A. Teori Ke-shahih-an Sebuah Hadis
Ke-shahih-an sebuah Hadis (sebagaimana yang telah dicanangkan oleh muhadditsin) tergantung kepada lima hal, di antaranya; (1) sanad-nya bersambung, (2) pe-rawi-nya ‘adil, (3) perawinya dlabith, (4) tidak syadz, dan (5) tidak ada ‘illat.
Ada beberapa pendapat terkait dengan ke-adil-an seorang perawi Hadis. Syuhudi Ismail menjelaskan pendapat muhadditsin tentang ke-adil-an perawi[1] , diantaranya;
No. | Nama Muhadditsin | Kriteria Ke-adil-an |
1 | Al-Hakim | Beragama Islam, tidak berbuat bid’ah dan tidak berbuat maksiat |
2 | Ibnu Shalah | Baragama Islam, baligh, berakal, memelihara muru’ah dan tidak berbuat fasik |
3 | Al-Nawawiy | Baragama Islam, baligh, berakal, memelihara muru’ah dan tidak berbuat maksiat (sependapat dengan Ibnu Shalah) |
4 | Ibnu Hajar Al-‘Asqalaniy | Taqwa, memelihara muru’ah, tidak berbuat dosa besar, tidak berbuat bid’ah dan tidak berbuat fasik |
5 | Al-Harawiy | Beragama Islam, baligh, berakal, memelihara muru’ah dan tidak berbuat fasik (sependapat dengan Ibnu Shalah) |
6 | Al-Sawkaniy | Taqwa, memelihara muru’ah, tidak berbuat dosa besar, menjauhi dosa kecil dan menjauhi hal-hal yang dibolehkan yang dapat merusak muru’ah |
7 | Al-Tirmisiy | Memelihara muru’ah, tidak berbuat dosa besar, menjauhi dosa kecil, tidak berbuat bid’ah dan tidak berbuat fasik |
8 | Ahmad M.Syakir | Beragama Islam, baligh, berakal, memelihara muru’ah, tidak berbuat fasik dan dapat dipercaya beritanya. |
9 | Nur Al-Din ‘Itr | Beragama Islam, baligh, berakal, taqwa, memelihara muru’ah, tidak berbuat dosa besar menjauhi dosa kecil dan tidak berbuat fasik |
10 | M. ‘Ajjaj Al-Khathib | Memelihara muru’ah, teguh dalam beragama, tidak berbuat fasik dan baik akhlaknya |
11 | Al-Ghazaliy | Taqwa, memelihara muru’ah, tidak berbuat dosa besar, menjauhi dosa kecil dan menjauhi hal-hal yang dibolehkan yang dapat merusak muru’ah |
12 | Ibnu Qudamah | Memelihara muru’ah, teguh dalam agama, tidak berbuat dosa besar dan menjauhi dosa kecil |
13 | Al-Amidiy | Memelihara muru’ah, tidak berbuat dosa besar, menjauhi dosa kecil dan menjauhi hal-hal yang dibolehkan yang merusak muru’ah |
14 | Al-Jurjaniy | Memelihara muru’ah, tidak melakukan dosa besar, menjauhi dosa kecil dan biasanya benar |
15 | Al-Khudhariy Bik | Taqwa, memelihara muru’ah, tidak berbuat dosa besar dan menjauhi dosa kecil |
Dari lima belas pendapat muhadditsin di atas dapat di simpulkan bahwa kriteria adil bagi perawi yaitu; memelihara muru’ah (pendapat 14 orang muhadditsin), tidak berbuat maksiat/dosa besar (pendapat 11 orang muhadditsin), menjauhi dosa kecil (pendapat 8 orang muhadditsin), tidak berbuat fasik (pendapat 7 orang muhadditsin), baragama Islam (pendapat 6 orang muhadditsin), baligh (pendapat 5 orang muhadditsin), berakal (pendapat 5 orang muhadditsin), taqwa (pendapat 4 orang muhadditsin), menjauhi hal-hal yang dibolehkan yang dapat merusak muru’ah (pendapat 3 orang muhadditsin), tidak berbuat bid’ah (pendapat 3 orang muhadditsin), teguh dalam beragama (pendapat 2 orang muhadditsin), dapat dipercaya beritanya (pendapat 1 orang muhaddits), baik akhlaknya (pendapat 1 orang muhaddits) dan biasanya benar (pendapat 1 orang muhaddits). Melihat kuantitas pendapat tersebut yang lebih banyak mengacu pada memelihara muru’ah bagi perawi Hadis.
Syarat lain perawi Hadis Shahih yaitu dhabith, yang berarti periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya), periwayat itu hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya) dan periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya dengan baik kapan saja dia menghendakinya dan sampai saat dia menyampaikan riwayat itu kepada orang lain.[2]
Adapun kemungkinan terjadinya syadz dalam Hadis yaitu dikarenakan Hadis memiliki lebih dari satu sanad dan para periwayat itu tidak seluruhnya tsiqah sehingga dalam matannya mengandung pertentangan.[3]
Begitu juga dengan adanya ‘illat dalam Hadis yaitu karena sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas Hadis. Orang yang mampu meneliti ‘illat Hadis hanyalah orang yang cerdas, memiliki hafalan Hadis yang banyak, faham akan Hadis yang dihafalnya, mendalami pengetahuan tentang berbagai tingkat ke-dhabith-an periwayat dan ahli dibidang sanad dan matan Hadis.[4] Untuk mengetahui kuantitas dan kualitas hadisnya maka perlu melakukan penelitian terhadap hadis dalam istilah ilmu hadis dikenal sebagai takhrij hadis.
Menurut Syuhudi isma’il bahwa ke-syadz-an sanad hadis baru dapat diketahui setelah diadakan penelitian sebagai berikut:
(1) Semua sanad yang mengandung matan hadis yang pokok masalahnya memiliki kesamaan dihimpun dan diperbandingkan,
(2) Para periwayat di seluruh sanad diteliti kualitasnya,
(3) Para periwayat bersifat tsiqat dan ternyata ada seorang periwayat yang sanadnya menyalahi sanad-sanad lainnya, maka sanad yang menyalahi itu disebut sanad syadz sedang sanad-sanad lainnya disebut sanad mahfuzh.[5]
Syuhudi Isma’il menambahkan bahwa apabila terjadi pertentangan antara para periwayat dengan periwayat yang lain yang sama-sam bersifat tsiqah, maka periwayat yang sendirian “dikalahkan’ oleh periwayat yang banyak. Periwayat yang banyak dalam hal ini “dimenangkan”, karena mereka dinilai lebih kuat atau lebih tsiqah (awtsaq).[6] Contohnya seperti skema berikut ini:
Sanad yang syadz tersebut dikarenakan terputus sanad-nya ditingkat periwayat sahabat yaitu ‘Aisyah dan yang memutuskannya periwayat yang berstatus tabi’iy yaitu Khalid bin Mihran dengan demikian hadis tersebut dinamakan hadis mursal al-tabi’iy.
Melihat syarat-syarat keshahihan hadis tersebut di atas, maka dalam meneliti sebuah hadis analisanya merujuk kepada syarat tersebut , oleh karenanya penelusurannya pun disesuaikan dengan teori ilmu hadis yang akan di jadikan alat analisa data penelitian hadis.