LandasanTeoritik


Kontribusi berarti sumbangan[14] , dalam kaitannya dengan penelitian ini berarti sumbangan dalam periwayatan Hadis yang dilakukan oleh salah satu istri Rasulullah SAW yaitu ‘Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal. Musnad adalah setiap kitab yang di dalamnya mengandung kumpulan Hadis yang diriwayatkan oleh para shahabat menurut ketentuan tertentu atau kitab yang disusun berdasarkan nama-nama shahabat[15] salah satunya adalah “Musnad Ahmad bin Hanbal” Cetakan Riyadl yang dijadikan objek dalam penelitian ini.

Adapun sistematika penulisan kitab Musnad Ahmad bin Hanbal adalah sebagai berikut :

No. Nama Musnad Halaman Kitab Jumlah Hadis Jumlah Rawi
1 مسند الخلفاء الراشدون 1-149 1380 6 orang
2 مسند العشرة المبشرين بالجنة 149-175 320 6 orang
3 مسند توابع العشرة 175-177 15 4 orang
4 مسند آل ابي طالب 177-182 44 5 orang
5 مسند آل العباس 182-306 784 5 orang
6 مسانيد المكثرين 306-1068 826 8 orang
7 مسند المكيين 1068-1142 813 254 orang
8 أول مسند المدينين 1142-1207 746 149 orang
9 مسند الشامين 1207-1317 1322 193 orang
10 أول مسند الكوفين 1317-1449 1742 162 orang
11 مسند البصرين 1449-1547 1397 118 orang
12 مسند الأنصار 1546-1802 3111 261 orang
13 مسند النساء 1802-2065 3688 162 orang
Jumlah 28199 1288

Susunan tersebut di atas merujuk kepada kitab Musnad Ahmad bin Hanbal yang terdiri dari satu jilid besar yang merupakan cetakan Riyadl.[16] Dapat diketahui jumlah perawi yang meriwayatkan Hadis dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal yaitu sebanyak 1288 orang.

Dalam Musnad Al-Nisa’ terdapat 8 orang istri Rasulullah SAW yang termasuk perawi yang meriwayatkan Hadis-hadis pada kitab Musnad Ahmad bin Hanbal tersebut. Istri Rasulullah yang paling banyak meriwayatkan Hadis yaitu ‘Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq.

‘Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah istri ketiga Rasulullah SAW. Ia putra dari shahabat Rasulullah SAW sendiri yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Sebagai istri Rasulullah SAW, ‘Aisyah dikenal sebagai wanita yang sangat menonjol dalam bidang pemikiran, keutamaan, serta penghayatan keagamaannya.

Banyak Hadis yang ia riwayatkan. Setelah Rasulullah SAW wafat, ia menjadi tempat rujukan bagi para shahabat Rasulullah SAW. Ia memberikan fatwa serta meriwayatkan Hadis-hadis rasulullah SAW dari balik tabir, jumlahnya tidak kurang dari 1.210 Hadis, di antaranya 228 terdapat dalam kitab Shahih Imam Al-Bukhari[17] dan 999 terdapat dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal (CD Hadis).

Ke-Shahih-an sebuah Hadis (sebagaimana yang telah dicanangkan oleh muhadditsin) tergantung kepada lima hal, di antaranya; (1) sanad-nya bersambung, (2) pe-rawi-nya ‘adil, (3) perawinya dlabith, (4) tidak syadz, dan (5) tidak ada ‘illat.
Ada beberapa pendapat terkait dengan ke-adil-an seorang perawi Hadis. Syuhudi Ismail menjelaskan pendapat muhadditsin tentang ke-adil-an perawi , diantaranya;

No. Nama Muhadditsin Ke-adil-an
1 Al-Hakim Beragama Islam tidak berbuat bid’ah dan tidak berbuat maksiat
2 Ibnu Shalah Beragama Islam, baligh, berakal, memelihara muru’ah dan tidak berbuat fasik
3 Al-Nawawiy Baragama Islam, baligh, berakal, memelihara muru’ah dan tidak berbuat maksiat (sependapat dengan Ibnu Shalah)
4 Ibnu Hajar Al-‘Asqalaniy Taqwa, memelihara muru’ah, tidak berbuat dosa besar, tidak berbuat bid’ah dan tidak berbuat fasik
5 Al-Harawiy Beragama Islam, baligh, berakal, memelihara muru’ah dan tidak berbuat fasik (sependapat dengan Ibnu Shalah)
6 Al-Sawkaniy Taqwa, memelihara muru’ah, tidak berbuat dosa besar, menjauhi dosa kecil dan menjauhi hal-hal yang dibolehkan yang dapat merusak muru’ah
7 Al-Tirmisiy Memelihara muru’ah, tidak berbuat dosa besar, menjauhi dosa kecil, tidak berbuat bid’ah dan tidak berbuat fasik
8 Ahmad M.Syakir Beragama Islam, baligh, berakal, memelihara muru’ah, tidak berbuat fasik dan dapat dipercaya beritanya.
9 Nur Al-Din ‘Itr Beragama Islam, baligh, berakal, taqwa, memelihara muru’ah, tidak berbuat dosa besar menjauhi dosa kecil dan tidak berbuat fasik
10 M. ‘Ajjaj Al-Khathib Memelihara muru’ah, teguh dalam beragama, tidak berbuat fasik dan baik akhlaknya
11 Al-Ghazaliy Taqwa, memelihara muru’ah, tidak berbuat dosa besar, menjauhi dosa kecil dan menjauhi hal-hal yang dibolehkan yang dapat merusak muru’ah
12 Ibnu Qudamah Memelihara muru’ah, teguh dalam agama, tidak berbuat dosa besar dan menjauhi dosa keci
13 Al-Amidiy Memelihara muru’ah, tidak berbuat dosa besar, menjauhi dosa kecil dan menjauhi hal-hal yang dibolehkan yang merusak muru’ah
14 Al-Jurjaniy Memelihara muru’ah, tidak melakukan dosa besar, menjauhi dosa kecil dan biasanya benar
15 Al-Khudhariy Bik Taqwa, memelihara muru’ah, tidak berbuat dosa besar dan menjauhi dosa kecil

Dari lima belas pendapat muhadditsin di atas dapat di simpulkan bahwa kriteria adil bagi perawi yaitu; memelihara muru’ah (pendapat 14 orang muhadditsin), tidak berbuat maksiat/dosa besar (pendapat 11 orang muhadditsin), menjauhi dosa kecil (pendapat 8 orang muhadditsin), tidak berbuat fasik (pendapat 7 orang muhadditsin), baragama Islam (pendapat 6 orang muhadditsin), baligh (pendapat 5 orang muhadditsin), berakal (pendapat 5 orang muhadditsin), taqwa (pendapat 4 orang muhadditsin), menjauhi hal-hal yang dibolehkan yang dapat merusak muru’ah (pendapat 3 orang muhadditsin), tidak berbuat bid’ah (pendapat 3 orang muhadditsin), teguh dalam beragama (pendapat 2 orang muhadditsin), dapat dipercaya beritanya (pendapat 1 orang muhaddits), baik akhlaknya (pendapat 1 orang muhaddits) dan biasanya benar (pendapat 1 orang muhaddits). Melihat kuantitas pendapat tersebut yang lebih banyak mengacu pada memelihara muru’ah bagi perawi Hadis.

Syarat lain perawi Hadis Shahih yaitu dhabith, yang berarti periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya), periwayat itu hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya) dan periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya dengan baik kapan saja dia menghendakinya dan sampai saat dia menyampaikan riwayat itu kepada orang lain.[19]

Adapun kemungkinan terjadinya syadz dalam Hadis yaitu dikarenakan Hadis memiliki lebih dari satu sanad dan para periwayat itu tidak seluruhnya tsiqah sehingga dalam matannya mengandung pertentangan.[20]

Begitu juga dengan adanya ‘illat dalam Hadis yaitu karena sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas Hadis. Orang yang mampu meneliti ‘illat Hadis hanyalah orang yang cerdas, memiliki hafalan Hadis yang banyak, faham akan Hadis yang dihafalnya, mendalami pengetahuan tentang berbagai tingkat ke-dhabith-an periwayat dan ahli dibidang sanad dan matan Hadis.[21] Untuk mengetahui kuantitas dan kualitas hadisnya maka perlu melakukan penelitian terhadap hadis dalam istilah ilmu hadis dikenal sebagai takhrij hadis.

Takhrij sebagai metode untuk menemukan kehujjahan Hadis terbagi kepada tiga yaitu :

  1.  Takhrij Naql (Akhdzu)
    Takhrij dalam bentuk ini kegiatannya berupa penelusuran, penukilan dan pengambilan Hadis dari berbagai kitab / diwan Hadis (Mashadir Al-Ashliyah), sehingga dapat diidenfikasi Hadis-hadis tertentu yang dikehendaki lengkap dengan rawi dan sanadnya masing-masing.
  2. Takhrij Tashhih
    Cara ini sebagai lanjutan dari cara pertama di atas, yang menggunakan pendekatan takhrij dengan al-naql. Tashhih dalam arti menganalisa keshahihan Hadis dengan mengkaji rawi, sanad dan matan berdasarkan kaidah.
  3. Takhrij I’tibar (Al-Bahts)
    Cara ini sebagai lanjutan dari cara kedua di atas. I’tibar berarti mendapatkan informasi dan petunjuk dari literatur, baik kitab/diwan yang asli (Mushahaf, Musnad, Sunan dan Shahih), kitab Syarah dan kitab-kitab yang memuat problematika Hadis.[22]

Sedangkan Ahmad Lutfi dari Mahmud Thahan berpendapat bahwa metode takhrij ada lima, di antaranya :

  1. Mentakhrij dengan cara mengetahui nama shahabat yang meriwayatkan Hadis.
  2. Mentakhrij dengan cara mengetahui kata pertama dari pada lafadz Hadis.
  3. Mentakhrij dengan cara mengetahui satu kalimat yang sering diulang dari lafadz Hadis itu sendiri.
  4. Mentakhrij dengan cara mengetahui salah satu tema Hadis atau pokok bahasan Hadis.
  5. Mentakhrij dengan cara mengetahui sanad dan matan Hadis.[23]

Akan tetapi melihat pendapat Endang Soetari dalam bukunya “Ilmu Hadis kajian Riwayah dan Dirayah”, kelima metode yang dirumuskan Mahmud Thahan termasuk ke dalam metode takhrij yang pertama yaitu Takhrij Al-Naql (Al-Akhdzu). Sebagaimana skema berikut :

Sedangkan metode takhrij yang kedua, bagi Endang Soetari pembahasannya berkaitan dengan teori-teori Ilmu Hadis tentang pembagian Hadis dilihat dari segi kualitasnya, baik yang maqbul (diterima) maupun yang mardud (ditolak). Sebagaimana skema berikut :

Selanjutnya metode takhrij yang ketiga, Endang Soetari membahasnya berkaitan dengan kitab-kitab Mashadir Al-Ashliyah dan kitab-kitab syarah Hadis serta kitab-kitab yang memuat dalil-dalil Hadis atau problematika Hadis. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema di bawah ini :

 

[14] Lihat Badudu-Zain, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 715, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001 [15] Lihat Mahmud Thahan, Taisir Mushthalah Al-Hadis, hal. 15, Dar Al-Fikr, Beirut-Libanon, tt. [16] Musnad Ahmad, Op. Cit., hal. 2069-2085. [17] Tim penyusun (Azyumardi Azra dkk.), Ensiklopedi Islam, hal. 95, PT. Ikrar Mandiri Abadi, Jakarta, 1997. [18] Lihat Syuhudi Isma’il, Kaidah-kaidah Kesahihan Hadis, hal. 130, Bulan Bintang, Jakarta, 1995. [19] Ibid., hal. 136. [20] Ibid., hal. 139. [21] Ibid., hal. 147 [22] Lihat Endang Soetari, Ilmu Hadis Kajian Riwayah dan Dirayah, hal. 124-137, Cet. II, Amal Bakti Press, Bandung, 2000. [23] Lihat Ahmad lutfi, Kajian Kitab Durrat Al-Nashihin, hal. Xviii, Disertasi, 2000.