Kritik terhadap matan hadis oleh Syuhudi Ismail disebut sebagai tolak ukur penelitian matan hadis (ma’ayir naqd al-matan), dalam hal ini para ulama tidaklah seragam. Al-Khathib al-Baghdadi (w.463 H = 1072 M) menerangkan bahwa matan hadis yang maqbul (diterima sebagai hujjah) harus memiliki kriteria di antaranya; (1) tidak bertentangan dengan akal yang sehat, (2) tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang telah muhkam, (3) tidak bertentangan dengan hadis yang mutawatir, (4) tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (ulama salaf), (5) tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti, (6) Tidak bertentangan dengan hadis yang ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat. Menurut Syuhudi Isma’il keenam butir tolak ukur tersebut tampak masih tumpang tindih. Selain itu masih ada tolak ukur penting yang tidak disebutkan, misalnya susunan bahasa dan fakta sejarah.
Bagi Shalah al-Din al-Adlabi, pokok-pokok tolak ukur penelitian keshahihan matan ada empat macam, yakni: (1) tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an, (2) tidak bertentangan dengan hadis yang kualitasnya lebih kuat, (3) tidak bertentangan dengan akal yang sehat, indera dan sejarah, dan (4) susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian. Menurut Syuhudi Isma’il tolak ukur tersebut masih bersifat global dan masih dimungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut.
Syuhudi Isma’il menambahkan bahwa butir-butir tolak ukur di atas, yang dapat dinyatakan sebagai kaidah keshahihan matan , oleh jumhur ulama dinyatakan sebagai tolak ukur untuk meneliti kepalsuan suatu hadis. Menurut jumhur ulama, tanda-tanda matan hadis yang palsu ialah; (1) susunan bahasanya rancu, (2) isinya bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit diinterpretasikan secara rasional, (3) isinya bertentangan dengan hukum alam (sunnatullah), (5) isinya bertentangan dengan sejarah, (6) isinya bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an ataupun hadis mutawatir yang telah mengandung petunjuk secara pasti, dan (7) isinya berada di luar kewajaran dari petunjuk umum ajaran Islam.
Syuhudi Isma’il menambahkan bahwa walaupun butir-butir tolak ukur penelitian matan tersebut tampak telak cukup menyeluruh, tetapi tingkat akurasinya ditentukan juga oleh ketetapan metodologis dalam penerapannya. Untuk itu, kecerdasan, keluasan pengetahuan, dan kecerematan penelitian sangat dituntut.
Kritik matan dilakukan setelah kritik sanad, karena penelitian matan barulah bermanfaat bila sanad hadis yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk hujjah. Bila sanad bercacat berat, maka matan tidak perlu diteliti sebab tidak akan bermanfaat untuk hujjah.[18]
Adapun masalah yang dihadapi dalam kegiatan kritik matan menurut Syuhudi Isma’il adalah masalah metodologis dalam penerapan tolak ukur kaidah kritik matan terhadap matan yang sedang diteliti. Hal itu disebabkan oleh butir-butir tolak ukur yang memiliki banyak segi yang dilihat. Kesalahan penerapan tolak ukur dapat berakibat terjadinya kesalahan penelitian. Dalam hal ini peneliti harus memiliki pengetahuan yang luas, khususnya berkenaan dengan ajaran Islam, metode ijtihad, liku-liku kapasitas Nabi SAW dalam menyampaikan hadis, dan kearifan Nabi SAW dalam menghadapi audience dan masyarakat.
Sering pula peneliti menghadapi matan-matan hadis yang ditelitinya tampak bertentangan. Dalam hal ini, harus diteliti ulang dengan lebih cermat semua sanad hadis yang bersangkutan. Bila ada yang shahih dan ada yang dha’if, maka dha’if dinyatakan sebagai mardud (ditolak sebagai hujjah). Bila masing-masing matan ternyata bersanad shahih, jadi sama-sam maqbul (diterima sebagai hujjah), maka langkah awal yang harus ditempuh adalah dengan menggunakan metode al-jam’u atau al-taufiq (pengkompromian). Apabila metode itu tidak mungkin dilakukan, maka dapat dipertimbangkan penggunaan metode al-nasikh wa al-mansukh, yang al-nasikh berstatus ma’mul bih (diamalkan), sedang yang al-mansukh berstatus ghair al-ma’mil bih tidak diamalkan). Metode ini baru dapat digunakan jika hadis yang diteliti memiliki sabab wurud (sebab terjadinya hadis), bila sabab wurud itu ternyata tidak ada, maka ditempuh metode berikutnya, yakni al-tarjih yang dalam ilmu hadis ada lebih dari lima puluh macam). Apabila metode al-tarjih sulit ditempuh, maka terpaksa digunakan metode al-tauqif (membiarkan sementara waktu sampai ditemukan jalan penyelesaiannya).[19]