Hukum Jual Beli Online


Bismillahirrahmanirrahim

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta, dalam rapatnya yang berlangsung pada hari Sabtu tanggal 11 November 2017 M/22 Shafar 1439 H yang membahas tentang Hukum Jual Beli Online, setelah:

MEMBACA:

  1. Fatwa MUI Pusat nomor 24 tahun 2017 tentang pedoman bermuamalah melalui media sosial;
  2. Hasil keputusan Bahtsul Masail Muktamar NU ke-32 di Makasar Tahun 2010 tentang Hukum akad (transaksi) jual beli melalui alat elektronik;
  3. UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Electronik (PP PSTE).

MENIMBANG:

  1. Bahwa Berbisnis dengan cara berdagang seperti jual beli, sewa menyewa dan lain-lain merupakan aktivitas yang tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan pokok manusia (al-Hajah al-Insaniyyah);
  2. Bahwa Transaksi jual beli online sudah menjadi bagian tren bisnis modern;
  3. Bahwa Transaksi beli secara online dapat membantu kebutuhan konsumen dan produsen dalam membantu mempercepat pertumbuhan ekonomi dalam negeri;

MENGINGAT:

1.    Firman Allah SWT, antara lain:

a.    Q.S. Al-Nisa`/4:29

 يَا أَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُوَاْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مّنْكُمْ …

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian. …

b.    Q.S. Al-Baqarah/2:275

 … وَأَحَلّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرّمَ الرّبَا

… Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

2.    Hadis Nabi Muhammad SAW, antara lain:

a.    Hadis riwayat Ibnu Majah

 عَنْ أَبَي سَعِيْدٍ الْخُذْرِيَّ يَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم إِنَّمَا البَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

Diriwayatkan oleh Abi Said Al-Khudri −semoga Allah meridhainya. Dia mengatakan, Rasulullah −shalawat dan salam untuknya bersabda, “Sesungguhnya jual beli itu atas dasar suka sama suka.”

b.    Hadis riwayat Al-Bukhari

 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلًا ذَكَرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ يُخْدَعُ فِي الْبُيُوعِ فَقَالَ إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ لَا خِلَابَةَ

Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar −semoga Allah meridhai keduanya, bahwa seorang lelaki menjelaskan kepada Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− bahwa dia telah ditipu dalam beberapa transaksi jual beli. Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− menjawab, “Jika kamu berjualbeli maka katakan (kepada pihak lawan transaksi), “Tidak ada penipuan sama sekali!”

c.    Hadis riwayat Al-Bazzar

 عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ

Diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij −semoga Allah meridhainya, bahwa Nabi −shalawat dan salam untuknya− ditanya pekerjaan apa yang terbaik. Beliau menjawab, “Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan seluruh jual beli yang diterima oleh Allah (yang tidak ada pemalsuan dan penipuan).

d.    Hadis riwayat Ibnu Majah

عَنْ صُهَيْبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثٌ فِيهِنَّ الْبَرَكَةُ ، الْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ وَالْمُقَارَضَةُ وَأَخْلَاطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيرِ لِلْبَيْتِ لَا لِلْبَيْعِ

Diriwayatkan dari Shuhayb −semoga Allah meridhainya. Dia berkata, Rasulullah −shalawat dan salam untuknya bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan, (yaitu) jual beli secara tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum biasa dengan jelai untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.

e.    Hadis riwayat Al-Hakim

 عن أبي هريرة رضِي الله عنه أن رَسُولَ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ

Diriwayatkan oleh Abu Hurayrah −semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− bersabda, “Orang-orang muslim (tunduk) kepada syarat-syarat (yang) mereka (buat).”

f.    Hadis riwayat Ibnu Majah

 عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ قَضَى أَنْ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

Diriwayatkan dari ‘Ubadah bin Al-Shamit −semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− bersabda, “Tidak (boleh) ada bahaya atau kerugian dan tidak (boleh) ada saling membahayakan atau saling merugikan.”

3.    Kaidah Fikih

 أَنَّ الْأَصْلَ فِي الْعُقُودِ وَالشُّرُوطِ الْجَوَازُ وَالصِّحَّةُ، وَلَا يَحْرُمُ وَيَبْطُلُ مِنْهَا إلَّا مَا دَلَّ عَلَى تَحْرِيمِهِ، وَإِبْطَالِهِ نَصٌّ، أَوْ قِيَاسٌ

Pada prinsipnya dalam akad dan syarat adalah boleh dan sah. Ia tidak haram dan tidak batal kecuali akad dan syarat di mana terdapat nash atau qiyas yang membuktikan kebatalannya. 1]

MEMPERHATIKAN:

Pendapat para ulama, antara lain:

1.    Birmawi (w. 1106 H) sebagaiman dikutip penulis Hasyiyah al-Jamal

 (قَوْلُهُ فَاعْتُبِرَ مَا يَدُلُّ عَلَيْهِ مِنْ اللَّفْظِ) أَيْ أَوْ مَا فِي مَعْنَاهُ مِمَّا هُوَ عِبَارَةٌ عَنْهُ كَالْخَطِّ أَوْ قَائِمٍ مَقَامَهُ كَإِشَارَةِ الْأَخْرَسِ اهـ. بِرْمَاوِيٌّ

(maka apa saja yang menunjukkan ijab/qabul dijadikan penilaian seperti suara) maksudnya (juga) atau apa saja yang senada dengan suara berupa pengungkapan ijab/qabul atau sesuatu yang menempati posisinya seperti isyarat orang bisu. 2]

2.    Utsman bin Muhammad Syatha (w. 1310 H)

 الثَّانِي: التَّلَفُّظُ بِحَيْثُ يَسْمَعُهُ مَنْ يَقْرَبُهُ عَادَةً، وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْهُ المُخَاطَبُ وَيَتَصَوَّرُ وُجَوْدُ الْقَبُوْلُ مِنْهُ مَعَ عَدَمِ سَمَاعِهِ، بِمَا إِذَا بَلَغَهُ السَّاَمِعُ فَقَبِلَ فَوْرًا، أَوْ حَمَلَ الرِّيْحُ إِلَيْهِ لَفْظُ الْإيْجَابِ فَقَبِلَ كَذَلِكَ، أَوْ قَبِلَ إِتِّفَاقًا كَمَا فِي اْلبُجَيْرِمِيِّ، نَقْلًا عَنْ سم فَلَوْ لَمْ يَسْمَعْهُ مَنْ بِقُرْبِهِ لَمْ يَصِحَّ.

Syarat kedua (pada ijab qabul) adalah menyuarakannya dengan kriteria suara yang bisa didengar oleh orang yang berada di dekatnya meskipun (dalam kenyataanya) lawan bicara (mukhathab) tidak mendengarnya, dan memungkinkan baginya untuk qabul (dalam kasus dia tidak mendengar suara tersebut) dengan cara cara jika pendengar mendengarnya maka ia akan qabul seketika atau suara angin membawa suara ijab lalu dia menerima (qabul) begitu mendengarnya atau menerima (qabul) secara bersamaan (dengan ijba) sebagaimana dijelaskan dalam Al-Buayrimi yang mengutipnya dari sm (Ibn Qasim al-‘Abbadi). Adapaun jika lawan bicara (lawan transaksi) tidak mendengar (suara) orang yang di dekatnya maka (ijab qabul) tidak sah. 3]

3.    Muhammad bin Ahmad Al-Syathiriy

والعبرة في العقود لمعانيها لا لصور الألفاظ … وعن البيع و الشراء بواسطة التليفون والتِلكس والبَرْقِيَّاتِ كل هذه الوسائل وأمثالها معتمدة اليوم وعليها العمل.

Yang menjadi pertimbangan dalam akas adalah substansinya, bukan bentuk redaksinya. …. Mengenai jual beli melalui jaringan telepon, teleks, dan telegraf, semua sarana ini dan sejenisnya dapat dijadikan pegangan di era ini. Dengan sarana ini prakteknya berjalan. 4]

4.    Wahbah al-Zuhayli

ليس المراد من اتحاد المجلس المطلوب في كل عقد كما بينا كون المتعاقدين في مكان واحد، لأنه قد يكون مكان أحدهما غير مكان الآخر، إذا وجد بينهما واسطة اتصال، كالتعاقد بالهاتف أو اللاسلكي أو بالمراسلة (الكتابة) وإنما المراد باتحاد المجلس: اتحاد الزمن أو الوقت الذي يكون المتعاقدان مشتغلين فيه بالتعاقد، فمجلس العقد: هو الحال التي يكون فيها المتعاقدان مقبلين على التفاوض في العقد (2)، وعن هذا قال الفقهاء إن المجلس يجمع المتفرقات . وعلى هذا يكون مجلس العقد في المكالمة الهاتفية أو اللاسلكية: هو زمن الاتصال ما دام الكلام في شأن العقد، فإن انتقل المتحدثان إلى حديث آخر انتهى المجلس.

Yang dimaksud dengan kesatuan tempat transaksi (ittihad al-majlis) yang diharapkan dalam setiap akad (transaksi) −seperti sudah kamu jelaskan− bukan berarti keberadaan kedua belah pihak yang bertransaksi di dalam satu lokasi/tempat, karena bisa jadi lokasi salah satu pihak adalah bukan lokasi pihak yang lain ketika keduanya dihubungkan dengan fasilitas jaringan seperti bertransaksi melalui telepon, teleks, atau korespondensi.

Yang dimaksud dengan kesatuan tempat transaksi adalah kesatuan masa atau waktu di mana kedua belah pihak melakukan transaksinya. Dengan demikian tempat transaksi (majlis al-‘aqd) adalah sebuah kondisi di mana kedua belah pihak saling berunding mengenai sebuah transaksi. Mengenai ini, para ahli fikih mengatakan, “(Fungsi) majlis (akad) adalah menggabungkan beberapa pihak yang terpisah.”

Berdasarkan hal ini maka majlis akad dalam (transaksi melalui) percakapan telepon atau teleks adalah masa ketersambungan selama pembahasan masih berkaitan dengan akad. Jika kedua belah pihak yang berunding (melalui telepon atau teleks) berpindah tema ke pembahasan lain (selain akad) maka majlis akad dianggap selesai. 5]

MEMUTUSKAN:
MENETAPKAN:
FATWA TENTANG HUKUM JUAL BELI ONLINE

Pertama : Ketentuan Umum

Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan jual beli online adalah transaksi Jual Beli barang/jasa yang memenuhi syarat dan rukunnya melalui website/media sosial dengan tanpa ada pertemuan antara penjual dan pembeli.

Kedua : Ketentuan Hukum

Hukum jual beli online yang telah memenuhi syarat dan rukun jual beli adalah mubah (boleh)

Ketiga : Rekomendasi

  1. Memohon kepada pemerintah agar memonitoring praktek jual beli online untuk menjamin hak-hak konsumen;
  2. Kepada masyarakat yang mempergunakan jual beli online agar mengedepankan tanggung jawab, kejujuran, ketelitian, dan kehati-hatian;
  3. Menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini, agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya.

Keempat : Ketentuan Penutup

Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari membutuhkan penyempurnaan maka akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

 

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 November 2017

KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA PROVINSI DKI JAKARTA

Ketua, Sekretaris,
ttd ttd
Dr. K.H. A. Lutfi Fathullah, M.A. Dr. K.H. Fuad Thohari, M.A.

Mengetahui,
DEWAN PIMPINAN
MAJELIS ULAMA INDONESIA PROVINSI DKI JAKARTA

Ketua Umum, Sekretaris Umum,
ttd ttd
KH. A. Syarifuddin A. Gani, MA KH. Zulfa Mustofa MY

  1. Ibn Al-Taymiyyah, al-Fatawa al-Kubra, Juz 4 (Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1408/ 1987), h. 79.
  2. Sulayman ibn Umar al-Azhari, Hasyiyah al-Jamal, Juz 3 (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 8.
  3. Al-Bakri Utsman ibn Muhammad Syatha, `I’anah al-Thalibin, Juz 3 (Cet I; Beirut: Dar al-Fikr, 1418 /1997), h. 9.
  4. Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Umar al-Syathiri, Syarh al-Yaqut al-Nafis (Cet II; Beirut: Dar al-Minhaj, 1427/2008), h. 356.
  5. Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jil. 4 (Cet II; Beirut: Dar al-Fikr, 1405/1985), h. 108.