Izin dalam Pernikahan


عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَالَ :

« لاَ تُنْكَحُ الأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ , وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ ».

قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ :

« أَنْ تَسْكُتَ »

 

Artinya:

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Seorang janda tidak dinikahkan hingga dimintai persetujuannya, dan seorang gadis tidak dinikahkan hingga dimintai izin.”

Para sahabat berkata; wahai Rasulullah, bagaimana izinnya? Beliau bersabda,

“Dengan diam.”

Penjelasan :

Hadits ini terdapat dalam Shahih Bukhari, bab an-Nikah, no. 4843; dan Shahih Muslim, bab an-Nikah, no. 1419.

Makna kosa kata:

  • Al-Ayyim : janda
  • Tusta`mar : dimintai musyarawah mengenai pernikahannya.

Kandungan hadits :

Perlunya meminta izin wanita, baik yang janda atau gadis, yaitu dengan persetujuan menikah secara terang-terangan bagi wanita yang sudah menikah sebelumnya, atau dengan diamnya tanda dia setuju bagi seorang gadis. Ini termasuk bentuk pemuliaan Islam terhadap perempuan dan hak-haknya, di mana hak seperti ini tidak diperhatikan oleh selain Islam.