Teori Al-Jarh wa Al-Ta’dil

Dalam mengkaji sanad hadis teori terkait dengan jarh wa ta’dil ini juga dapat digunakan sebagai pisau analisis hasil penelitian kajian sanad hadis, salah satunya yaitu untuk melihat sifat-sifat para perawi yang meriwayatkan hadis yang dicari sesuai kebutuhan tentunya. Sifat-sifat para perawi ini juga merupakan bagian dari syarat ke-shahih-an sebuah hadis yaitu rawinya adil dan rawinya dlabit (kuat hafalannya).

Sanad merupakan hal yang penting untuk dikaji dalam penelitian hadis karena ada beberapa alasan di antaranya adalah pendapat Abdullah bin al-Mubarak yaitu:

الإسناد من الدين ولولا الإسناد لقال من شاء ما شاء

“Sanad itu bagian dari agama dan jika tidak ada sanad maka orang akan berbicara seenaknya”.[11]

Jarh secara bahasa yaitu Al-Jarhu (dengan memfathahkan jim) berarti “at-ta’tsir fi al-jismi bi as-salahi” maksudnya bekas kotoran pada tubuh” dan Al-Jurhu (dengan mendlomahkan jim) berarti “ismun lil jarhi” maksudnya yaitu “nama pada luka”, menurut sebagian ulama fiqh Al-Jurhu yaitu ” yakunu fi al-badani bi al-hadid wa nahwihi” maksudnya terdapat besi pada badan dan semisalnya”.

Sedangkan Al-Jarh menurut istilah yaitu mensifati perawi dengan sifat yang melemahkan periwayatannya atau mendlo’ifkannya atau juga menolak periwayatannya. Seperti sifat “ash-shoduq sai’ul hifdzi” yaitu jujur tapi lemah hafalannya”.[12] Sifat ini menurutkan derajat dari shahih menjadi hasan.

Adapun At-Ta’dil secara bahasa yaitu At-Taswiyah = membuat sama, dan “Taqwim asy-Syai’i wa Mawazinatuhu bi Gairihi” maksudnya membuat kuat sesuatu dan menimbangnya dengan yang lain”. Sedangkan menurut istilah yaitu mensifati perawi dengan sifat-sifat yang maqbul (diterima) pada periwayatannya.

Kalimat At-Ta’dil secara istilah sama dengan makna At-Tautsiq. Asal kalimat At-Ta’dil yaitu “al-hukmu bi ‘adalat ar-rawi” maksudnya menghukumi perawi dengan sifat adil, lebih jauh lagi At-Ta’dil mengandung makna At-Taustiq yaitu “al-hukmu bi ‘adalat ar-rawi wa dlobthihi ma’an li annahuma asassu qobuli khabari ar-rawi” maksudnya menghukumi perawi dengan sifat adil dan kuat hafalannya secara bersamaan karena sesungguhnya sifat adil dan dlobith tersebut pada dasarnya menyebabkan diterimanya periwayatan seorang perawi”.[13]

Sifat-sifat Al-Jarh dan At-Ta’dil tersebut terdapat beberapa tingkatan sebagaimana yang penulis dapatkan informasinya dari kitab Ar-Raf’u wa At-Takmil, sebagai berikut:

Menurut Ibnu Abi Hatim yang diikuti oleh Ibnu Shalah[14] bahwa tingkatan At-Tajrih yaitu ada lima tingkatan sebagai berikut :

Sedangkan tingkatan at-Ta’dil menurut Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Shalah yaitu sebagai berikut:

Menurut Ibnu Hajar yang dikutip oleh Muhammad ‘Abd al-Hay[16] mengatakan bahwa tingkatan al-jarh dan al-ta’dil terdiri dari 12 tingkatan, semuanya merupakan kumpulan dari tingkatan al-ta’dil dan al-tajrih dengan mendahulukan ditingkatan paling awal/pertama yaitu al-ta’dil, sebagai berikut:

Sebenarnya masih banyak pendapat terkait dengan tingkatan al-jarh wa al-ta’dil, akan tetapi yang penulis kutip salah satunya yaitu pendapat Ibnu Hajar tersebut di atas menjadi rujukan dalam contoh penelitian hadis yang akan dibahas pada bab berikutnya.