tua dan kerabat dekat. Sehingga ayat waris menjadi aturan waris yang nilainya ditetapkan dari Allah, di mana yang berhak mengambilnya secara pasti tanpa mekanisme wasiat dan tanpa menunggu pemberian dari pemberi wasiat lagi. 2]
c. Muhammad bin Ahmad bin Rusyd (w. 520 H) dari Malikiyyah
وأما الوصية للوارث فلا تجوز إلا أن يجيزَها الورثة. وقد حمَلَ جماعة من أهل العلم قولَ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا وصيّة لوارث على عُمومه فلم يُجيزوا له الوصية وإن أجازها له الورثة، معناه إلا على سبيل الهبة منهم له التي تفتقر إلى الحيازة. والصحيح ما ذهب إليه مالك رَحِمَهُ اللَّهُ لأن المنع إنما تعلق بحق الورثة كالزائد على ثلث المال، فإذا أجازوه جاز. وقد رُوِي أيضا في بعض الآثار لا وصية لوارث إلا أن يُجيزَها الورثةُ
Adapun berwasiat kepada ahli waris maka hukumnya tidak boleh kecuali atas seizin ahli waris yang lain. Sebagian ulama ahli ilmu memberlakukan sabda Nabi SAW “Tidak ada wasiat untuk ahli waris” secara umum, baik mendapat izin dari ahli waris yang lain ataupun tidak, kecuali dengan cara hibah dari mereka kepada ahliwaris penerima yang memerlukan kepemilikan (sebelumnya). Yang shahih menurut pendapat Imam Malik (yaitu tidak boleh ada wasiat kepada seorang ahli waris kecuali atas seizin yang lain) karena pelarangan itu berhubungan dengan hak ahli waris yang lain, sama halnya dengan nilai wasiat yang lebih dari 1/3 aset kekayaan mayyit. Jika mereka memang mengizinkannya maka wasiat tersebut boleh. (Dalam hal ini) diriwayatkan dalam sebagaian hadis bahwa “Tidak ada wasiat bagi ahli waris kecuali atas izin ahli waris yang lain.” 3]
d. Abu Bakr bin Mas’ud (w. 587H) dari Hanafiyyah
وَلَوْ أَوْصَى لِبَعْضِ وَرَثَتِهِ، فَأَجَازَ الْبَاقُونَ؛ جَازَتْ الْوَصِيَّةُ؛ لِأَنَّ امْتِنَاعَ الْجَوَازِ كَانَ لَحَقِّهِمْ لِمَا يَلْحَقُهُمْ مِنْ الْأَذَى وَالْوَحْشَةِ بِإِيثَارِ الْبَعْضِ، وَلَا يُوجَدُ ذَلِكَ عِنْدَ الْإِجَازَةِ، وَفِي بَعْضِ الرِّوَايَاتِ عَنْهُ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – أَنَّهُ قَالَ «لَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ إلَّا أَنْ يُجِيزَهَا الْوَرَثَةُ
Seandainya seseorang berwasiat untuk sebagian ahli warisnya dan ahli waris yang lain mengizinkannya maka wasiat tersebut sah karena pelarangan wasiat untuk ahli waris didasari oleh adanya hak ahli waris yang lain sehingga (hal itu) dapat menimbulkan kerugian, pertengkaran akibat sebagian ahli waris menerima nilai lebih. Hal-hal ini tentu tidak terjadi jika ahli waris lain (yang tidak menerima wasiat) mengizinkannya. Dalam sebagian riwayat dari Nabi −shalawat dan salam untuknya dijelaskan bahwa beliau bersabda, “Tidak boleh ada wasiat untuk (sebagian) ahli waris kecuali ahli waris yang lain mengizinkannya.” 4]
e. Abu Bakr bin Muhammad al-Husayni (w. 829 H) dari Syafi’iyyah
وَهل تصح الْوَصِيَّة للْوَارِث فِيهِ خلاف قيل لَا تصح أَلْبَتَّة لقَوْله عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام لَا وَصِيَّة لوَارث وَالأَصَح الصِّحَّة وَتوقف على إجَازَة الْوَرَثَة لقَوْله عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام لَا تجوز الْوَصِيَّة لوَارث إِلَّا أَن يَشَاء الْوَرَثَة قَالَ عبد الْحق الْمَشْهُور أَنه مُنْقَطع وَوَصله بَعضهم. فعلى الصَّحِيح إجَازَة الْوَرَثَة تنفيد على الصَّحِيح لَا يحْتَاج إِلَى إِيجَاب وَقبُول وتكفي الْإِجَازَة وَالله أعلم
Apakah sah wasiat kepada ahli waris? Dalam menjawab pertanyaan ini terdapat perbedaan pendapat (di kalangan Syafi’iyyah). Pendapat (pertama), tidak sah sama sekali berdasarkan sabda Rasulullah −shalawat dan salam untuknya, “Tidak sah wasiat untuk ahli waris.”. Pendapat yang shahih adalah sah namun bergantung kepada persetujuan ahli waris yang lain. Pendapat ini didasarkan kepada sabda Nabi −shalawat dan salam untuknya, “Tidak sah wasiat untuk ahli waris kecuali atas kehendak ahli waris yang lain.”
Abd al-Haqq mengatakan yang masyhur bahwa hadis tersebut adalah munqathi’. Sedangkan sebagian ulama me-mawshul-kannya.
Dengan asumsi kita mengikuti pendapat yang shahih, persetujuan ahli waris dalam hal ini merupakan eksekusi dari wasiat yang sah tersebut sehingga tidak memerlukan ijab qabul. Cukup sekedar pernyataan peretujuan. 5]
f. Muhammad bin Abdullah Al-Zarkasyi (w. 772 H) dari kalangan Hanabilah
قول الخرقي ولا وصية لوارث إلا أن يجيز الورثة. ظاهره أن الوصية صحيحة، موقوفة على إجازة الورثة، فتكون إجازتهم تنفيذا، وهذا هو المشهور المنصور في المذهب، حتى إن القاضي في التعليق، وأبا الخطاب في خلافه الصغير، وأبا البركات، وجماعة لم يذكروا في المسألة خلافا، اعتمادا على حديثي ابن عباس وعبد الله بن عمرو، فإن مقتضاهما أن الوصية للوارث صحيحة، إذا أجازت الورثة.(شرح الزركشي على قول الخرقي)
Ungkapan al-Khiraqi bahwa tidak ada wasiat untuk ahli waris kecuali atas persetujuan ahli waris lain. Zhahir ungkapan tersebut adalah bahwa wasiatnya sah (namun) menunggu persetujuan ahli waris lain. Dengan demikian, persetujuan adalah eksekusi (wasiatnya). Pendapat ini adalah yang masyhur dan didukung dalam madzhab (Hanbali). Hingga al-Qadhi di dalam kitab at-Ta’liq, Ab al- Khaththab di dalam kitab al-Khilaf al-Shaghir, Ab al-Barakat, dan sekelompok ulama lain tidak menyinggung adanya khilaf mengenai hal ini karena didasarkan pada hadis Ibnu Abbas dan hadis Abdullah bin ‘Amr. Konsekuensi dua riwayat hadis tersebut adalah bahwa wasiat kepada ahli waris adalah sah jika ahli waris yang lain menyetujuinya. 6]
MEMUTUSKAN:
MENETAPKAN:
FATWA TENTANG HUKUM WASIAT HARTA KEPADA AHLI WARIS
Pertama : Ketentuan Umum
- Yang dimaksud dengan wasiat, dalam fatwa ini adalah pesan tentang suatu kebaikan dalam hal pemindahan kepemilikan harta yang akan dijalankan setelah meninggal dunia.
- Yang dimaksud dengan ahli waris dalam fatwa ini adalah orang-orang yang berhak mendapat harta pusaka dari seseorang yang meninggal dunia dimana perician bagiannya harus sesuai dengan ketetapan syariat yang berlaku.
- Yang dimaksud dengan wasiat harta kepada ahli waris Dalam fatwa ini adalah pesan seseorang yang mau meninggal untuk memberikan sebagian hartanya kepada ahli waris setelah ia meninggal dunia.
Kedua : Fatwa Hukum
Hukum berwasiat kepada ahli waris adalah boleh dengan syarat ada persetujuan dari para ahli waris yang lain, dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan, dan harus sesuai dengan ketentuan hukum syariat yang mengatur pelaksanaan wasiat.
Ketiga : Rekomendasi
- Mendorong pemerintah agar mensosialisasikan kompilasi hukum islam, terutama pasal-pasal tentang hukum waris, hibah, dan wasiat.
- Menyarankan orang tua agar adil dan bijak dalam memperlakukan anak-anaknya terkait harta yang dimiliki.
- Menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini, agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya.
Keempat : Ketentuan Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata membutuhkan penyempurnaan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 November 2017
KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA PROVINSI DKI JAKARTA
Ketua Umum, | Sekretaris Umum, |
ttd | ttd |
KH. A. Syarifuddin A. Gani, MA | KH. Zulfa Mustofa MY |
Mengetahui,
DEWAN PIMPINAN
MAJELIS ULAMA INDONESIA PROVINSI DKI JAKARTA
Ketua Umum, | Sekretaris Umum, |
ttd | ttd |
KH. A. Syarifuddin A. Gani, MA | KH. Zulfa Mustofa MY |
- Muhammad ibn Isma’il, Shahih al-Bukhari, Juz 7 (Cet I: Riyadh, Dar al-Salam, 1419), h. 127, no. hadis 2747.
- Abu al-Fida` Isma’il ibn ‘Umar ibn Katsir, Tafsir al-Qur`an al-‘Azhim, Juz 1 (Cet I: Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1419), h. 360.
- Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, al-Muqaddimat al-Mumahhidat, Juz 3 (Cet I: Beirut, Dar al-Gharb al-Islami, 1408/1988), h. 114.
- Abu Bakr ibn Mas’ud al-kasani, bada`i’ al-Shana`i’ fi Tartib al-Syara`i’, Juz 7 (Cet II: Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1406/1986), h. 338.
- Abu Bakr bin Muhammad al-Husayni, Kifayah al-Akhyar (Cet I: Damaskus, Dar al-Khayr, 1994 M), h. 338.
- Muhammad ibn Abdullah al-Zarkasyi, Syarh al-Zarkasyi, Juz 4 (Cet I: Riyadh, Dar al-‘Abikan, 1413/1993), h. 365.