Hukum Penggunaan Air Banjir Untuk Bersuci


Bismillahirrahmanirrahim

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta, dalam rapatnya yang berlangsung pada hari Sabtu tanggal 11 November 2017 M/22 Shafar 1439 H yang membahas tentang HUKUM PENGGUNAAN AIR BANJIR UNTUK BERSUCI, setelah:

MEMBACA:

Pertanyaan dari masyarakat tentang hukum penggunaan air banjir untuk bersuci.

MENIMBANG:

  1. Bahwa Air merupakan salah satu alat untuk bersuci dari najis dan hadas kecil maupun besar, disamping debu dan batu istijmar.
  2. Bahwa perlu batasan-batasan tertentu untuk menggunakan air dalam bersuci dari najis dan hadas kecil ataupun hadas besar.
  3. Bahwa dalam musim tertentu sering terjadi banjir yg meluas di sebagian besar wilayah DKI Jakarta, yang disebabkan deras dan tingginya curah air hujan, atau naik dan pasangnya air laut serta akibat kiriman air hujan dari daerah lain, sehingga terjadi genangan air dimana-mana
  4. Bahwa air yang menggenang pada saat banjir tersebut tidak murni air hujan, tetapi juga sudah campur dengan air sungai, air got dan lain sebagainya.
  5. Bahwa disaat musim banjir didapatinya air tersebut adakalanya berwarna keruh bercampur dengan kotoran, limbah, sampah dan lain-lain. Sehingga muncul keragu-raguan akan kesucian dan kebersihan air tersebut.

MENGINGAT:

1.    Firman Allah SWT, antara lain:

a.    Q.S. Al-Hajj/22: 78

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan

b.    Q.S. Al-Furqan/25: 48

وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورا

dan kami turunkan dari langit air yang amat bersih

c.    QS: Al Anfal/8: 11

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّنَ السَّمَاءِ مَاءً لِّيُطَهِّرَكُم بِهِ

dan Allah menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk mensucikan kalian dengan hujan itu

2.    Hadis Nabi Muhammad SAW, antara lain:

a.    Hadis Al-Bukhari

عَنْ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنْ الدُّلْجَةِ

Diceritakan dari Abu Hurairah −semoga Allah meridhainya, dari Nabi −shalawat dan salam untuknya. Beliau bersabda, “Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah. Seseorang tidak mempersulit agamanya kecuali ia akan terkalahkan (tidak dapat melaksanakannya dengan sempurna). Oleh karena itu, tetaplah pada kebenaran (tidak berlebihan dalam lalai), tetalha mendekat (meski tidak bisa mencapai kesempurnaan), bergembiralah (dengan berbuat dan memperoleh pahala), serta memohon pertolongan (kepada Allah) dengan ibadah pada waktu pagi, petang, dan sebagian malam.”

b.    Hadis riwayat Ahmad, Al-Bayhaqi, Al-Hakim, Abu Dawud, dan Al-Tirmidzi

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ يَقُولُ سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

Diceritakan dari Abu Hurayrah −semoga Allah meridhainya. Dia berkata, seorang lelaki bertanya kepada Nabi −shalawat dan salam untuknya. Dia berkata, “Wahai Rasulullah. Kami menaiki (kapal) di laut. Kami membawa serta sedikit air. Jika kamu berwudhu menggunakan air itu maka kami akan kehausan. Apakah kami dapat berwudhu dengan menggunakan air laut?” Beliau −shalawat dan salam untuknya− menjawab,”Air laut itu menyucikan dan bangkainya halal.” (redaksi dikutip dari Abu Dawud)

c.    Hadis riwayat Ibnu Majah

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ الْمَاءُ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إِلاَّ مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ

Diceritakan dari Abu Umamah al-Bahili −semoga Allah meridhainya. Dia berkata, Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− bersabda, “Air tidak bisa dinajsikan oleh apapun kecuali (najis) yang mengalahkan aroma (asli air), rasanya, dan warnanya.”

MEMPERHATIKAN:

Pendapat para ulama, antara lain:

a.    Al-Syirbini (w. 977 H)

(فَإِنْ جُمِعَ) الْمُسْتَعْمَلُ عَلَى الْجَدِيدِ (فَبَلَغَ قُلَّتَيْنِ فَطَهُورٌ فِي الْأَصَحِّ) لِأَنَّ النَّجَاسَةَ أَشَدُّ مِنْ الِاسْتِعْمَالِ، وَالْمَاءُ الْمُتَنَجِّسِ لَوْ جُمِعَ حَتَّى بَلَغَ قُلَّتَيْنِ: أَيْ وَلَا تَغَيُّرَ بِهِ صَارَ طَهُورًا قَطْعًا، فَالْمُسْتَعْمَلُ أَوْلَى

Jika air musta’mal dikumpulkan −berdasarkan qawl jadid− hingga mencapai dua qullah −berdasarkan pendapat al ashahh− maka air tersebut menjadi air yang menyucikan. Karena najis lebih berat dari (sekedar) kemusta’malan. Jika air yang najsi saja jika dikumpulkan hingga mencapai 2 (dua) qullah dan kondisinya tidak berubah bisa menjadi air mensucikan maka air musta’mal lebih bisa untuk menyucikan (saat mencapai dua qullah). 1]

b.    Al-Syirazi (w. 476 H)

وَإِنْ تَغَيَّرَ أَحَدُ أَوْصَافِهِ مِنْ طَعْمٍ أَوْ لَوْنٍ أَوْ رَائِحَةٍ نَظَرْتُ فَإِنْ كَانَ مِمَّا لَا يُمْكِنُ حِفْظُ الْمَاءِ مِنْهُ كَالطُّحْلُبِ وَمَا يَجْرِي عَلَيْهِ الْمَاءُ مِنْ الْمِلْحِ وَالنُّورَةِ وَغَيْرِهِمَا جَازَ الْوُضُوءُ بِهِ لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ صَوْنُ الْمَاءِ مِنْهُ فَعُفِيَ عَنْهُ كَمَا عُفِيَ عَنْ النَّجَاسَةِ الْيَسِيرَةِ وَالْعَمَلِ اْلقَلِيْلِ فِي الصَّلاَةِ.

Jika salah satu kondisi air seperti rasa, warna, atau baunya berubah maka saya berpandangan, jika (kondisi) air itu berubah karena sesuatu yang tidak mungkin dihindari seperti alga (atau ganggang) dan (berubah) karena sesuatu yang memang biasa ada di air seperti garam, batu karang, dan lainnya maka boleh berwudhu dengannya karena benda-benda tidak dapat dhindari dari air sehingga (keberadaannya yang mengubah kondisi air) dimaafkan sebagaimana najis yang sedikit dan gerakan yang sedikit dimaafkan dalam shalat. 2]

فان تَغَيَّرَ أَحَدُ أَوْصَافِ الْمَاءِ مِنْ طَعْمٍ أَوْ لون أو رائحة بالنجاسة فَهُوَ نَجِسٌ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَاءُ طَهُورٌ لَا ينجسه شئ إلا ما غير طعمه أو ريحه فَنَصَّ عَلَى الطَّعْمِ وَالرِّيحِ وَقِسْنَا اللَّوْنَ عَلَيْهِمَا لانه في معناهما

Jika salah satu kondisi/sifat air seperti rasa, warna, atau baunya berubah sebab najis maka air tersebut menjadi najis berdasarkan sabda Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− “Air adalah sesuatu yang menyucikan. Tidak ada sesuatu yang membuatnya najis kecuali (najs) yang mengubah rasanya atau baunya.” Dalam hadis ini Rasulullah −shalawat dan salam untuknya− hanya menetapkan perubahan rasa dan bau. Lalu kami menyamakan keduanya juga dengan (perubahan) warna dengan perubahan rasa dan bau karena kondisi warna dan kondisi keduanya adalah sama (dalam statusnya sebagai sifat air). 3]

c.    Al-Nawawi (w. 676 H)

(الشَّرْحُ) هَذَا الْحُكْمُ الَّذِي ذَكَرَهُ وَهُوَ نَجَاسَةُ الْمَاءِ الْمُتَغَيِّرِ بِنَجَاسَةٍ مُجْمَعٌ عَلَيْهِ قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ أَجْمَعُوا أَنَّ الْمَاءَ الْقَلِيلَ أَوْ الْكَثِيرَ إذَا وَقَعَتْ فِيهِ نَجَاسَةٌ فَغَيَّرَتْ طَعْمًا أَوْ لَوْنًا أَوْ رِيحًا فَهُوَ نَجِسٌ

(Keterangan) Hukum yang dikemukan oleh Al-Syirasi (di atas), yaitu mengenai hukum kenajisan air yang berubah akibat najis adalah hukum yang disepakati oleh para ulama. Ibn al-Mundzir mengatakan, para ulama sepakat bahwa air yang sedikit atau banyak jika terkena najis dan najis tersebut mengubah rasa, warna, dan bau airnya maka air itu menjadi najis. 4]

d.    Kaidah Fiqh

الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

Artinya:
Kemasyaqatan (kerepotan) itu bisa menarik pemudahan. 5]

الضَّرَرُ يُزَالُ

Bahaya/kerugian harus dihilangkan. 6]

MEMUTUSKAN:
MENETAPKAN:
HUKUM PENGGUNAAN AIR BANJIR UNTUK BERSUCI

Pertama : Ketentuan Umum

Yang dimaksud dengan menggunakan air banjir, dalam fatwa ini adalah air yang berasal dari hujan atau rab air laut dengan jumlah yang banyak.

Kedua : Ketentuan Hukum

Hukum menggunakan air banjir untuk bersuci adalah boleh apabila air banjir tersebut

  1. tidak bercampur dengan najis; atau,
  2. bercampur dengan najis tetapi najisnya tidak mengubah warna (alami) air, baunya, dan rasanya.
  3. Warna air banjir yang berubah tidak mengubah status kesuciannya kecuali perubahan tersebut diakibatkan oleh najis.

Ketiga : Rekomendasi

  1. Menghimbau kepada umat islam, meskipun fatwa ini mengizinkan penggunaan air banjir untuk keperluan bersuci dengan memenuhi kriteria-kriteria yang sudah disebutkan di Ketentuan Hukum di atas, selayaknya masyarakat muslim juga memperhatikan sisi kesehatan dalam penggunaan air banjir dengan memperhitungkan apakah air tersebut tercemar atau tidak untuk bahayanya pada kulit yang juga menjadi perhatian dalam agama.
  2. Menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini, agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya.

Keempat : Ketentuan Penutup

Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari membutuhkan penyempurnaan maka akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

 

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 November 2017

KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA PROVINSI DKI JAKARTA

Ketua, Sekretaris,
ttd ttd
Dr. K.H. A. Lutfi Fathullah, M.A. Dr. K.H. Fuad Thohari, M.A.

Mengetahui,
DEWAN PIMPINAN
MAJELIS ULAMA INDONESIA PROVINSI DKI JAKARTA

Ketua Umum, Sekretaris Umum,
ttd ttd
KH. A. Syarifuddin A. Gani, MA KH. Zulfa Mustofa MY

  1. Muhammad ibn Ahmad al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, Juz 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415/1994), h. 122.
  2. Ibrahim ibn ‘Ali Al-Syirazi, Al-Muhadzdzab, Juz 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), h. 18.
  3. Ibid.
  4. Yahya ibn Syaraf Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 1 (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 110.
  5. Jalal al-din al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha`ir (Cet I; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411/1990), h. 7.
  6. Ibid.