Teori Kritik Sanad


Berdasarkan pendapat Syuhudi Isma’il, dalam kegiatan kritik sanad, beberapa masalah sering dihadapi oleh peneliti hadis, misalnya; (1) adanya periwayat yang tidak disepakati kualitasnya oleh para kritikus hadis, (2) adanya sanad yang mengandung lambang-lambang anna, ‘an, dan yang semacamnya, dan (3) adanya matan hadis yang memiliki banyak sanad, tetapi semuanya lemah (dha’if).

Dalam menghadapi masalah-masalah seperti di atas, sikap kritis peneliti tetap dituntut, baik terhadap para kritikus, maupun argumen yang digunakan oleh mereka dalam melakukan kritik. Untuk itu, perlu diperhatikan apakah kritikus yang bersangkutan termasuk mutasyaddid (“ketat”), mutawassith (“moderat”), ataukah mutasahil (“longgar”) dalam menilai periwayat, seberapa jauh pengetahuan kritikus itu terhadap periwayat yang dikritiknya, serta apakah antara kritikus dan yang dikritik tidak terdapat persoalan , misalnya perbedaan madzhab dan sentimen pribadi. Di samping itu, kritik yang mereka ajukan apakah disertai argumen ataukah tidak, dan bila disertai argumen, maka apakah itu relevan dengan isi kritikannya ataukah tidak. Dalam hubungan ini, teori al-jarh wa al-ta’dil perlu diterapkan secara cermat.

Untuk menghadapi sanad yang mengandung lambang-lambang anna ( yang hadisnya disebut mu’annan), ‘an (yang hadisnya disebut mu’an’an), dan yang semacamnya, maka diperlukan kecermatan ekstra dalam meneliti keadilan dan ke-dhabit-an periwayat yang menggunakan lambang-lambang itu, serta hubungan periwayatnya dengan periwayat sebelumnya yang diantarai oleh lambang-lambang tersebut. Tanpa disertai kecermatan ekstra, hasil penelitian mungkin akan mengalami kesalahan fatal, misalnya sanad hadis yang mengandung kelemahan yang parah dinyatakan sebagai sanad yang shahih. Dalam sanad mu’annan , mu’an’an dan semacamnya sering terdapat tadlis (penyembunyian kecacatan), yang ada kalanya tadlis itu berupa keterputusan sanad.

Untuk menghadapi suatu hadis yang sanadnya banyak, tetapi semuanya dha’if, maka dalam hal ini perlu ditelaah letak ke-dha’if-annya. Sanad yang dha’if tetap saja dha’if bila ke-dha’if-annya itu terletak pada riwayat yang sama tanpa ada muttabi’ (corroboration) yang mampu “menolongnya”.

Hadis yang berisi dialog antara Nabi SAW dan Mu’adz bin Jabbal tentang urusan sumber hukum Islam tatkala Mu’adz diutus ke Yaman merupakan salah satu contoh. Sanad hadis tersebut cukup banyak. Mukharrij-nya selain Abu Daud dan al-Turmudzi, juga Ahmad bin Hanbal dan al-Darimi. Seluruh sanad hadis tersebut dha’if dan letak ke-dha’if-annya Ahmad bin Hanbal adalah sama, yaitu sama-sama melalui al-Harits bin ‘Amr yang berkualitas sangat lemah, ditambah lagi al-harits itu menyandarkan riwayatnya kepada periwayat yang mubham (tidak jelas individunya). Dalam hal demikian, keadaan sanadnya Abu daud dan salah satu sanad-nya Ahmad lebih parah lagi sebab kelemahan-kelemahan tersebut masih ditambah lagi dengan kelemahan sanad berstatus mursal.

Untuk mengatasi sanad yang keadaannya seperti itu, diperlukan kecermatan dalam melakaukan i’tibar (pembuatan skema sanad), di samping takhrij al-hadits untuk hadis-hadis yang semakna dan tahqiq dengan metode muqaranah.[17]

[17] Lihat Syuhudi Isma'il, Kriteria Hadis Shahih: Kritik Sanad dan Matan, dalam buku Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis, hal. 10-12, LPPI (Lembaga pengkajian dan Pengamalan Islam), Yogyakarta, 1996.