Teori ini dalam ilmu ulumul Qur’an disebut munasabah, yaitu dengan melakukan penelusuran terhadap ayat-ayat yang terkait dengan hadis yang dibahas kemudian dianalisa antara teks hadis dan ayat tersebut terkait dengan fungsi hadis terhadap ayat yang dijadikan rujukan. Fungsi hadis terhadap al-Qur’an yaitu menjadi bayan atau penjelas. Menurut guru penulis yaitu Daud Rasyid, bahwa sunnah Rasul SAW memerankan empat fungsi terhadap al-Qur’an yaitu; (1) Menguatkan (Mu’akkidah = Ta’kid) ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an, (2) Memperjelas keterangan (Mubayyin = Bayan) yang terdapat dalam al-Qur’an, (3) Mengembangkan prinsip yang tertuang dalam al-Qur’an (Mufarri’ah = Tafri’), dan (4) menetapkan hukum baru yang terdapat dalam al-Qur’an (Mutsbitah = Itsbatul Hukmi).
Daud Rasyid menegaskan keempat fungsi hadis tersebut di atas:
Pertama, fungsi Mu’akkidah/Ta’kid maksudnya yaitu sunnah menguatkan atau mengokohkan keterangan yang telah ada dalam al-Qur’an. Sebenarnya konsep atau ajaran itu sudah disebutkan dalam al-Qur’an. Kemudian diperkuat lagi oleh keterangan yang terdapat pada Sunnah Rasul SAW sehingga kedudukannya semakin kuat dan kokoh. Contohnya seperti hadits-hadits yang memrintahkan shalat, zakat, puasa, jihad, keharusan berkata jujur dan tidak berbohong, diharamkannya riba (bunga bank) dan masalah-masalah lainnya.
Kedua, fungsi Mubayyinah atau Bayan maksudnya yaitu keterangan yang terdapat dalam al-Qur’an mengenai suatu masalah masih membutuhkan tambahan penjelasan (Bayan), jika keterangan itu hendak dipraktekkan. Di sinilah peran Sunnah menjelaskan lebih rinci sehingga kewajiban yang dituntut Allah SWT dalam ayat al-Qur’an tadi dapat diamalkan. Daud Rasyid menegaskan bahwa penjelasan Hadis terhadap al-Qur’an menggunakan tiga format;
(1) Merinci keterangan yang global dalam al-Qur’an (takhsinul mujmal). Sunnah Rasul SAW banyak menjelaskan lebih rinci praktek-praktek ibadah dan hukum. Umpamanya saja Shalat. Di dalam al-Qur’an, perintah shalat muncul dengan redaksi “Tegakkanlah Shalat dan Tunaikanlah Zakat”. Tapi tidak dijelaskan bagaimana teknis pelaksanaannya, kapan saja waktunya, berapa kali dikerjakan dalam sehari, berapa raka’at dalam setiap shalat, apa saja yang dibaca dalam shalat, dan keterangan-keterangan lain yang sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan shalat. Akan tetapi semua itu dijelaskan oleh Sunnah Rasul SAW, melalui pesan beliau: “Shalatlah kalian sebagainama kalian lihat aku shalat.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
(2) Mengkhususkan keterangan al-Qur’an yang bersifat umum (Takhshishul Umum). Maksudnya ialah Sunnah menetapkan hukum sebagai suatu pengecualian terhadap ketentuan al-Qur’an yang bersifat umum. Umpamanya, ketententuan mengenai hukum waris. Allah SWT telah menetapkan bahwa seseorng jika meninggal dunia dan meninggalkan anak laki-laki dan perempuan, maka bagian anak laki-laki itu adalah dua kali bagian anak perempuan (Surat An-Nisa: 11). Ketentuan ini berlaku umum untuk setiap orang. Namun hadis menetapkan ketentuan lain sebagai pengecualian dari ketentuan umum di atas, yaitu bahwa para nabi yang diutus Allah SWT jika meninggal dunia, maka harta warisnya tidak diwarisi oleh keluarganya, melainkan menjadi sedekah bagi kaum muslimin. Sabda Nabi SAW: “Kami –para Nabi- tidak mewarisi (keluarga), apa yang kami tinggalkan adalah sedekah”. Jadi ketentuan al-Qur’an yang umum tadi telah ditakhsis (dikecualikan) oleh Sunnah Rasul SAW di atas. Demikian pula pengecualian lain, yaitu jika seorang anak membunuh orang tua atau ahli warisnya, maka si anak tidak berhak mendapat harta waris dari orang tuanya yang terbunuh. Sabda Nabi SAW: “Pembunuh tidak mewarisi” (H.R. at-Tirmidzi).
(3) Bahwa Sunnah mempersempit maksud dari satu ketentuan dalam al-Qur’an (Taqyidul Muthlaq). Maksudnya, ketika al-Qur’an menetapkan suatu hukum dengan menggunakan kata-kata yang dapat diartikan luas, maka sunnah mumcul mempersempit makna yang disebutkan dalam al-Qur’an. Contohnya, orang yang mencuri harta orang lain dalam jumlah tertentu menurut ketentuan hukum Allah, harus dijatuhi hukuman potong tangan. Mengenai ukuran/batas tangan yang dipotong itu tidak dibatasi oleh al-Qur’an. Al-Qur’an hanya menyebut kata “yad” (tangan) saja. Sedangkan batasan tangan menurut bahasa bisa sebatas pergelangan, bisa sampai siku bahkan bisa sampai ke bahu. Semuanya itu bisa disebut tangan. Pengertian mana yang dimaksud jika terjadi eksekusi? Disinilah fungsi sunnah memberi penjelasan (bayan) bahwa yang dimaksud dengan “tangan’ itu adalah sebatas pergelangan, bahkan sampai ke siku, sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi ketika mengeksekusi seorang pencuri. Jadi sunnah di sini berfungsi mempersempit makna sebuah ketentuan hukum dalam al-Qur’an.
Ketiga, fungsi Mufarri’ah atau Tafri’ yaitu maksudnya bahwa al-Qur’an memuat sejumlah prinsip atau ketentuan pokok yang mengatur kehidupan manusia. Kemudian Sunnah menetapkan sejumlah tambahan hukum untuk mengembangkan atau menjabarkan prinsip tersebut agar aturan syari’at terasa dapat menjawab permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat. Jika ketentuan al-Qur’an itu dipandang sebagai ketentuan pokok maka ketentuan Sunnah disini adalah ketentuan pelaksanaan di lapangan. Contohnya, al-Qur’an melarang bahwa seseorang tidak boleh memakan harta orang lain dengan cara yang bathil (tidak sah) kecuali melalui proses yang sama-sama disetujui kedua belah pihak. Allah berfirman: “Janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan cara batil, kecuali dengan perdagangan yang sama-sama kamu ridhoi” (An-Nisa:29).
Ketentuan ini bisa dipandang sebagai ketentuan pokok atau prinsip dalam mu’amalat (transaksi) Islam. Seseorang tidak boleh menghalalkan harta orang lain sekecil apa pun tanpa melalui mekanisme dagang yang didasarkan atas prinsip “suka sama suka” (ridho).
Keempat, fungsi Mutsbitah atau Itsbatul Hukmi, maksudnya yaitu Sunnah menetapkan sejumlah ketentuan hukum yang sama sekali tidak terdapat dalam al-Qur’an. Bukan sebagai penjelasan, bukan pula sebagai ketentuan penguat. Akan tetapi murni membuat aturan baru yang tidak ada dalam al-Qur’an. Contohnya Rasulullah SAW menetapkan haram hukumnya memakan daging keledai jinak, hewan yang bertaring, jenis unggas yang bercakar. Juga dalam hukum nikah, Rasul SAW juga melarang memadukan antara seorang perempuan dengan bibinya (adik ayah atau adik ibunya). Masih dalam bidang pernikahan bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya wajib menjalani masa berkabung (tidak berwangi-wangi dan tidak berhias). Dalam bidang pidana, Rasulullah SAW menetapkan hukuman mati untuk orang yang keluar dari Islam (murtad) setelah diberi tenggang waktu untuk taubat.[10]
Untuk meneliti hasil tianggulasi antara teks hadits dengan ayat-ayat al-Qur’an dapat dianalisa menggunakan teori fungsi hadis terhadap al-Qur’an sebagai termaktub dalam penjelasan Daud Rasyid di atas, itu baru salah satu pendapat karena masih ada banyak pendapat tentang teori fungsi hadis terhadap al-Qur’an ini akan tetapi pada hakikatnya sama.