Teori Penerimaan dan Penyampaian Hadis


Azami mengatakan bahwa metode pembelajaran hadis atau cara mempelajari hadis di awal masa Islam ada delapan metode yang biasanya dipakai untuk mempelajari dan mencari hadis, sebagai berikut :

1. Sima’, yaitu seorang guru membaca hadis di depan murid.

2. ‘Aradh, yaitu seorang murid membacakan hadis (yang didapatkannya dari gurunya yang lain)di depan gurunya.

3. Ijazah, pemberian izin oleh seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan sebuah buku hadis tanpa membaca hadis tersebut satu per satu.

4. Munawalah, yaitu seorang guru memberikan sebuah materi tertulis kepada seseorang untuk meriwayatkannya.

5. Kitabah, yaitu seorang guru menuliskan rangkaian hadis untuk seseorang.

6. I’lam, yaitu memberikan informasi kepada seseorang bahwa ia memberikan izin untuk meriwayatkan materi hadis tertentu.

7. Washiyah, yaitu seorang guru (syaikhul hadits) mewariskan buku-buku hadisnya kepada seseorang.

8. Wijadah, seseorang menemukan sejumlah buku-buku hadis yang ditulis oleh seseorang yang tidak dikenal namanya. Corak semacam ini, sering ditemukan dalam bentuk manuskrip disebuah perpustakaan atau tempat lainnya. (Azami, 1992 : 37-38)

Sedangkan menurut Zuhri, metode mempelajari atau menerima hadis yang biasa dipakai secara umum oleh ulama berbagai generasi adalah :

1. Al-Sima, yaitu seorang guru membaca hadis yang dihafalnya atau yang ada di kitab tertentu di hadapan murid. Cara ini bisa diselingi dengan membaca hafalan, membaca dari kitab-kitab, tanya jawab dan dikte / imla’.

Metode al-Sima’ ini dipandang paling bagus di antara metode yang ada menurut para ulama hadis. Tetapi ada juga yang berpendapat, alangkah baiknya kalau disamping mendengar juga mencatat.

2. Al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh atau al-‘Aradh, yaitu seorang murid membaca hadis (yang boleh jadi diperoleh dari guru lain) di depan guru.

Mayoritas ulama mengatakan bahwa metode ini setingkat dengan metode yang pertama. Ada juga yang mengatakan metode ini lebih baik dengan alasan pada metode al-Sima’ apabila guru salah membaca maka murid sebagai pendengar tidak dapat mengoreksi kesalahannya.

3. Al-Ijazah, yaitu pemberian izin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan buku hadis tanpa membaca hadis tersebut satu demi satu.

Para ulama mutaqaddimin tidak menyetujui metode ini kecuali apabila guru dan murid mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang hadis tersebut serta cermat dan dapat dipercaya.

4. Al-Munawalah, seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadis atau kitab untuk diriwayatkan.

Metode ini mirip dengan metode ijazah. Bedanya, dalam metode ijazah ada ungkapan eksplisit dari guru bahwa murid diberi ijazah boleh meriwayatkan hadis yang diberikan, sedangkan dalam munawalah, ungkapan eksplisit itu tidak ada.

5. Al-Mukatabah, yaitu seorang guru menulis hadis untuk seseorang.

Menurut Azami metode ini dalam terminology modern disebut metode korespondensi. Praktek ini dimulai sejak awal Islam. Surat-surat keterangan khulafa al-Rasyidin memuat sejumlah hadis yang diriwayatkan oleh para ahli.

6. I’lam al-Syaikh, yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa hadis-hadis yang ada di dalam kitab tertentu itu hasil periwayatan yang diperoleh guru dari si polan, tanpa menyebut izin/ ijazah periwayatan si murid kepada orang lain.

7. Al-Washiyah, yaitu seorang guru mewasiatkan buku-buku hadis kepada muridnya sebelum pergi atau meninggal.

8. Al-Wijadah, yaitu ada orang menemukan catatan atau buku hadis yang ditulis oleh orang lain tanpa ada rekomendasi / izin untuk meriwayatkan hadis di bawah bimbingan dan kewenangan seseorang.

Metode ini, di samping dilakukan orang pada masa dulu, banyak juga dilakukan pada masa sekarang, di mana banyak orang memperoleh hadis dari buku tanpa melalui proses seperti di atas (Zuhri, 1997 : 106-109).

Pada era sekarang pun dalam melakukan sebuah penelitian input dari informasi bisa di dapat dengan berbagai cara, seperti mendengarkan ceramah dalam acara seminar [8], membaca kitab di depan dosen/guru[9], mengutip dan membuat tulisan. Oleh karena itu karya ilmiyah tidak lepas dari referensi dan itu di dapat mayoritas dari membaca buku-buku yang sesuai dengan apa yang akan dikaji, baik buku yang di baca dan dikutip tersebut sezaman dan bertemu langsung dengan si penulis, sejaman dan tidak bertemu langsung dengan penulis, maupun tidak sejaman dan tidak bertemu langsung dengan si penulis.

[8] Dalam metode at-Tahammul wa al-Ada' di sebut al-Sama' dan dipesantren-pesantren terkenal dengan istilah Bandungan (mendengarkan guru berbicara). [9] Dalam metode at-Tahammul wa al-Ada' disebut al-Qiro'ah 'ala asy-Syaikh, dan dipesantren-pesantren dikenal dengan sorogan (setor hafalan atau membacakan kitab di hadapan gurunya).